| Merebut Momentum Reformasi | |||
| Kamis, 03/05/2007 | |||
| ROMANUS NDAU LENDONG Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik UI, Peneliti Indos Institute Jakarta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan,ada dua kekeliruan pemahaman terhadap reformasi, yakni (1) reformasi berarti segala hal mesti berubah (radikal) dan (2) kecurigaan terhadap globalisasi sebagai ancaman tanpa ada peluang, (SINDO,18/4). Presiden SBY betul bahwa makna reformasi kini semakin kabur dan tanpa arah.Alih-alih mendorong demokrasi, supremasi sipil,pembaruan ekonomi, dan penegakan hukum kini seakan rapuh karena lemahnya parpol dan buruknya kinerja pemerintah di satu sisi, dan keletihan masyarakat karena aneka derita dan ketidakpastian yang terus meningkat di sisi lain. Kehilangan Momentum Demokrasi pada akhirnya bukanlah merupakan suatu peningkatan pelayanan publik,tetapi hanya memberi jatah jabatan politis kepada pejabat politik yang tidak kapabel dan mementingkan diri sendiri. Desakan reshuffle kabinet saat ini lebih memperlihatkan kegenitan parpol dan kelompok dominan untuk mendapatkan jatah kekuasaan ketimbang pemikiran jernih untuk memajukan pelayanan publik. Demokrasi di tingkat lokal juga mengalami lesu darah. Bagi sebagian kecil rakyat, terutama di pedesaan,demokrasi berarti rakyat bisa menjatuhkan para pemimpin yang diduga melakukan kesalahan tanpa perlu melalui proses hukum.Kepala desa “kena reformasi” berarti diturunkan secara tidak hormat atas dugaan korupsi atau memiliki istri simpanan. Reformasi menjadi model pengadilan rakyat sehingga menjadi tirani baru atas nama demokrasi dan pembaruan.(Suwondo, 2001).Padahal,Pericles sejak dini mengingatkan bahwa demokrasi tidak mungkin bertahan jika rakyat mengabaikan pluralisme dan melabrak rule of lawserta apresiasi terhadap wilayah pribadi (Suhelmi,2001,30). Cita-cita pembaruan ekonomi juga setali tiga uang.Perangkap ekonomi perkoncoan berhasil disingkirkan,tetapi kini bandul ekonomi menjadi domain penguasa yang sekaligus pengusaha. Motif perekonomian dibangun untuk memberi peluang kepada pemilik modal ketimbang mendorong pengembangan ekonomi rakyat yang berporos pada usaha kecil dan menengah. Disahkannya UU Penanaman Modal di tengah meluasnya kritik dan penolakan merupakan indikasinya.Padahal sangat jelas,UU ini bernapaskan pemikiran ekonomi neoliberal yang mengagungkan kompetisi bebas untuk mengakumulasi keuntungan bagi para capital holder. Singkatnya, UU ini merupakan “karpet merah” bagi pemilik modal asing untuk leluasa menguasa aset-aset ekonomi nasional. Perangkap ekonomi neoliberal tersebut sesungguhnya bukan hal baru, terbukti semakin melemahnya daya saing rakyat kecil. Akibatnya,cita-cita pemajuan ekonomi nasional menemui titik buntu dan rakyat kecil kembali terperangkap dalam kemiskinan dan pengangguran yang kian mengkhawatirkan. Agenda penegakan hukum pun mengalami kemandulan.Pemberantasan korupsi masih berkutat pada koruptor kelas teri dan masih bersifat “tebang pilih”. Orang-orang yang diduga melakukan korupsi tapi masih berada di “jantung kekuasaan ”seakan belum tersentuh hukum.Masuk dalam kategori ini adalah Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin. Begitu pula berlarutnya penyelesaian kasus Lapindo karena melibatkan “orang dalam” kekuasaan SBY-JK. Catatan kelam bidang hukum bertambah buruk dengan menggantungnya kasus Munir,kekerasan Mei 1998, serta pembekuan UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang semula diharapkan menjadi model penegakan hukum terhadap kejahatan politik masa lalu.Begitu pula status 13 orang hilang yang hingga kini belum tuntas memperlihatkan betapa visi penegakan bidang hukum SBY-JK jauh panggang dari api. Kepemimpinan Kuat Sayangnya,SBY kini justru disandera kepentingan parpol.Alotnya persoalan reshuffle kabinet merupakan contohnya. Andaikata SBY tegas dalam menentukan kebijakan,negeri ini tidak perlu memboroskan banyak energi terhadap pro-kontra reshuffle kabinet. SBY dan para pemimpin perlu belajar dari Jepang. Saat kediktatoran Tokugawa dengan politik isolasinya berakhir, Jepang melewatinya dengan konsep restorasi (pemulihan kembali), bukan revolusi (semua yang lama harus dihancurkan) hingga menemukan jati dirinya sebagai negara ideal dan memiliki identitas serta kebanggaan nasional. Restorasi memang diwarnai perbedaan pendapat.Namun,sikap rezim baru yang menjunjung moral dan integritas membuat mereka diterima semua kelompok. Jepang sukses tidak hanya melewati krisis dengan damai, tetapi juga mampu memasuki modernisasi dengan sistem yang baik,pemerintahan yang efektif,tingkat melek huruf yang tinggi,eratnya struktur kekeluargaan, dan etos kerja keras serta disiplin diri. Pendidikan menjadi sektor andalan karena di situlah kepatuhan, disiplin diri, ketepatan, rasa hormat,dan toleransi terhadap sesama ditumbuhkan. Sekolah dicurahkan untuk studi etika dan kuil kebajikan serta moralitas (Harison, 2006,39). Pendidikan juga membuat masyarakat Jepang selalu optimistis menatap masa depan. Optimisme melahirkan sikap positif,termasuk menerima secara jantan terhadap setiap kesalahan dan kekalahan. Daripada sibuk merespons isu reshuffle, lebih baik presiden fokus membangun tim kerja yang solid, kompeten,memiliki integritas,dan berorientasi pelayanan publik.Ini adalah langkah yang tidak bisa ditawar bagi SBY untuk mendorong bangsa ini merebut momentum reformasi demi terwujudnya demokrasi,ekonomi yang maju dan peradaban yang bertumpu pada supremasi hukum.(*) |
No comments:
Post a Comment