Monday, May 21, 2007

Senin, 21 Mei 2007

Khudori

Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi

Skandal Bank Dunia berakhir dengan mundurnya Paul Wolfowitz, sebagai pucuk pimpinan lembaga tersebut. Wolfowitz akan lengser 30 Juni 2007, bertepatan dengan pergantian tahun fiskal Bank Dunia. Panel etik Bank Dunia menyatakan Wolfowitz bersalah karena memerintahkan kenaikan jabatan dan gaji pacarnya, Shaha Riza.

Skandal nepotisme Wolfowitz membuat citra Bank Dunia yang merosot sejak 1990-an berada di tepi jurang. Kredibilitas Bank Dunia sebagai lembaga terhormat dipertanyakan. Mundurnya Wolfowitz diharapkan bisa mendongkrak citra Bank Dunia. Ini bukan hal mudah. Perombakan Bank Dunia tanpa perombakkan IMF tak ada artinya.

Perombakkan sudah dimulai dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Singapura, 19-20 September 2006. Salah satu keputusan penting adalah menyetujui kuota lebih besar untuk Cina, Turki, Meksiko, dan Korea Selatan. Dengan keputusan itu, kuota baru Cina menjadi 3,72 persen (dari 2,98 persen), Meksiko 1,45 persen (dari 1,21 persen), Korsel 1,35 persen (dari 0,77 persen), dan Turki 0,55 persen (dari 0,45 persen). Keputusan ini dinilai cukup berani.

Tapi perombakan struktur kuota itu jauh dari cukup. Apalagi besar kemungkinan revisi kuota pada pertemuan tahun 2008 masih berpeluang terjadi. Jika pun akhirnya perombakan struktur kuota ini disetujui, struktur dasar pengambilan keputusan belum banyak berubah. Kuota negara berkembang dan miskin tetaplah minoritas. Janji reformasi dan penambahan kuota untuk negara miskin tidak terbukti. Salah satu persoalan yang banyak dikitrik dalam tubuh IMF dan Bank Dunia adalah struktur pengambilan keputusan yang rumit, tertutup, dan jauh dari prinsip-prinsip demokrasi.

Setuju atau tidak, globalisasi adalah keniscayaan sejarah. Masalahnya, bagaimana globalisasi diatur agar membawa kemaslahatan warga dunia. Karena itu perlu revisi mendasar sistem governance, yaitu struktur kepemimpinan dan pengawasan tiga lembaga pilar penetu gelombang sejarah globalisasi dunia: IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Inti dasarnya: siapa yang mengambil keputusan? Dari 184 negara anggota IMF misalnya, 19 negara industri memiliki lebih 60 persen suara, sementara 122 negara berkembang hanya 31 persen suara. Maklum, bobot suara ditentukan kekuatan ekonominya (PDB). Tak heran negara-negara industri memiliki bobot suara terbesar dengan AS sebagai pemegang veto tunggal. Lalu, setiap negara pemegang kuota terbesar, yaitu AS, Jepang, Jerman, Prancis, dan Inggris, menempatkan seorang direktur pelaksana. Sementara hanya 2 direktur mewakili 42 negara Afrika (Hadar, 2004). Kondisi yang sama terjadi pada Bank Dunia.

Saat ini, meskipun IMF dan Bank Dunia bergiat penuh di negara berkembang, keduanya dipimpin negara-negara industri yang dipilih lewat mekanisme yang rumit dan eksklusif. Para calon pun tidak harus punya pengalaman praktis di Dunia Ketiga. Tidak heran apabila resep-resep generik mereka banyak yang menjerumuskan.

Bagi Indonesia, meski telah membayar mahal, resep yang dipaksakan IMF untuk mengatasi krisis ekonomi, ternyata salah dan berakibat fatal. Dengan mengikuti resep IMF, pemerintah menyuntikkan dana segar ratusan triliun rupiah kepada bank-bank bermasalah tanpa menyelesaikan masalah. Sementara IMF malah membeli bank-bank pemicu krisis, seperti JP Morgan, Chase Manhattan, Citicorp, senilai 200 miliar dolar AS (Hadar, 2004). Padahal, dana itu lebih bermanfaat jika dipakai untuk memberi makan yang lapar.

Sejak krisis Asia, wibawa Bank Dunia dan IMF merosot tajam, termasuk di mata kelompok sekutu. Berbagai kebusukan IMF dan Bank Dunia (serta WTO) tersiar luas. Laporan komisi Meltzer (2003) yang dipublikasikan Kongres AS misalnya memuat kritik tajam dengan menyebut lembaga itu penuh rahasia, suka mengancam, dan sama sekali tidak membawa dampak positif.

Laporan Meltzer (2002) atas Bank Dunia mengungkapkan bahwa 70 persen pinjaman tanpa bunga dikonsentrasikan di 11 negara, dengan 145 negara anggota yang lain dibiarkan berjuang mendapatkan 30 persen. Selain itu; 80 persen sumber disediakan bukan untuk pengembangan negara-negara termiskin tetapi untuk negara-negara yang lebih makmur yang memiliki tingkat kredit yang positif. Tingkat kegagalan proyek Bank Dunia, 65-70 persen di negara-negara termiskin dan 55-60 persen di negara-negara berkembang. Artinya, Bank Dunia telah melakukan misi yang jauh menyimpang dalam program pengentasan kemiskinan dunia.

Untuk IMF, komisi Meltzer menemukan bahwa dalam mempromosikan pertumbuhan ekonomi, IMF malah melembagakan stagnasi ekonomi. IMF dan Bank Dunia menudur laporan itu juga dikendalikan oleh lembaga ekonomi dan politik seperti G-7, khususnya kepentingan pemerintah AS dan lembaga-lembaga keuangannya.

Hal yang sama terjadi pada WTO, yang dengan mandat dan kewenangannya yang luas telah meminggirkan peran negara dalam urusan-urusan publik. Dengan kata lain, IMF,Bank Dunia, dan WTO hampir tidak ada nilai gunanya.

Setengah hati
Lalu, bagaimana kita menyikapi reformasi setengah hati tersebut? Jelas sekali, reformasi itu tidak mengubah apa-apa. Karena itu, bagi penulis, Bank Dunia dan IMF lebih baik dibubarkan. Dewasa ini, keberadaan keduanya jauh melenceng dari khittah-nya: mengikis kemiskinan dan membantu negara-negara miskin. Mengutip Danaher, dalam buku 10 Reasons to Abolish the IMF and World Bank (2002), setidaknya ada 10 alasan untuk membubarkan IMF dan Bank Dunia. Di antara alasan itu adalah rezim pasar neoliberal yang diusung IMF dan Bank Dunia membuat lingkungan hancur dan ketimpangan kian melebar.

Selain itu, kredo pertumbuhan yang dikendalikan pasar tidak memecahkan persoalan dunia. Makanya, pasien IMF dan Bank Dunia yang menerapkan dogma Konsensus Washington (kebijakan fiskal yang konservatif dan berdisiplin tinggi, privatisasi, dan liberalisasi pasar, selalu gagal. Alasan lainnya adalah IMF, Bank Dunia, serta WTO tidak demokratis dan bersifat elitis.

No comments:

A r s i p