Saturday, March 15, 2008

Akrobatik Golkar Menggenggam Kekuasaan



Senin, 10 Maret 2008 | 02:28 WIB

Oleh AMIRUDDIN AL RAHAB

Golkar adalah kekuatan politik utama di Indonesia saat ini. Ia nyaris tidak beringsut dari sentrum jejaring kekuasaan negara meskipun 10 tahun terakhir rezim militer Orde Baru, pelindung Golkar, luruh. Artinya, rezim boleh berganti, tetapi Golkar tetap menjadi kekuatan politik yang menentukan arah kekuasaan di Indonesia.

Setelah bermetamorfosis dari persekongkolan politik berkaki tiga: militer, birokrasi, dan teknokrat menjadi partai politik, Golkar tetap menjadi bagian utama dari zaman reformasi. Daya tahan seperti itulah yang menakjubkan dari Golkar. Ketakjuban atas daya tahan partai berlambang beringin itu dalam menggenggam kekuasaan dibawa ke ruangan akademik oleh Akbar Tandjung, penulisnya.

Dalam menulis buku ini Akbar Tandjung sebagai ketua umum seperti berada dalam rasa ketakjuban akan dirinya sendiri ketika mampu mengantarkan Golkar keluar dari kepungan hujatan pihak luar dan perpecahan di dalam.

Nada ketakjuban itu tampak dari pertanyaan yang diajukan untuk menulis buku yang merupakan disertasinya, yaitu mengapa dan bagaimana Golkar mampu bertahan dalam gelombang perubahan politik yang melanda Indonesia?

Tenung kekuasaan

Dalam buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini, jawaban yang terpapar atas pertanyaan itu sesungguhnya tidak ada yang istimewa. Sebab, semua jawaban yang diberikan Akbar Tandjung telah terbaca dengan mudah, yaitu modalitas Golkar dalam memasuki arena perubahan politik sangat besar. Hipotesis Akbar dalam menulis disertasi ini pun menampakkan hal itu, yaitu ”Golkar dapat bertahan karena mampu mendayagunakan kelembagaan yang mengakar kuat dan secara bersamaan melakukan penyesuaian terhadap lingkungan yang berubah”. Artinya, Akbar menegaskan bahwa Golkar adalah kekuatan politik lama yang paling bisa berkompromi dengan perkembangan baru demi mempertahankan kekuasaan.

Dengan membuktikan hipotesis seperti itu, Akbar sesungguhnya mengonfirmasi keyakinan umum selama ini terhadap Golkar. Dalam politik Indonesia, partai ini sungguh tampak seperti pohon beringin yang berumur tua dengan akar yang menghunjam bumi begitu dalam serta jelujur akar rambat dan dahan yang begitu rimbun. Pohon sebesar Golkar tidak akan mudah tumbang oleh angin ribut. Kalaupun terpengaruh, mungkin hanya satu-dua dari dahannya yang patah atau akar rambatnya yang putus. Akar tunjang yang menghunjam bumi akan terus bertahan sehingga dahan yang patah akan cepat digantikan oleh cikal dahan yang baru.

Sayangnya, dalam buku yang terdiri atas tujuh bab dan bertebal 400-an halaman ini persoalan pokok itu tidak terjabarkan dengan baik dan utuh. Terasa sekali Akbar luput memerhatikan bagaimana pengaruh dan peran para pemimpin Golkar yang menggenggam kekuasaan mulai dari bupati, gubernur, pengusaha, hingga anggota DPRD dan DPR memainkan perannya dalam menjaga akar- akar dan dahan kekuasaan di tengah badai reformasi yang mengguncang batang Golkar. Sebagai contoh, kasus yang dihadapi sang ketua umum sendiri yang saat itu menjabat sebagai Ketua DPR dan ditengarai menerima dana Bulog untuk kepentingan Golkar. Dalam proses hukum, Akbar dinyatakan tidak bersalah oleh MA. Contoh lainnya, pengungkapan kasus Bank Bali tidak juga mampu menyeret bendahara Golkar yang anggota DPR ke pengadilan.

Bukankah di masa-masa sulit itu Golkar tetap menggenggam kekuasaan eksekutif, baik ketika Habibie, sebagai Ketua Pembina Golkar, menjadi presiden maupun ketika beberapa bos Golkar menduduki kursi menteri.

Jika Akbar Tandjung lebih teliti dan sabar secara akademis menjabarkan pengaruh tenung kekuasaan di tangan Golkar terhadap massa pemilih Golkar, mungkin isi buku ini akan jauh lebih menggigit. Sebab, telaah akademis atas kedua gejala itu akan memberikan nilai lebih secara keilmuan untuk menilai dan menempatkan Golkar di khazanah politik Indonesia. Luputnya analisis tentang kekuasaan dan daya tahan Golkar dalam buku ini membuat karya Akbar terasa sekadar menjadi pleidoi pribadinya sebagai ketua umum yang dibungkus secara akademis.

Coba bayangkan, Akbar Tandjung sebagai Ketua Umum Golkar dan Ketua DPR yang ditopang 120 kursi pada tahun 1999 sampai tahun 2004 tentu memiliki pengaruh yang luar biasa pada massa, dan sekaligus memiliki kesempatan utama untuk menghalangi semua bentuk pembaruan politik yang akan merugikan Golkar. Para menteri dari Golkar dalam kabinet Habibie, Gus Dur, dan Megawati pun memainkan peran demikian. Faktor kekuasaan yang ada dalam genggaman Golkar ini membuatnya bisa memprediksi perkembangan secara tepat dan memformulasikan kebijakan-kebijakan politik yang menguntungkan Golkar sendiri.

Dengan kealpaan analisis yang ada, buku Akbar ini tetap istimewa karena ditulis oleh Akbar Tandjung sang mantan Ketua Umum Golkar sendiri. Keistimewaan buku ini akan lebih terasa jika buku ini Anda tempatkan dalam kerangka testimoni Akbar Tandjung mengenai kepemimpinannya atas Golkar yang mampu berganti kulit dari penikmat dan penyokong utama otoritarianisme menjadi sosok yang berteriak lantang perlunya demokrasi.

Mengapa demikian? Karena seluruh bangunan argumentasi dan fakta yang dikemukakan buku ini berpusat pada kepemimpinan Akbar Tandjung sendiri. Oleh karena itu, secara tersirat terasa bahwa ujung dari seluruh argumentasinya adalah Golkar selamat meniti buih gelombang reformasi karena dipimpin oleh Akbar Tandjung. Survive Golkar adalah buah tangan Akbar Tandjung.

Buah tangan Akbar itu adalah berhasilnya paradigma baru Golkar dirumuskan, berhasilnya kekuatan baru yang mampu digalang untuk menggantikan kekuatan militer dan birokrasi yang dulu menjadi tempat Golkar menyusu; berhasil merestrukturisasi organisasi dengan menghilangkan kekuatan pengaruh dewan pembina; berhasil melakukan konsolidasi organisasi dengan merombak jalur-jalur pendukung serta membangun jalur-jalur baru. Dengan hasil seperti itu, dikesankan Golkar di tangan Akbar adalah Golkar yang baru sama sekali dan mandiri karena berhasil memutus seluruh beban masa lalu. Singkatnya, Akbar berhasil mengubah citra Gokar yang tadinya ”buruk” menjadi ”mengilap”, yang tampak dari tetap tingginya jumlah pendukung Golkar dalam dua kali pemilu.

Diuji dalam pemilu

Jawaban-jawaban yang dikemukakan Akbar terasa sangat datar dan administratif karena menghilangkan gejolak memperebutkan kekuasaan, baik internal Golkar maupun dalam konteks politik nasional. Misalnya, bagaimana taktik dan strategi lapangan para kader Golkar dalam menghadapi gempuran kekuatan lain di akar rumput dalam menjaga dan berebut pendukung. Meski demikian, buku ini tetap penting karena paling tidak dalam buku ini Akbar menunjukkan kualitas kepemimpinan dan beberapa faktor pokok yang krusial dalam mengelola sebuah partai politik. Hal-hal pokok yang dikemukakan oleh Akbar inilah yang tidak dimiliki partai-partai lainnya saat ini. Oleh karena itu, partai-partai politik selain Golkar dalam 10 tahun ini bisa setiap hari berkelahi dan pecah.

Argumentasi-argumentasi Akbar Tandjung dalam menelaah faktor yang mampu membuat Golkar bertahan yang terpapar dalam buku ini akan bisa diuji dalam pemilu yang tak akan lama lagi. Artinya, apakah kekuasaan di tangan Golkar saat ini atau faktor-faktor yang dikemukakan oleh Akbar yang menentukan? Secara tegas saya menyatakan bahwa kekuasaan di tangan para bos Golkarlah yang menentukan, sementara semua faktor yang disebutkan Akbar hanyalah sekunder dalam kasus Golkar.

Golkar adalah sentrum kekuasaan, orang-orang Golkar yang menjauhkan diri dari tenung Golkar akan semakin jauh dari kekuasaan meskipun mereka bisa mendirikan partai atau organisasi baru. Akbar Tandjung sendiri adalah contohnya, ketika tidak menjadi ketua umum lagi, pengaruhnya meredup di Golkar.

Buku ini hanya menarik dibaca jika ditempatkan seluruhnya dalam pusaran perebutan kekuasaan di Indonesia. Oleh karena itu, imbauan Akbar terasa hambar ketika menyatakan Golkar tidak perlu berorientasi kepada perburuan kekuasaan. Padahal, Golkar hanya bisa hidup dengan menggenggam kekuasaan di tangannya. Beralihnya tampuk kendali Golkar dari Akbar ke Jusuf Kalla menunjukkan watak itu.

Oleh sebab itu, semua pihak, terutama para pemimpin dan pengurus partai serta pengamat politik, wajib membaca buku ini untuk mengetahui bagaimana Golkar dan Akbar Tandjung berakrobatik untuk menyelamatkan kekuasaan dalam genggamannya saat gelombang reformasi berkecamuk. Buku ini sekaligus memberikan gambaran akrobatik apa yang mungkin dilakukan oleh Jusuf Kalla dalam menyelamatkan kekuasaannya dengan menggenggam Golkar.

Amiruddin al Rahab Analis Politik di ELSAM, Jakarta

No comments:

A r s i p