Tuesday, March 18, 2008

Politik Profanasi

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:18 WIB

Donny Gahral Adian

Riuh rendah seputar partai berbendera agama yang mulai merangkul ideologi kemajemukan patut dicermati. Pelbagai sikap bermunculan, ada yang curiga, kecewa, dan gembira.

Apa pun reaksi yang muncul saling silang ideologis itu sudah terjadi. Partai berideologi Islam kini menggandeng nasionalisme, seperti partai nasionalis membangun sayap Islam. Bagi saya, kedua saling silang itu adalah kekeliruan fatal. Partai politik gagal memahami hakikat politik sebagai struktur antagonistik. Masalah ideologi tidak pernah selesai sejak bangsa ini berdiri hingga kini. Selesainya ideologi adalah berakhirnya politik.

Nasib politik

Carl Schmitt menggariskan, satu kelompok menjadi entitas politik jika mengikat diri secara antagonistik. Kelompok agama, misalnya, menjadi kelompok politik jika memasuki struktur kawan-lawan dengan kelompok lain. Pertentangan antara kelompok nasionalis dan agama saat pendirian republik adalah manifestasi ”yang politik” secara paripurna. Sodoran partai Islam untuk mengembalikan status yuridis tujuh kata piagam Jakarta juga berdiri pada logika yang sama.

Agama sendiri adalah pemisahan. Agama atau religion berasal dari kata Latin relegere, yang berarti kehati-hatian dalam berhubungan dengan yang Ilahi. Yang ilahi adalah yang tak tersentuh, yang sakral sebagai oposan terhadap yang profan. Yang profan adalah hal-ihwal yang dipertukarkan, dipertanyakan, dipermainkan, singkatnya: relatif. Ritus pengorbanan adalah sakralisasi yang profan. Sesuatu yang semula bagian dunia instrumentasi manusia dilepas ke realitas sakral tak terjamah.

Corak agama sedemikian membuatnya bernapaskan politik sedari awal. Begitu satu kelompok mengikat diri secara agamis, ia menarik garis antara yang tak terjamah dan yang terjamah. Yang tak terjamah adalah yang Ilahi dalam ayat-ayat suci. Sebaliknya, yang terjamah adalah segala sesuatu yang non-ayat. Aneka pikiran non-ayat seperti liberalisme, sosialisme, multikulturalisme, dan nasionalisme adalah bagian yang terjamah. Artinya, tingkat falibilitasnya amat tinggi dibandingkan dengan ketaktersangkalan ayat-ayat suci.

Nah, politik agama berupaya memasukkan ayat-ayat yang tak terjamah ke dalam realitas politik yang terjamah. Dengan kata lain, politik agama menetralisasi kebisajadian, ketakniscayaan realitas politik dengan kunci-kunci mati sakralitas. Yang sakral menetralisasi yang profan dan mengakuisisinya diam-diam. Jika sosialisme tidak bisa mengatasi persoalan kemiskinan, sosialisme agama bisa menyelesaikannya. Jika nasionalisme mandul, suntikan agama ke jantung ideologi itu pasti bisa menyuburkannya.

Bagi saya, struktur antagonistik adalah nasib politik agama yang tidak bisa merangkul segalanya. Ia berdiri diametral dengan politik non-ayat. Partai berbasis agama dan yang berbasis ideologi sekuler ibarat minyak dan air. Jika ada sinkretisasi di antara keduanya, itu hanya semu. Politik sekuler membangun sayap agama dengan niat menetralisasi puritanisme. Politik agama mengadopsi ideologi sekuler dengan niat mengendurkan profanitasnya. Baik politik ayat maupun non-ayat, keduanya adalah politik berniatan.

Profanasi

Ini semua tidak berarti pintu politik agama mesti dikunci rapat-rapat. Dalam demokrasi, politik agama yang paling puritan pun harus diberi tempat. Bahkan, puritanisme itu harus dideklarasikan secara tegas sebagai posisi politik. Artinya, jika partai agama mulai merangkul pikiran non-puritan, ia kehilangan posisi politiknya. Hal yang sama berlaku bagi partai-partai berideologi sekuler. Jika partai-partai tak berposisi, ”yang politik” pun pupus dan demokrasi kehilangan geregetnya sebagai bentuk administrasi kekuatan-kekuatan antagonis.

Hanya saja, politik profanasi yang digelar partai agama harus dibaca secara berbeda. Profanasi bukan membawa yang sakral ke realitas politik bersyarat. Profanasi bukan menetralisasi yang profan, tetapi sebaliknya. Segala yang suci, tak terjamah, dan absolut kembali ke dunia profan yang mana segala sesuatu dapat dipermainkan dan dipertanyakan.

Di sini letak perbedaan antara profanasi dan sekularisasi sebagai konsep politik. Sekularisasi adalah pemindahan kekuasaan langit ke bumi tanpa netralisasi. Kuasa ”yang Ilahi” dipindahkan ke pundak sang raja. Yang absolut di langit menjelma menjadi yang absolut di bumi. Sebaliknya, profanasi adalah proses membuat yang absolut di langit menjadi profan. Artinya, yang absolut dinetralisasi dan dikembalikan ke dunia profan yang sarat silang sengketa. Yang tak dipertanyakan kini menjadi relatif dan biasa-biasa saja.

Demokrasi muncul sebagai reaksi atas kekosongan kekuasaan raja pascarevolusi-revolusi besar peradaban. Cangkang kekuasaan yang semula berisi sekularisasi kekuasaan langit sudah kosong melompong. Artinya, siapa pun yang kini menghuninya tidak lagi bisa mempertahankan absolutisme. Alias, si penghuni cangkang kosong itu kini telah berstatus profan secara paripurna.

Politik agama bisa saja menghuni cangkang kekuasaan dan meloloskan klaim-klaim politiknya. Hanya saja, demokrasi sebagai bentuk profanasi membuat klaim-klaimnya menjadi relatif. Politik agama bisa berdiri diametral dengan politik sekuler. Namun, status ontologi politik klaim-klaimnya berdiri pada lempeng yang sama: ketakniscayaan.

Karena itu, sebaiknya dilupakan upaya merangkul yang sekuler. Politik adalah silang sengketa di antara pelbagai posisi politik yang secara tegas terpisah satu sama lain. Agama adalah politik sedari mula. Artinya, politik agama adalah sebuah koordinat antagonis dalam kuadran politik. Hal yang sama berlaku bagi politik sekuler. Tiap koordinat, posisi, dan modus politik berhak meloloskan klaim-klaimnya. Namun, keduanya harus ingat, demokrasi sebagai profanasi membuat kebenaran senantiasa berlari dan mengelak.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI

No comments:

A r s i p