Tuesday, March 25, 2008

Menyikapi Mahalnya Beras

Menyikapi Mahalnya Beras

Pancaroba. Itulah yang kita alami sekarang. Iklim bisa secara mendadak berubah dan ekstrem, membuyarkan prediksi dan ekspektasi hasil pertanian.

Fenomena alam itu terjadi merata secara global. Silih berganti kita rasakan munculnya gejala alam yang anomali. Pada musim kering, kemarau sungguh menyengat, bahkan tiba-tiba hujan turun membawa banjir. Dalam musim hujan sudah pasti banjir datang, tetapi terkadang ada wilayah yang mengalami kekeringan.

Semua itu tentu mengacaukan budidaya pertanian, yang berujung pada gangguan, bahkan penurunan produksi. Belum lagi munculnya hama yang aneh-aneh.

Sebagai bangsa dan negara agraris, yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, kita mesti sadar bahwa pancaroba harus kita hadapi. Kuncinya adanya kebijakan yang antisipatif.

Kita selalu tersentak manakala terjadi gejolak harga pangan. Lalu sibuk bertengkar dan saling menyalahkan. Paling banter ambil langkah darurat jangka pendek.

Era pangan murah mungkin memang sudah berlalu. Dalam hal komoditas beras misalnya. Produksi dan permintaan dunia cenderung stabil, tetapi sejumlah negara produsen mulai menahan produksinya, tidak melepasnya ke pasar internasional meski potensi keuntungan ekonomi terbuka lebar. Tujuannya jelas, pengamanan pasokan untuk rakyatnya. Itulah nasionalisme, antisipasi yang cermat. Masuknya spekulan di pasar komoditas, termasuk beras, juga mengacaukan harga.

Kita paham betul masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada beras sebagai pangan utamanya. Karena itu, peningkatan produksi dan produktivitas di tengah kondisi semakin tergusurnya lahan pertanian oleh kepentingan nonpertanian dan pertumbuhan jumlah penduduk menjadi mutlak.

Akan tetapi, kita belum juga melihat kebijakan pertanian pangan yang all out mendukung dan membela kepentingan petani. Padahal, persoalan petani, khususnya produsen padi dan beras, sejak dulu hampir tak berubah. Harga produksi jatuh saat panen raya, harga produk sarana produksi pertanian, pupuk, obat-obatan pembasmi hama, selalu melonjak manakala dibutuhkan petani. Tidak jarang mereka harus ribut dan menjerit karena selain harga melonjak, barangnya hilang pula di pasaran. Inovasi teknologi pertanian yang terjangkau dan mudah diaplikasikan petani hampir tidak ada.

Karena itulah, momentum harga pangan dunia yang semakin melonjak gila-gilaan seharusnya menyentakkan kita agar berpikir ulang tentang arah kebijakan pertanian yang lebih berpihak kepada petani, prorakyat.

Kita khawatir jika pedagang gabah dan beras berspekulasi memainkan harga sesukanya, sementara Bulog tidak dapat mengimbangi kekuatan spekulan. Karena itu, kebijakan budidaya, peningkatan produksi dan produktivitas dengan biaya murah di hulu, serta penguatan fungsi dan peran Bulog di hilir, tidak bisa ditawar lagi. Sekarang juga, jika pemerintah tidak ingin tersudut, tak berdaya melihat kesulitan rakyat di kemudian hari.

***

Era Baru Demokrasi Pakistan

Kemenangan partai-partai oposisi di Pakistan dalam pemilu Maret lalu telah membawa negeri itu memasuki era baru. Era demokrasi yang sesungguhnya.

Pertama, Presiden Pervez Musharraf kehilangan basis kekuasaannya di parlemen yang kini didominasi kekuatan oposisi. Musharraf yang merebut kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1999 kehilangan kekuasaan mutlaknya.

Musharraf harus menerima realitas politik itu: tidak memiliki lagi akar kuat di militer setelah ia melepaskan jabatannya sebagai panglima angkatan bersenjata dan lagi menguasai parlemen. Apalagi, militer tidak menunjukkan lagi tanda-tanda untuk masuk ke medan politik. Semua itu telah menempatkan dia pada posisi untuk mendukung pemerintah baru hasil pemilu.

Kedua, untuk pertama kali dalam sejarah negeri itu, dua partai yang sebelumnya bersaing dan bermusuhan—Partai Rakyat Pakistan (PPP) dan Liga Muslim Pakistan-kelompok Nawaz Sharif (PML-N)—duduk berdampingan, berbarengan, dan bahu-membahu menghadapi kekuatan pemerintah.

Pemimpin kedua partai, Azif Ali Zardari (PPP) dan Nawaz Sharif (PML-N), telah menyatakan bahwa mereka akan bersama-sama membentuk pemerintah baru. Tak berlebihan kalau kemudian majalah The Economist mengibaratkan sekarang ini ”singa berbaring bersama dengan anak domba” untuk melukiskan betapa ”damai”-nya negeri itu secara politis karena kedua partai yang sebelumnya bermusuhan bisa bersama.

Keputusan PPP yang mendapatkan dukungan PML-N untuk mencalonkan seorang loyalis PPP, yakni Yousuf Raza Gilani, semakin menempatkan Musharraf pada posisi yang semakin lemah. Gilani pernah dipenjara selama 4,5 tahun karena dituduh korupsi oleh rezim Musharraf ketika menjadi ketua parlemen.

Memang, menurut konstitusi, presiden adalah jabatan seremonial. Ia tidak bertanggung jawab atau mengendalikan jalannya roda pemerintahan sehari-hari. Keputusan ada di tangan perdana menteri. Dengan demikian, posisi Musharraf yang pernah sangat berkuasa karena selain sebagai presiden, ia sekaligus menjabat sebagai panglima angkatan bersenjata dan menguasai parlemen, kini benar-benar semakin lemah.

Jika nantinya Gilani benar-benar disetujui menjadi perdana menteri, inilah awal babak baru bagi Pakistan untuk menapaki jalan demokrasi yang sesungguhnya.

Akan tetapi, masih banyak persoalan yang akan harus dihadapi pemerintahan koalisi, termasuk kemampuan mereka untuk saling bersama, selain masalah keamanan, terorisme, dan godaan untuk menjatuhkan Musharraf yang akan menciptakan kekisruhan politik baru.

No comments:

A r s i p