Monday, March 10, 2008

Perdebatan Soal Bekas Narapidana Berlanjut


Syarat Perseorangan Mengada-ada
Senin, 10 Maret 2008 | 00:29 WIB

Jakarta, Kompas - Perdebatan soal boleh tidaknya bekas narapidana menjadi pejabat publik berlanjut. Setelah usul agar bekas narapidana diperbolehkan menjadi calon anggota lembaga legislatif mental dalam pembahasan RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, usul tersebut kembali mengemuka dalam pembahasan revisi terbatas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintahan Daerah.

Dalam rapat Panitia Kerja Komisi II dengan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri pekan lalu, pembahasan soal syarat calon perseorangan untuk bisa maju dalam pemilihan kepala daerah berjalan alot.

Anggota Komisi II DPR Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II), Sabtu (8/3), menjelaskan, syarat calon terkait dengan status hukum itu belum disepakati.

Masalahnya, ada yang mengusulkan agar calon kepala daerah mesti tidak pernah dipidana dengan ancaman hukuman 5 tahun. Namun, ada beberapa anggota Panja lainnya yang mengusulkan agar klausul ”tidak pernah” itu diubah menjadi ”tidak sedang” sehingga bekas narapidana mungkin saja masuk sebagai calon kepala daerah lewat jalur calon perseorangan.

”Rupanya perdebatan soal ini di RUU Pemilu harus berlanjut ke revisi UU No 32/2004,” katanya.

Wakil Ketua Komisi II DPR Sayuti Asyathri (F-PAN, Jawa Barat III) menyebutkan, pandangan fraksi-fraksi di DPR mengenai rumusan persyaratan calon terkait dengan status hukum itu variatif. Ada yang mengusulkan tidak pernah dipidana dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih, tidak pernah dipidana dengan vonis 5 tahun atau lebih, sampai cukup pada klausul tidak sedang dipidana. ”Kalau buat F-PAN sendiri ya sama dengan UU Pemilu,” kata Sayuti.

Saat pembahasan RUU Pemilu, Fraksi Partai Golkar mengusulkan agar bekas narapidana diberikan hak dan kesempatan yang sama untuk dicalonkan sebagai anggota lembaga legislatif. Jadi, syarat calon cukup ”tidak sedang” menjalani hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Materi tersebut alot diperdebatkan sampai kemudian F-PG menarik usul itu. Akhirnya dalam rumusan akhir UU Pemilu disebutkan, syarat calon anggota lembaga legislatif antara lain tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih.

Syarat mengada-ada

Sementara itu, pengajar Universitas Indonesia (UI) Andrinof A Chaniago, Kamis (6/3), mengkritik ketentuan mengenai syarat bagi calon perseorangan untuk dapat maju dalam pemilihan kepala daerah. Kesepakatan antara Panitia Kerja Komisi II dan pemerintah soal syarat calon perseorangan dinilai mengada-ada karena tidak lazim.

”Padahal, semestinya pemerintah dan elite politik bersedia mencerdaskan bangsanya dengan membuka mata terhadap dunia luar,” ujar Andrinof.

Syarat dukungan sebesar 3-6,5 persen jumlah penduduk jelas tidak ada di negara mana pun. Persyaratan dukungan bagi calon perseorangan sebesar itu tidak logis, terlebih jika acuannya adalah jumlah penduduk. Keharusan menyertakan meterai dalam surat dukungan pun tidak pernah ada. Semestinya, yang disertai meterai cukup pada berita acara yang dibuat oleh tim verifikasi KPU atas pernyataan dukungan terhadap calon perseorangan.

Panitia Kerja Komisi II bersama pemerintah telah merampungkan sejumlah materi revisi terbatas UU No 32/2004 mengenai Pemerintahan Daerah, termasuk soal persyaratan calon perseorangan untuk bisa maju dalam pemilihan kepala daerah. Yang sudah disepakati, antara lain besaran dukungan minimal untuk pencalonan 3-6,5 persen tergantung jumlah penduduk wilayah bersangkutan. (dik)

No comments:

A r s i p