Monday, March 10, 2008

Pemilihan atau Pemandatan?



Oleh : Ahmad Tohari


Warga desa saya setahun yang lalu menyelenggarakan pemilihan kepala desa dan alhamdulillah berlangsung tertib. Setelah berlangsung pemilihan kepala desa, baru-baru ini kami memilih bupati dan wakil bupati. Dan, Juni nanti, kami juga akan memilih gubernur dan wakilnya. Pemilu legislatif yang disusul dengan pemilihan presiden dan wakil presiden akan berlangsung pada 2009 mendatang.

Lelah? Ya, bukan hanya lelah dan jenuh. Lebih dari itu. Kebanyakan pemilih, kecuali mereka yang mendapat penghasilan dari percaloan, seperti tidak memperoleh manfaat apa pun. Malah belum apa-apa sudah pesimistis.

Sebab, pemilihan-pemilihan yang menghabiskan uang triliunan itu dipercaya tidak akan menghasilkan perubahan ke arah perbaikan. Kehidupan terasa kian berat, masa depan tak menentu karena perilaku elite penguasa tidak akan berubah dengan adanya pemilihan. Bahkan, masyarakat umum merasakan keadaan sekarang kian hari kian buruk. Janji-janji para calon, baik eksekutif maupun legislatif, yang dikumandangkan dalam kampanye pemilihan sebagian besar tidak ditepati.

Kinerja serta perilaku para calon terpilih diyakini akan sama saja; sering mengecewakan masyarakat yang telah membayar pajak dan memberikan suara buat mereka. Umumnya, mereka masih memperlihatkan sikap sebagai priyayi dan memandang masyarakat pemilih hanya sebagai objek kekuasaan. Sikap seperti ini pun diperlihatkan oleh orang-orang partai. Padahal, partai adalah sarana kehidupan demokrasi yang utama. Tapi, orang-orang partai sering bersikap sebagai priyayi politik dan menganggap pemilih sebagai wong cilik yang ada dalam wilayah kekuasaan mereka.

Belum lama ini, di Purwokerto, diselenggarakan diskusi terbatas mengenai pilgub Jateng. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Mapilu PWI Jateng itu, muncul pikiran yang mengkritisi kata 'pemilihan' dalam kaitannya dengan pemilu. Apakah kata 'pemilihan' ini cukup baik untuk mencapai substansi kegiatan yang ada, yakni suatu proses menunjuk seseorang untuk mewakili aspirasi dan kepentingan warga dalam segala bentuk kekuasaan negara? Sangatlah jelas kata 'pemilihan' ini merupakan terjemahan kata 'vote' dalam bahasa Inggris. Jadi, pertanyaannya bisa disederhanakan, apakah dalam kaitan dengan pemilu, kata 'pemilihan' cukup baik digunakan sebagai terjemah kata 'vote'?

Kosakata 'vote' tentu tidak sama dengan kosakata 'select' atau 'choose' atau juga 'assort' yang secara gampang ketiganya berarti memilih. Tapi, mengapa di negara maju sana orang memilih kata 'vote' dan bukan 'choose' atau 'select'?

Sebabnya, kosakata 'vote' memang kurang memadai bila hanya dipahami sebagai 'memilih'. Substansi to vote adalah menentukan orang untuk diberi mandat. Jadi, pemilihan bupati misalnya, adalah kegiatan untuk menentukan satu orang di antara banyak calon yang akan diberi mandat kekuasaan menjadi bupati. Ini sangat berbeda dengan pemilihan artis paling kaya atau pembanyol paling lucu misalnya, karena dalam pemilihan ini tidak ada substansi pemberian suatu mandat. Tapi, mengapa keduanya sama-sama menggunakan kata 'pemilihan'?

Ketidaktepatan dalam hal pemilihan kata ini bisa berakibat buruk. Bila dalam kegiatan pemilihan-pemilihan itu tidak disertai kesadaran pemberian mandat kekuasaan dari pihak pemilih, dan penerimaannya sebagai amanat oleh si terpilih. Bila terjadi demikian, pemilihan-pemilihan umum yang mahal itu jelas tidak mencapai substansi atau maksudnya. Tapi, ironisnya memang itulah yang terjadi di tengah masyarakat bangsa ini. Penggunaan hak pilih tidak disertai kesadaran pemberian mandat kekuasaan. Dan, yang terpilih tidak merasa menerima mandat itu. Kebanyakan pemilih hanya memberikan suara berdasarkan kepatuhan kepada pemimpin, pejah-gesang ndherek, sami'na wa atho'na. Bahkan, dalam situasi yang sudah sangat pragmatis ini banyak pemilih yang sengaja memberikan suara demi uang yang tak seberapa.

Kalau sudah seperti ini, apakah arti pemilu? Jelas maksudnya, yakni pemberian mandat kekuasaan dan penerimaannya sebagai amanat tidak akan tercapai. Tingkat keterwakilan pemilih dalam kekuasaan negara yang seharusnya diwakili oleh mereka yang dipilih pasti sangat rendah. Pemilih pun merasa tidak punya hak kontrol atas kekuasaan miliknya yang telah dimandatkan kepada si terpilih. Sebaliknya, si terpilih tidak perlu merasa mengemban mandat kekuasaan dari pemilih sehingga pertanggungjawaban akan dilakukan seenaknya. Inilah yang terjadi dengan pemilu-pemilu kita dari tingkat desa sampai ke tingkat nasional; suatu pemborosan luar biasa dan tujuan sejatinya tidak akan pernah tercapai.

Menyadari kenyataan ini dalam diskusi terbatas itu dikemukakan gagasan untuk mengganti kata pemilihan dengan kata pemandatan. Memang, pada awalnya akan terdengar janggal karena kita sudah sangat terbiasa dengan kata pemilihan. Namun, gagasan ini patut dipertimbangkan bila kegiatan pemilu yang amat mahal itu bisa mencapai maksud yang sebenarnya. Ya, memilih calon anggota legislatif atau eksekutif jelas berbeda dengan memilih pelawak atau badut. Karena memilih yang pertama punya substansi pemberian mandat. Sedangkan yang kedua, tidak. Mari kita renungkan.

No comments:

A r s i p