Tuesday, March 18, 2008

Prototipe Negara Pascakolonial

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:18 WIB

Emmanuel Subangun

Peraturan pemerintah yang mengatur penyewaan hutan lindung dan menimbulkan perlawanan di sejumlah daerah merupakan sebuah simtom yang menarik untuk memahami kebijakan umum pemerintah sekarang.

Selain itu, jika ditambah dengan pemekaran daerah yang tetap gencar serta undang-undang politik yang sedang dirampungkan, wajah pemerintah sekarang menjadi jelas. Apa itu? Namanya tak asing lagi, yakni negara pascakolonial.

Pascakolonialisme

Sejumlah pemikir kontemporer—khususnya yang berasal dari India, tetapi bercokol di Inggris atau Amerika Serikat—yang melihat kesulitan proses modernisasi, memberi sebuah diagnosis pada kemacetan modernisasi itu dengan sebutan konsep pascakolonial. Maksudnya, pemerintah sekarang secara formal sudah ”nasional”. Namun, cara berpikir dan bertindak politiknya adalah hanya mengulang rezim kolonial saja sehingga disebut negara pascakolonial, bukan sebuah nation state (negara kebangsaan).

Dalam pelajaran sejarah Indonesia, kita tahu, rezim kolonial sebenarnya benar dimulai secara simbolik dengan pengundangan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini, dalam semangat liberalisme Belanda, melarang keras orang asing memiliki tanah di Hindia Belanda, tetapi memberi keleluasaan kepada para penanam modal asing untuk menyewa tanah. Tanah yang disewa itu tidak boleh tanah rakyat, tetapi tanah umum.

Untuk menyatakan tanah itu umum atau tidak, harus ada keputusan yang disebut domein verklaring. Domein verklaring ini— yang suci murni secara hukum— secara ekonomi dan politik tak lain adalah sarana eksploitasi kolonial, lewat perkebunan.

Jadi, pelajaran yang dapat ditarik adalah suatu keputusan yang secara hukum tidak cacat dapat saja secara ekonomi dan politik menjadi akar malapetaka. Dalam zaman kolonial, malapetaka itu ganda, di satu pihak rakyat tambah sengsara dan di lain pihak karena rakyat tambah miskin. Akibatnya, daya beli mereka juga turun. Maka, tindak ekonomi berikut setelah perkebunan bukanlah industri manufaktur, tetapi impor kebutuhan konsumsi dari luar.

Konglomerasi dan liberalisasi

Kebijakan pembangunan Orde Baru adalah gabungan kolonial antara staatsbedrift (BUMN) dengan perusahaan swasta atau konglomerasi. Akibat kebijakan ganda yang sesuai dengan Pasal 33 UUD ’45 itu, ada banyak proteksi untuk infant industry dan ada banyak monopoli untuk BUMN.

Keadaan semacam itu menjadikan ekonomi tidak efisien sehingga bank dunia selalu menuntut deregulasi dan sebuah structural adjusment. Deregulasi yang lepas kendali adalah kisah BLBI itu dan penyesuaian struktural adalah yang dijalankan pemerintah sekarang ini. Pemerintah semakin angkat tangan dan arah ekonomi semakin dilepaskan pada ”mekanisme” pasar.

Pilihan arah kebijakan seperti ini biasa disebut kebijakan liberal. Bukan liberal dalam arti politik, tetapi liberal dalam arti pembangunan tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah—lewat Bappenas, misalnya—tetapi sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta, yang harus tunduk pada hukum penawaran/pembelian. Jika dalam ekonomi pembangunan Orde Baru masalah pertumbuhan dan keadilan masih mendapat nama, trickle down effect, di zaman liberal seperti sekarang tidak ada nama untuk keadilan karena yang dikejar adalah keuntungan pengusaha semata.

Bahkan, di zaman Orde Baru itu orang masih berpikir untuk orang yang akan lahir nanti, bukan hanya orang yang hidup sekarang saja. Dalam ekonomi, hal semacam itu disebut dengan sustainable developemnt.

Di zaman liberal seperti sekarang, karena pertimbangan hanya keuntungan saja, ukuran pembangunan juga masalah ROI, yakni kapan modal bisa kembali rate of invesment.

Hutan lindung yang disewakan itu hanya dapat dimengerti bila kita mengerti logika ekonomi liberal, yakni kebijakan ekonomi yang pada tahun 1870 diperkenalkan pemerintah saat itu, lewat UU Agraria. Karena itu, rezim pemerintah sekarang dapat disebut sebagai pascakolonial.

Jalan buntu

Dalam rezim kolonial yang menyengsarakan rakyat itu, koreksi dilakukan di awal abad ke-20 setelah lewat banyak penelitian kemiskinan yang disebut survei ekonomi rumah tangga.

Dalam temuan ilmiahnya, ditemukan dua hal. Pertama, sistem itu mengidap dutch disease, yakni monokultur gula yang nanti hancur di tengah krisis dunia tahun 1930-an. Kedua, terbentuk struktur ekonomi dualistik, kota adalah kapitalis dan desa sepenuhnya tani.

Penyakit Belanda dan dualisme ekonomi itulah yang dianggap sebagai pintu masuk dari nasionalisme kita. Maksudnya, kekecewaan masyarakat pribumi ditampung oleh pergerakan nasional, dan lahirlah NKRI.

Mengapa rezim sekarang disebut pascakolonial? Jawabnya, untuk menampung kekecewaan rakyat, UU politik membuka peluang orang banyak masuk ke dalam kancah politik lewat kursi DPR atau pemerintah lokal (pemekaran daerah). Daya ledak kekecewaan rakyat ditampung dalam safety net politik pemekaran daerah dan kursi DPR.

Melukiskan liberalisme ekonomi sekarang ini sebagai pascakolonial, artinya sama dengan melihat jelas bahwa sistem semacam ini pasti akan kandas di jalan buntu.

Emmanuel Subangun Pemerhati Sosial dan Budaya; Menetap di Yogyakarta

No comments:

A r s i p