Sunday, March 9, 2008

Kebijakan Negara Tantangan Terbaru Perempuan


Sabtu, 8 Maret 2008 | 02:12 WIB

Jakarta, Kompas - Tantangan baru terbesar bagi perempuan di Indonesia bersumber pada 27 kebijakan negara yang berwujud kriminalisasi perempuan maupun pengendalian tubuh perempuan. Kebijakan-kebijakan itu merupakan bagian tak terpisahkan dari 88 kebijakan daerah yang menggunakan landasan agama dan moralitas.

Situasi itu terungkap dalam Catatan Tahunan tentang Kekerasan terhadap Perempuan 2007 dan 10 Tahun Reformasi: Kemajuan dan Kemunduran Perjuangan Melawan Kekerasan dan Diskriminasi Berbasis Jender, yang dikeluarkan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan).

Laporan itu dipaparkan dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (7/3), dipimpin oleh Wakil Ketua Komnas Perempuan Ninik Rahayu, didampingi tiga komisioner lain, Sri Wiyanti, Arimbi Heroeputri, dan Neng Dara Afiah.

”Dari 27 kebijakan itu, 17 di antaranya mengkriminalisasi perempuan dan 10 kebijakan mengendalikan tubuh perempuan,” ujar Ninik.

Kebijakan-kebijakan daerah yang berlandaskan moral dan agama serta memolitisasi identitas itu tampaknya digunakan untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah menyelesaikan persoalan riil di dalam masyarakat. Dengan kata lain, ke-88 kebijakan itu lebih bertujuan sebagai politik pencitraan oleh elite politik.

Salah satu contoh yang dipaparkan Arimbi adalah Perda Kota Tangerang No 8/2005 yang dibuat untuk menangani masalah pelacuran. Perda ini memunculkan keresahan di kalangan warga negara perempuan karena menghilangkan rasa aman bagi mereka yang harus bekerja di luar rumah, terutama pada malam hari. Korban pertama adalah perempuan miskin. Data yang dihimpun Komnas Perempuan menunjukkan, pengangguran terbuka mencapai lebih dari 11 juta, 50 persennya adalah perempuan.

Pada saat yang sama, fenomena kemiskinan dan pemiskinan terlihat semakin jelas. Data yang dihimpun Komnas Perempuan memperlihatkan, dari 354.548 buruh migran yang bekerja ke luar negeri pada Januari-Juni 2007, sekitar 80 persennya adalah perempuan. Namun, lima kebijakan daerah tentang tenaga migran memperlakukan mereka semata-mata sebagai pekerja, tanpa perspektif hak asasi manusia dan jender.

Kemajuan

Meski demikian, gambaran itu tidak seluruhnya muram. Seperti dikemukakan Sri Wiyanti, selama 10 tahun telah dihasilkan 29 produk kebijakan untuk menghapuskan kekerasan terhadap perempuan; 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 kebijakan di tingkat daerah, dan tiga kebijakan di tingkat regional ASEAN.

Masyarakat dan negara telah mendirikan 235 lembaga baru dari Aceh hingga Papua untuk menangani kekerasan terhadap perempuan: Komnas Perempuan di tingkat nasional, 129 unit pelayanan bagi perempuan dan anak di polres, 42 pusat pelayanan terpadu di rumah-rumah sakit, 23 pusat pelayanan terpadu pemberdayaan perempuan dan anak, serta 41 women’s crisis center di berbagai daerah. Tantangannya, seperti dikemukakan Sri Wiyanti, adalah ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten dan dana untuk memberi layanan.

Data dari Komnas Perempuan tahun 2007 menunjukkan 25.522 kasus kekerasan (tahun 2001, 3.169 kasus) terhadap perempuan ditangani 215 lembaga, termasuk institusi penegak hukum, rumah sakit, dan organisasi masyarakat pengada layanan.

Meski belum memperlihatkan situasi yang sebenarnya, jumlahnya melonjak, khususnya setelah ada Undang-Undang No 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. (MH/NMP)

 

No comments:

A r s i p