Thursday, March 6, 2008

Pemberantas Korupsi, Tersangka Suap

Pemberantas Korupsi, Tersangka Suap

Memang kebangetan, petugas yang menjalankan tugas mengusut atau memberantas korupsi justru "tertangkap tangan" atau "ketangkap basah" menerima suap senilai USD660.000 atau Rp6 miliar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Inilah yang dialami Urip Tri Gunawan-jaksa Ketua Pemeriksa Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) II dan mantan Kajari Klungkung, Bali-yang ditangkap di rumah Sjamsul Nursalim pada 3 Maret lalu dengan tersangka penyuap Artalyta Suryani. Dugaan suap itu juga diiringi dengan kesimpulan Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI yang mengemukakan tidak menemukan indikasi korupsi dan perbuatan melawan hukum pada pemilik Bank Central Asia (BCA) Anthony Salim dan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Syamsul Nursalim.

Pengumuman menghentikan penyidikan kasus BLBI itu disampaikan pada 29 Februari 2008 oleh Jaksa Agung Muda (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman. Berikutnya, setelah Urip tertangkap, Jampidsus membantah kasus Urip melibatkan Kejaksaan Agung secara institusional.

Tak Pernah Beres

Kasus tunggakan BLBI hingga kini tak pernah beres sejak dibentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) menjelang kejatuhan Soeharto.

Berulang kali upaya menangani kasus ini selalu terhadang dan macet. Sejumlah oknum pejabat BPPN malah disangka korupsi atau suap. Kini dialami Urip Tri Gunawan. Secara resmi, para obligor BLBI dinilai telah merugikan negara sebesar Rp144,5 triliun. Tetapi mereka yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Adili Koruptor BLBI menyebut perkiraan kerugian negara mencapai sekira Rp760 triliun, kurang dari Rp3 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2007 yang besarnya Rp763 triliun.

BCA, sebelum di-take over, menikmati pinjaman sebesar Rp52,7 triliun, sementara BDNI menikmati Rp27 triliun. Dengan dua pihak saja, tumpukan dana negara yang diduga diselewengkan telah mencapai Rp79,7 triliun. Bagaimana dengan kroni-kroni rezim Soeharto yang lain? Tampak jelas bagaimana bankbank negara telah diubah begitu rupa oleh rezim Orde Baru sebagai "sapi perah" yang luar biasa. Bayangkan, satu tahun negara dihidupi dan beroperasi dengan APBN, justru dinikmati para obligor BLBI. Dapat dicatat bahwa kasus BLBI adalah kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah RI.

Upaya menangani kasus itu pun selalu saja terhadang. Lebih dari sekadar penegakan hukum, kasus BLBI ini telah menjadi isu politik yang terus-menerus diusung oleh para elite politik. Pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya tetap didorong untuk menyelesaikannya, selalu saja tak pernah beres. Sebelum Urip ditangkap bersama Artalyta, DPR juga telah membawa kasus BLBI ke tingkat sidang interpelasi pada 12 Februari lalu. DPR membagi kasus dalam beberapa kategori, yaitu BLBI telah merugikan negara Rp144,5 triliun, obligasi rekap merugikan negara Rp425,5 triliun, Surat Utang Negara Rp73,8 triliun dan dana talangan Rp49,5 triliun.

Jalannya sidang interpelasi diwarnai "hujan" interupsi. Sebagian anggota DPR merasa tidak puas dengan ketidakhadiran Presiden SBY. Presiden mewakilkannya kepada para menterinya, yaitu Menko Perekonomian Boediono, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS untuk menanggapi DPR yang kecewa karena jawaban pemerintah tidak ditandatangani Presiden.

Tersandung Suap

Berdasarkan angka yang terungkap, kasus BLBI memang telah menyebabkan keuangan negara sangat menderita.

Kasus ini pula yang mengakibatkan krisis moneter yang berefek serius pada penderitaan rakyat seperti harga barang melambung, PHK marak, banyak perusahaan bangkrut, juga pengangguran dan kemiskinan yang meningkat drastis. BLBI memang "tumpukan uang"-kekayaan paling besar negeri ini-yang dinikmati para konglomerat yang dapat memengaruhi siapa saja yang berada dalam posisi lebih lemah. Godaan inilah yang meruntuhkan etik para jaksa pemeriksa kasus tersebut.

Urip adalah salah seorang jaksa yang tersandung godaan besarnya uang suap yang bisa dinikmatinya di hari tua. Penangkapan dan penahanan Urip saat ini membawa efek pada runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan.Apalagi Jampidsus Kemas Yahya Rahman yang telah mengumumkan penghentian penyidikan mendapat sorotan luas dari berbagai pihak.

Dia mulai dituntut untuk mengajukan surat pengunduran diri. Bahkan, perintah pemeriksaan telah ditempuh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Hendarman memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo untuk memeriksa Kemas dan Direktur Penyidikan Jampidsus Muhammad Salim sehubungan tertangkap tangannya jaksa Urip ini. Selain atas institusi kejaksaan, sorotan juga mengarah ke pemerintah. Salah seorang pengaju interpelasi kasus BLBI di DPR, Ade Daud Nasution, menilai pemerintah tak serius menuntaskan masalah yang sudah bergulir selama 10 tahun.

Anggota Komisi III DPR Aulia Rahman menyatakan penangkapan Urip mencoreng muka pemerintah. Memang menjadi persoalan ketika kejaksaan mengumumkan tidak ada indikasi korupsi dan perbuatan melawan hukum, tapi Urip justru menerima suap dari pihak yang disidik. Apakah surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BLBI ini diketahui oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji?

Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan menyatakan, ada tiga pertanyaan aktual yang akan diajukan kepada Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus BLBI dalam rapat kerja yang digelar, yaitu perihal penghentian penyelidikan, penangkapan jaksa Urip, dan peraturan disiplin kejaksaan. Pemerintah memang dihadapkan pada kritik sehubungan dengan pemberantasan korupsi sekaligus menggugat kemampuannya. Sementara Kejaksaan Agung dipersoalkan kemampuannya untuk membersihkan kejaksaan. (*)

Hendardi
Ketua Badan Pengurus Setara Institute

No comments:

A r s i p