Tuesday, March 25, 2008

POLITIKA


"Murphy's Law"

Selasa, 25 Maret 2008 | 01:19 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Disayangkan terjadi interogasi oleh petugas Imigrasi Singapura terhadap Adnan Buyung Nasution dan Abdul Rahman Saleh. Anggap saja ini ”kerikil di dalam sepatu”.

Wajar muncul reaksi, termasuk dari sejumlah anggota DPR. Terdengar ”lagu lama” yang didendangkan L4 (lu lagi, lu lagi) agar pemerintah protes Singapura. Padahal, insiden ini sepele. Tak bermanfaat mengaitkannya dengan nasionalisme picik dan sempit.

Betul Si Abang—anggota Wantimpres—dan Pak Arman yang mantan Jaksa Agung golongan VIP. Namun, status itu gugur jika mereka ke luar negeri pakai paspor hijau.

Di era pasca-9/11 sering terjadi pengetatan keimigrasian. Telah jadi fakta, misalnya, warga RI di-single out jika berkunjung ke Amerika Serikat (AS).

Proses keimigrasian yang tak enak ini makan waktu berjam- jam. Tak ada jalan pintas, kecuali mengelus dada.

Apalagi Singapura dalam kondisi waspada karena tersangka teroris Mas Selamat Kastari kabur. Kalau Negeri Singa tak aman, Anda malas shopping atau berobat, kan?

Bosan menyaksikan elite politik—termasuk DPR—emosional terhadap Singapura atau Malaysia jika ada masalah. Lebih mudah menyalahkan negara lain, lebih susah bercermin.

Si Abang dan Pak Arman ke Singapura untuk berobat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini menyarankan warga sebisa mungkin tak berobat ke luar negeri.

Beberapa pekan lalu saya sampaikan kepada Pak Jusuf Kalla data 2006: 300.000 pasien internasional berobat ke Singapura, dan 30 persen di antaranya dari sini.

Teman saya pedagang suku cadang mobil kuno di Plaza Atrium Senen berobat ke Malaysia. Ia kecewa dengan perlakuan rumah sakit di Jakarta.

Kelas menengah-bawah di sini mampu membayar biaya pengobatan ke luar negeri. Mereka yang mengantar pasien pun takkan lupa merogoh kocek untuk menjelajahi Orchard Road.

Nah, Si Abang dan Pak Arman pergi berobat pada waktu libur panjang akhir pekan. Padahal, dalam istilah Singapura ketika itu, ”No clinic on holiday”.

Jadi, apa tujuan kunjungan mereka? Itulah yang membuat Anda dan saya bertanya.

Janganlah menyalahkan Anda atau saya kalau mengaitkan ”Insiden Changi” dengan Sjamsul Nursalim. Demokrasi membuka alam pikiran bebas warga yang mustahil ditangkal kekuasaan.

Politik memang tak seperti iklan yang berslogan ”terang terus, terus terang”. Namun, bangsa ini sudah terlalu rugi besar akibat komunikasi yang kurang sambung rasa.

Ambil contoh soal posisi wakil menteri luar negeri (wakil menlu) yang jadi berita hangat. Di negara mana pun eksekutif berhak menambah atau mengurangi jabatan kabinet.

Menteri pembantu presiden dan kepala negara dipilih langsung oleh rakyat. Singkat kata, semuanya terserah SBY karena dia yang punya mandat.

Mungkin kehadiran wakil menlu dirasa perlu karena RI makin aktif memainkan peranan regional dan internasional. AS, misalnya, mengenal jabatan asisten sampai deputi menlu yang jumlahnya tak sedikit.

Jadi, tak usah mempersoalkan jumlah, kualitas, atau perekrutan wakil menlu. Ganjil menyaksikan pro-kontra wakil menlu berasal dari parpol, dari kalangan profesional, atau dari Deplu.

Sekali lagi, demokrasi membuka alam pikiran bebas warga yang mustahil ditangkal kekuasaan. Jangan salahkan rakyat yang membatin, ”Ada parpol yang nafsu mau jadi wakil menlu.”

Ganjil juga mendengar argumentasi wakil menlu dibutuhkan untuk mewakili menlu yang kerap bertugas ke luar negeri. Ada kesan pihak luar negeri kecewa tak bisa ketemu menlu, maka wakil menlulah jalan keluarnya.

Menurut saya, wakil menlu dibutuhkan untuk mengurus kesukaran warga RI di mancanegara, termasuk yang dialami Si Abang dan Pak Arman. Banyak warga—misalnya TKI—yang juga butuh bantuan.

Salah satu prioritas politik luar negeri yang layak diperhatikan ialah melayani warga di luar negeri. Coba hitung berapa jumlah TKI yang disiksa atau bunuh diri di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Timur Tengah.

Sekali lagi, bangsa ini rugi besar akibat kurang sambung rasa. Sering kali wacana yang terjadi kayak debat kusir tanpa ujung pangkal.

Anda dan saya seperti ramai-ramai mau menangkap ular sawah yang panjangnya sepuluh meter di sungai berlumpur. Saking panjangnya, Anda dan saya tak tahu yang mana ekor dan yang mana kepala ular.

Eh, Anda dan saya malah debat kusir soal jenis ular itu. Sama dengan politik di sini yang cuma mendebatkan ”siapa mau memangku jabatan apa”.

Politik di sini kayak infotainment Hollywood. ”Paris Hilton masuk bui, kepala Lindsay Laohan gundul, dan Angelina Jolie mungut anak beruang kutub,” kata penyiar acara ”Entertainment Today”.

Kalau infotainment politik di sini, ”Si Anu memimpin organisasi dari balik jeruji. Si Badu syukuran setelah menghirup udara bebas. Si Polan yang bekas napi jadi pengamat lagi.”

Tak ada debat soal penanggulangan banjir, pembangun jalan antilubang, atau kebijakan pangan nasional. Semua debat sifatnya tambal sulam.

Politik ”apa dan siapa” menyeret bangsa ke jebakan ”Murphy’s Law”. Anda janji dengan orang pukul 08.00, tetapi waktu mandi leding macet karena pompa air mati gara-gara PLN byarpet.

Anda lupa isi BBM karena keki harganya naik melulu. Di tengah jalan mobil mogok dan tak ada yang mau mendorong. Nasib apes terus.

No comments:

A r s i p