Monday, March 17, 2008

Mendesain Presidensial

Senin, 17 Maret 2008 | 00:18 WIB

Denny Indrayana

Yang selalu konsisten hadir dalam praktik politik adalah inkonsistensi. Ini terlihat dalam diskursus mutakhir tentang sistem presidensial yang efektif di Tanah Air.

Kini, DPR lebih galak kepada presiden dibanding pada era Orde Baru. Di satu sisi kegalakan itu penting guna mengefektifkan fungsi kontrol DPR dan mencegah hadirnya pemerintahan yang diktator. Namun, pada sisi lain, DPR yang hanya galak tanpa etika-moralitas dapat menjadi modus operandi menaikkan daya tawar yang bisa berujung pada penyuapan dan korupsi politik, yang berakibat lenyapnya efektivitas pemerintahan.

Presidensial ”yes”, multipartai ”no”

Sudah menjadi doktrin keilmuan yang diamini, pemerintahan presidensial tidak akan berjalan dengan sistem multipartai, terlebih yang tidak sederhana. Presidensial lebih efektif dengan sistem dua partai atau multipartai sederhana. Sistem multipartai akan menghadirkan presiden yang sial (minority president), sedangkan sistem monopartai akan menghadirkan presiden yang sialan (majority president).

Presiden Abdurrahman Wahid adalah contoh presiden yang sial karena di ujung pemerintahannya hanya didukung PKB. Sementara itu, Presiden Soeharto adalah contoh presiden yang majority sebab didukung mayoritas tunggal Golkar. Dibandingkan dengan dua ekstrem Gus Dur dan Soeharto, nasib Presiden Yudhoyono sebenarnya tidak terlalu buruk meski belum berhasil menghadirkan potret presiden yang efektif. Ditolaknya calon Gubernur Bank Indonesia yang diajukan Presiden adalah salah satu contoh aktual lemahnya efektivitas kebijakan presiden di hadapan koalisi pendukungnya di DPR.

Problematika Yudhoyono karena ia adalah presiden yang berdiri di atas multipartai, dengan modal suara solid hanya dari Partai Demokrat. Partai lain wajib diklasifikasikan dalam postulat dasar dunia perpolitikan, ”tidak ada kawan atau lawan abadi, kecuali kepentingan”. Padahal, jika dilihat dari representasi perwakilan menteri, kabinet Yudhoyono adalah koalisi kebesaran (oversized coalition) karena hanya PDI-P yang ada di luar mesin pemerintahan.

Dengan konfigurasi partai demikian, relasi Presiden dan DPR berbeda-beda di era ketiga presiden. Gus Dur membangun relasi yang konfrontatif, sedangkan Soeharto melahirkan hubungan kolutif. Tantangan setiap presiden adalah melahirkan relasi konstruktif. Relasi terakhir tidak akan lahir jika ada jurang pemisah antara dukungan pemilih (electoral support) dan dukungan pemerintahan (governing support). Tepat pada masalah ruang pemisah itu problem mendasar Presiden Yudhoyono. Dukungan pemilihnya yang lebih dari 60 persen tidak otomatis sama dengan dukungan pemerintahan. Koalisi pemerintahan yang dibangun pun amat dinamis dan tidak disiplin. Di satu sisi, elastisnya dukungan koalisi itu menghilangkan kemungkinan hadirnya presiden yang otoriter karena berarti dukungan DPR tidak dapat dijamin selalu berada di belakang Presiden. Di sisi lain, dukungan yang nihil komitmen menyebabkan efektivitas pemerintahan menjadi sering berada di sisi jurang curam.

Multikohabitasi dan solusi

Lebih parah lagi, problematika presidensial Indonesia tidak hanya berkutat pada masalah multipartai, tetapi juga hadirnya multikohabitasi dalam puncak pemerintahan. Kohabitasi hadir saat kepala pemerintahan (perdana menteri) dan kepala negara (presiden) berasal dari partai berbeda, seperti pernah dialami Perancis. Di Indonesia, kohabitasi yang ”serupa tapi tak sama” terjadi karena Presiden dan Wakil Presiden berasal dari partai berbeda. Multikohabitasi tidak terhindarkan karena Wakil Presiden mempunyai dukungan partai lebih besar daripada Presiden. Ini menyebabkan Presiden Yudhoyono amat sangat hati-hati dalam mengambil keputusan, yang berakibat rendahnya efektivitas eksekusi pemerintahan.

Dengan problematika tersebut, jika sistem presidensial efektif benar-benar akan ditegakkan, pertama, desain sistem kepartaian yang sederhana adalah keniscayaan. Maka, amat disesalkan saat UU Pemilu yang baru mempraktikkan inkonsistensi yang telanjang karena melenggangkangkungkan partai-partai kecil di DPR yang seharusnya tidak otomatis menjadi peserta Pemilu 2009. Maka, upaya beberapa elemen masyarakat, yang akan mengajukan aturan UU Pemilu yang inkonsisten ke Mahkamah Konstitusi, patut didukung.

Kedua, perlu dipikirkan bangunan pemerintahan koalisi pas terbatas (minimal-winning coalition) yang permanen dan disiplin. Sebagai legal engineering, penting didorong agar pencalonan presiden dilakukan sebelum pemilu legislatif. Dengan demikian, partai-partai dirangsang berkoalisi karena platform perjuangan, bukan karena kepentingan kekuasaan.

Ketiga, untuk menghindari kohabitasi, sebaiknya calon presiden dan wakil presiden berasal dari satu partai. Logikanya sederhana. Orang yang berbeda partai tentu berbeda pula platform dan agenda perjuangan politiknya. Perbedaan ini menyebabkan kian jauhnya efektivitas pemerintahan karena yang terjadi bukan persekutuan, tetapi perseteruan antara presiden dan wakilnya.

Keempat, untuk membantu hadirnya koalisi pas-terbatas yang permanen dan disiplin, sebaiknya UU Kementerian Negara segera diselesaikan. UU itu akan menjadi aturan main agar posisi kementerian tidak hanya karena faktor akseptabilitas representasi partai, tetapi karena pertimbangan kapasitas-intelektualitas dan—yang lebih penting—karena faktor integritas-moralitas.

Menyangkut masalah integritas, patut diduga, sistem presidensial yang tidak efektif akan membuat bengkak ”anggaran konsolidasi” pemerintahan. Celakanya, di tengah berurat-berakarnya korupsi, anggaran penjaga koalisi pemerintahan demikian patut diduga bersumber dari pasar gelap keuangan politik dan menyebabkan siapa pun presiden yang terpilih tidak akan pernah bisa tegas dan berani memberangus penyakit haram korupsi.

Tegasnya, relasi presiden dan DPR—serta ke depan setelah perubahan UUD 1945, juga relasi presiden dengan DPD—harus didorong menjadi pemerintahan yang efektif-konstruktif, bukan hubungan koruptif-kolutif. Hanya dengan demikian demokrasi biaya tinggi dapat ditekan karena ”uang konsolidasi” pemerintahan yang koruptif dapat digunakan untuk melaksanakan amanat konstitusi sesungguhnya: mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Denny Indrayana Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM

No comments:

A r s i p