Monday, March 3, 2008

(Tak) Berharap pada UU Pemilu


Senin, 3 Maret 2008 | 02:13 WIB

M Qodari

Pasca-Pemilu 2004, apa kelemahan utama sistem politik dan sistem pemilu Indonesia yang dapat diidentifikasi?

Pertama, pemerintahan yang kurang efektif. Kedua, kinerja partai, politisi, dan anggota parlemen yang kurang memuaskan masyarakat. Kedua soal inilah yang seharusnya ada di kepala Panitia Khusus UU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD yang baru saat mereka membahas RUU itu.

Beberapa poin yang krusial dan menjadi perdebatan antar- fraksi di DPR telah disepakati, antara lain: pertama, soal jumlah anggota DPR (maksimal 560 orang); kedua, alokasi kursi tiap daerah pemilihan (3-10 kursi); ketiga, pembatasan peserta pemilu (electoral threshold atau ET 3 persen dan parliamentary threshold atau PT 2,5 persen); dan keempat, cara pemberian suara dengan memberi tanda.

Sementara itu, beberapa poin krusial yang belum disepakati mencakup: pertama, penghitungan sisa suara (apakah tuntas di daerah pemilihan atau dibawa ke provinsi). Kedua, penentuan calon anggota legislatif terpilih (disepakati yang perolehan suaranya di atas 30 persen dari Bilangan Pembagi Pemilih langsung terpilih, tetapi jika ada lebih dari satu orang yang perolehannya di atas 30 persen menjadi soal apakah yang menentukan adalah nomor urut atau suara terbanyak).

Upaya mengefektifkan sistem pemerintahan membutuhkan banyak variabel. Di satu sisi, pucuk pimpinan pemerintahan (presiden) harus tegas dan pandai menggalang dukungan partai- partai di parlemen. Di sisi lain, jumlah partai politik di parlemen perlu disederhanakan. Lebih ideal jika partainya presiden menjadi partai terbesar di parlemen. Dengan kondisi ini, diasumsikan keputusan politik lebih mudah dicapai dan didukung parlemen.

Penyederhanaan partai

Kesatuan antara partai pemenang pemilu presiden dan partai pemenang pemilu legislatif lebih bisa dipastikan bila pelaksanaan pemilu presiden didahulukan dari pemilu legislatif. Sekuen ini akan memberi dampak ”gerbong kereta” (bandwagon effect) pada pemilih. Sayang, opsi ini tidak didukung mayoritas partai di DPR sehingga kandas di jalan.

Opsi yang dipilih DPR untuk membangun pemerintahan yang lebih efektif adalah dengan menyederhanakan sistem kepartaian. Ada dua cara penyederhanaan: pertama, dengan ET 3 persen dan PT 2,5 persen (ET adalah batas perolehan suara untuk bisa otomatis ikut pemilu berikutnya, sementara PT adalah batas perolehan kursi untuk bisa mengirimkan wakil di DPR pusat). Kedua, dengan mengecilkan jumlah kursi per daerah pemilihan (dapil) dari sebelumnya 3-12 menjadi 3-10 kursi per daerah pemilihan.

Namun, ET dan PT dalam UU pemilu baru tampaknya sulit menjamin penyederhanaan jumlah partai di Indonesia, baik untuk Pemilu 2009 maupun sesudahnya. Mengapa? Pertama, selain tujuh besar Pemilu 2004 relatif sudah mapan, partai-partai non-ET 2004 seperti PBB, PDS, dan lainnya punya infrastruktur relatif lengkap di Nusantara.

Partai-partai non-ET tetapi punya kursi di DPR juga amat terbantu oleh pasal peralihan dalam UU pemilu baru yang memungkinkan mereka otomatis ikut Pemilu 2009 tanpa harus ”ganti baju”. Jadi, mereka tidak harus memulai sosialisasi nama dan tanda gambar dari nol. Pasca- Pemilu 2009, upaya penyederhanaan kepartaian sulit terwujud karena PT tidak diberlakukan untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota. Artinya, meski tidak punya kursi di parlemen pusat, partai-partai ini tetap punya kursi di parlemen daerah. Kursi di daerah ini akan menjadi ”ventilator” yang memperpanjang usia partai-partai gurem.

Kedua, penyederhanaan lewat penciutan jumlah kursi di dapil tampaknya juga sulit terwujud. Memang jumlah kursi per dapil turun dari 3-12 ke 3-10. Penurunan ini diduga tidak terlalu signifikan untuk menurunkan jumlah partai peraih kursi di DPR/DPRD. Dengan perubahan ini, terjadi pergeseran dapil 2004 ke 2009 yang menimbulkan masalah akuntabilitas politik caleg terpilih Pemilu 2004 terhadap konstituennya di dapil lama.

Banyak variabel

Soal memperbaiki kinerja partai politik, politisi, dan anggota legislatif, banyak variabel yang memengaruhi. UU Partai Politik yang sudah disahkan tidak menjamin. Memang UU itu lebih merinci tugas dan fungsi parpol, khususnya dalam pendidikan politik dan perekrutan politik. Namun, semua tugas dan perincian di UU No 2/2008 bersifat amat normatif sehingga harus kembali pada pengurus partai, caleg, dan UU lain untuk memperkuatnya.

Sayang, UU Pemilu baru tidak mengompensasi kelemahan UU No 2/2003. Aturan penetapan calon anggota legislatif (caleg) terpilih, misalnya, mengharuskan caleg meraih minimal 30 persen BPP menurut simulasi Center for Electoral Reform (Cetro) membuat mayoritas anggota DPR/D mungkin akan terpilih melalui mekanisme nomor urut. Ini tidak jauh berbeda dengan mekanisme Pemilu 2004 yang mensyaratkan 100 persen BPP agar caleg otomatis lolos ke parlemen.

Jika mekanisme ini yang berlaku, mayoritas caleg akan bere- but mencari perhatian elite pimpinan partai ketimbang turun ke pemilih karena nasib mereka lebih ditentukan nomor urut dalam surat suara ketimbang jumlah dukungan mereka di masyarakat.

Hal lain, rencana perubahan cara memilih dari mencoblos ke memberi tanda berisiko menambah suara rusak meskipun dapat menghemat anggaran pemilu.

M Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer, Jakarta

No comments:

A r s i p