Saturday, March 22, 2008

POLITIKA

Gajah di Ruang Tamu
Sabtu, 22 Maret 2008 | 01:44 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Gangguan datang bertubi-tubi terhadap Barack Obama. Kamis (20/3), terungkap tiga karyawan perusahaan rekanan Deplu mengintip data paspor Obama 9 Januari, 12 Februari, dan 14 Maret 2008.

Tindakan itu melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Pribadi dan tiga karyawan itu dikenai sanksi administratif. Tak mustahil data Obama dimanfaatkan untuk tujuan politis.

Obama lahir di Hawaii, tinggal empat tahun di Jakarta, dan kembali ke Amerika Serikat (AS). Ia pernah berkunjung ke negara-negara Timur Tengah, bekas Uni Soviet, dan Afrika—termasuk Kenya.

Saat ke Kenya, Obama difoto mengenakan sorban. Foto itu disebarluaskan kubu Hillary Clinton untuk mengesankan Obama ”tidak 100 persen Amerika”.

Tahun 1992, pegawai Deplu dari Partai Republik diketahui mengintip paspor calon presiden Bill Clinton. Data itu dipakai menyudutkan Clinton yang konon nyaris pindah warga negara karena emoh ditugaskan ke Perang Vietnam.

Diketahui pula Clinton pernah ikut demo anti-Perang Vietnam di London, Inggris, saat mahasiswa. Muncul tudingan Clinton tidak patriotis.

Obama direpotkan juga oleh khotbah pastornya di Chicago, Jeremiah Wright. Ia menyalahkan politik luar negeri AS sebagai penyebab Tragedi 9/11.

Khotbah Wright diulang- ulang di televisi dan internet. Wright yang pertama kalinya memperkenalkan istilah audacity of hope.

Obama menanggapi kritik terhadap Wright lewat pidato ”A More Perfect Union”. Ini pidato sejarah, kondisi, dan prospek hubungan rasial AS yang sederajat dengan pidato ”I have a Dream” Martin Luther King.

Ia mencatat rekor baru: yang men-download pidato itu di internet lebih banyak daripada yang men-download pornografi. Dan, Obama tetap menganggap Wright pastornya meski tak setuju khotbahnya.

Betapapun dukungan kulit putih terhadap Obama mulai turun walau dari kulit hitam sebaliknya. Sebagian calon pemilih independen mulai meragukan integritas Obama.

Obama didukung oleh 1.617 utusan, sedangkan Hillary 1.498 utusan. Dibutuhkan 2.025 utusan bagi setiap calon untuk jadi capres dari Demokrat saat konvensi Agustus 2008.

Menurut berbagai jajak pendapat, Obama akan dikalahkan Hillary dalam pemilihan awal di Pennsylvania, 22 April. Namun, kemenangan Hillary belum cukup untuk memelorotkan Obama ke urutan kedua.

Jajak pendapat Fox News, Jumat, menyebutkan, Obama kalah suara sekitar 3 persen dari John McCain dalam pilpres 10 November. Sebaliknya, Hillary mengalahkan McCain dengan perbedaan suara 1 persen.

Margin of error jajak pendapat itu sekitar 3-4 persen. Alhasil, persaingan di antara ketiga capres amat sangat ketat.

Namun, mesti diakui, McCain sebagai capres dari Republik dalam posisi paling beruntung karena sudah mulai kerja untuk pilpres, sedangkan Hillary dan Obama masih cakar-cakaran.

Fenomena inilah yang mengkhawatirkan Demokrat yang mungkin kehilangan kesempatan lagi merebut Gedung Putih. Padahal, mood nasional maupun internasional menghendaki kepemimpinan Demokrat.

Semua letih menyaksikan Presiden George W Bush delapan tahun terakhir. Setelah genap lima tahun invasi AS, Irak lebih baik ketika dipimpin Presiden Saddam Hussein.

Apa yang terjadi di AS sebenarnya relatif sama dengan kondisi politik nasional negeri ini. Sembilan dari sepuluh orang terlalu letih sejak ingar-bingar Reformasi 1998.

Seperti Demokrat, kekuatan Reformasi gagal memanfaatkan momentum. Menurut almarhum Agus Wirahadikusumah, pengendali kekuasaan masih ”Orbaba” (Orde Baru Baru).

Sikap politis mereka kenyal karena relatif mudah mengikuti ke mana angin bertiup. Dalam istilah orang Betawi, mereka ”enggak adé matinyé”.

Pendirian mereka tak teguh kayak agar-agar: membuatnya mudah, isinya enggak ada, dan memakannya tak perlu dikunyah. Akal mereka panjang karena tak cuma kenal ”Plan B”, tetapi punya rencana sebanyak 25, mulai dari huruf B sampai Z.

Maklum, mereka pemenang yang tak mau mengalah. Mereka enggan minta maaf, ogah mundur, dan kalau perlu memimpin dari penjara.

Ibu saya bilang, ”Lebih baik ngikutin berita-berita Obama daripada berita-berita di sini.” Sayangnya, kita memang tak punya ”Obama-Obama”, cuma punya capres-capres yang mirip ”ogoh-ogoh” dari Bali.

Obama terus diganggu berbagai kalangan yang oleh Hillary disebut sebagai right wing conspiracy (persekongkolan konservatif). Di sini sebaliknya, rakyat sering diganggu persekongkolan elite politik.

Ambil contoh ”disinsentif” dan ”insentif” ala PLN. Rakyat yang bayar tagihan bulanan dan lampu penerangan jalan masih dibebani denda tak masuk akal.

Pajak naik terus, kualitas pelayanan umum turun terus. Seruan penghematan jalan terus, pemborosan juga jalan terus.

Capres Obama selalu bilang, ”Ya, kita bisa.” Untuk capres- capres di sini tanyakanlah, ”Kita bisa apa ya?”

Capres Obama sungguh serba tahu. Capres-capres di sini kayak penderita alkoholik yang enggak mau mengaku ada gajah yang merusak ruang tamu.

No comments:

A r s i p