Tuesday, March 4, 2008

Benarkah Reformasi Menang?


Selasa, 4 Maret 2008 | 02:14 WIB

Satjipto Rahardjo

Benarkah pada 1998 kita sudah mengalahkan ”Orde Zalim”? Benarkah ”Orde Reformasi” sudah mengalahkan sebuah ”Orde Korup” yang berumur puluhan tahun? Jika telah memenangi perang, pengadilan terhadap kezaliman di masa lalu seharusnya berjalan mulus.

Di sinilah terletak inti persoalan mengapa reformasi yang sudah berjalan 10 tahun ini banyak menuai ketidakpuasan, termasuk dalam urusan adil-mengadili. Indikasinya antara lain alotnya mengadili korupsi mantan Presiden Soeharto dan kroni, yang diperintahkan MPR. Hingga Pak Harto meninggal, kasus hukumnya belum kunjung usai.

Korupsi struktural

Pengadilan (dan hukum) merupakan simbol kemenangan kebenaran dan keadilan atas kezaliman. Namun, pengadilan tidak selalu menang. Bahkan, menurut Sebastiaan Pompe (2005), Mahkamah Agung dapat ambruk (collapse). Kepercayaan dan rasa hormat masyarakat akan kian luntur terhadap hukum dan pengadilan jika keduanya gagal menjadi simbol (kemenangan) kebenaran dan keadilan atas kezaliman.

Indonesia merupakan laboratorium yang bagus untuk membuktikan bahwa agar efektif, pengadilan memerlukan kekuatan politik di belakangnya. Pengadilan tidak berdiri sendiri. Karena itu, perlu mendapat dukungan dari masyarakat yang peka terhadap ketidakadilan dan kezaliman. Pengadilan dan masyarakatnya tak dapat dipisahkan.

Tahun 1950-an, pengadilan Indonesia mendapat tempat terhormat di masyarakat. Korupsi masih sporadis. Namun, meminjam istilah Syed Hussein Alatas, ahli sosiologi korupsi, korupsi di Indonesia sudah memasuki tahap yang gawat, ”tahap bunuh diri”.

Secara sosiologis, keambrukan pengadilan di negeri ini boleh dikaitkan lingkungan yang amat korup. Penelitian Sebastiaan Pompe menyimpulkan, dalam waktu 50 tahun, integritas pengadilan Indonesia telah merosot menjadi korupsi struktural.

Di sini ada satu kontradiksi. Dengan bergelora, sejak 1998, bangsa Indonesia merayakan kemenangan kebenaran dan keadilan atas pemerintahan yang korup dan otoriter. Mereka merayakan dengan panji-panji reformasi. Reformasi sudah menang! Matilah pemerintahan yang korup! Begitulah eforia yang dimulai 10 tahun lalu.

Jika itu terjadi, kehendak Orde Reformasi tak dapat dibendung lagi. Kemenangan itu seharusnya juga merambah pengadilan karena komunitas Indonesia-Baru yang antikezaliman sudah menang. Artinya, semua usaha untuk membawa koruptor ke pengadilan menjadi amat mudah.

Memang demikianlah seharusnya, seperti dalam tulisan Pengadilan Sang Pemenang (Kompas, 12/2/2008). Sesudah Sekutu mengalahkan Nazi Jerman (1945), dengan lancar semua pelaku kejahatan perang Nazi diadili dan dieksekusi (1946). Kemenangan pasukan Sekutu atas Nazi-Jerman menjadi kendaraan untuk mengadili keangkaramurkaan Nazi. Inilah logika sosiologis yang dipertontonkan di panggung dunia saat itu.

Belum benar-benar menang

Namun, setelah 10 tahun, mengapa keadaan di Indonesia masih seperti ini? Suatu pemerintahan yang otoriter dan korup berhasil dirobohkan. Dari sudut sosiologi pengadilan, seharusnya berbagai kejahatan korupsi juga menjadi mudah diadili.

Sosiologi pengadilan akan mengatakan, berdasar Mirror Thesis (Tamanaha), pengadilan merupakan cermin masyarakat. Berdasar optik sosiologis itu dapat dijelaskan, Orde Reformasi tidak benar-benar telah memenangi perang dan Orde Otoriter-Korup belum benar-benar dikalahkan. Maka, menjadi sulit mengonsolidasikan kemenangan untuk kemudian menggelar pengadilan Sang Pemenang. Karena itu, tidak terlalu mengherankan jika perlawanan dari kubu-yang-korup juga masih kuat. Ini amat berbeda daripada saat Orde Pancasila mengalahkan Orde Komunis tahun 1965. Kemenangan total diraih dan Mahmilub dapat lancar digelar.

Akhirnya, terpulang kepada bagaimana bangsa ini akan mengatur kembali siasat untuk benar-benar memenangi perang terhadap kezaliman. Korupsi memang bukan sekadar suatu bentuk kejahatan, tetapi sekaligus rusaknya moral bangsa. Pengadilan terhadap korupsi-korupsi besar di negeri ini di saat lalu hanya akan membuahkan hasil yang memuaskan jika kekuatan kejujuran-kebaikan telah mengalahkan kekuatan korup dan otoriter di masa lalu.

Satjipto Rahardjo Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro

 

No comments:

A r s i p