Wednesday, March 12, 2008

Polemik (Lagi) Reformasi TNI


Oleh KIKI SYAHNAKRI

Beberapa pengamat lagi-lagi menghangatkan kembali wacana reformasi internal TNI, seperti dimuat harian ini (Kompas, 30/1 dan 31/1). Ada yang menilai reformasi TNI mandek, bahkan regresif, mundur lagi. Sudah beberapa kali saya menulis tentang reformasi TNI, namun saya perlu merespons lagi wacana tersebut karena ada poin penilaian yang berpotensi ”menyesatkan”.

Potret terdepan wajah bangsa dari perspektif kekinian adalah jeritan kencang rakyat yang butuh makanan secukupnya, pelayanan kesehatan yang lebih manusiawi, dan pendidikan yang lebih memadai. Dengan kata lain, problematika bangsa yang masih sangat telanjang ialah jurang kemiskinan yang kian menganga, taraf kesehatan yang masih jauh dari wajar, tingkat ”kebodohan” akibat akses ke pendidikan bermutu sangat terbatas, serta rendahnya kualitas dan kuantitas berbagai komponen penting dalam proses pendidikan.

Birokrasi dan parpol/politisi

Birokrasi, parpol, dan DPR (sebagai wadah para politisi) adalah lembaga yang seharusnya berada paling depan dalam memerangi kemiskinan, kebodohan, dan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Dewasa ini jelas terlihat birokrasi dan lembaga-lembaga politik kita ”berat melangkah” dalam berkarya mengemban tugasnya karena terbelenggu berbagai persoalan internal. Keluhan tentang ”kultur” pelayanan birokrasi yang buruk kerap terdengar. Etos kerja yang rendah, disiplin yang masih memprihatinkan, orientasi hidup yang kian materialistis-hedonistis, pungli tanpa malu, mentalitas sebagai ”penguasa” (bukan pelayan), tendensi berburu rente (rent seeking bureaucrats), kecenderungan ”asal bapak senang” (ABS), ”kongkalikong” dengan pengusaha, semua ini adalah beberapa contoh dari sekian banyak ”virus” ganas yang menggerogoti tubuh birokrasi kita.

Dahsyatnya penyakit yang mendera birokrasi mengakibatkan dampak negatif yang tidak sedikit. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam proses investasi atau tender, selain panjang dan berbelit, juga memerlukan biaya besar untuk perizinan dan ”biaya siluman” sehingga melonjakkan biaya-biaya investasi, operasional dan overhead perusahaan, bahkan menghambat kreativitas dan pengembangan usaha (terutama UKM). Semuanya mengakibatkan biaya ekonomi tinggi dan rakyat tidak dapat dilayani dengan baik.

Wajah elite kita di berbagai lembaga politik pun tidak kalah buramnya. Selain mengidap berbagai symptom sama dengan birokrasi seperti masalah disiplin, etos kerja, KKN, dan seterusnya, juga tendensi memburu kekuasaan (power seeking politicians) sehingga lebih berperan sebagai wakil partai/golongan yang ”berjasa” mendorong mereka ke posisi elitis, tidak mewakili rakyat yang harus dibelanya. Dengan sistem rekrutmen politik yang belum sepenuhnya mengandalkan kualitas, kapasitas, dan integritas individu, melainkan lebih berbasis koneksi dan kekuatan uang, maka sulit diperoleh figur politisi berkarakter negarawan, berorientasi kebangsaan, serta berpengetahuan adekuat, luas, dan andal. Kita akhirnya sering menyaksikan ”ketoprak politik” yang dilakonkan para politisi di panggung kenegaraan.

Fenomena ini sungguh merusak dan bahkan membahayakan demokrasi yang tengah dibangun. Karena ketidakmatangan elite politik, wajah demokrasi jadi tampak ”seram” di mata rakyat, setidaknya di kalangan kritis yang paham benar bahwa ”sebenarnya bukan seperti ini demokrasi yang diinginkan”. Perilaku politik kaum elite menyebabkan ongkos politik yang tinggi pula, misalnya untuk biaya pembuatan UU yang sering sangat alot dan justru berbuah produk UU yang sarat muatan kepentingan asing daripada kepentingan nasional, biaya pemilu (menurut Wapres JK menelan Rp 200 triliun), dan biaya pilkada yang secara akumulatif sangat mencengangkan. Tidak terhitung besarnya ongkos sosial akibat sistem politik liberal, seperti potensi konflik (horizontal) yang menyebar luas, kekerasan yang hampir tiap hari ditayangkan televisi, sehingga potensi disintegrasi juga terus membayangi. Tentu sinyalemen di atas merupakan potret umum, bukan generalisasi untuk semua. Masih banyak kaum birokrat dan politisi yang berkualitas, berintegritas dan kental profesionalismenya. Namun, kadang yang ”bagus” malah tenggelam karena diimpit yang ”buruk”.

Lalu apakah yang harus dilakukan? Jawabannya tunggal: reformasi internal birokrasi dan reformasi total kalangan elite politik. Sejatinya dua hal itu bersifat sangat urgen mengingat kondisi aktual seperti tergambar di atas, namun sungguh mengherankan keduanya seperti lepas dari perhatian pengamat kita. Sebaliknya mereka—terutama beberapa pengamat yang ”itu-itu juga”—lebih getol menyorot, bahkan mengejar-ngejar reformasi TNI sehingga terkesan tendensius.

Reformasi TNI: bagus dan harus dilanjutkan

Soal reformasi TNI sudah beberapa kali saya menulis di harian ini. Intinya, langkah reformasi TNI diayunkan selain karena tuntutan reformasi pasca-Orba, juga karena kebutuhan yang tumbuh di kalangan para perwira TNI sejak 1990-an. Sejumlah perwira TNI saat itu mulai gerah melihat penyalahgunaan TNI demi kepentingan kekuasaan sehingga menggerus profesionalisme dan karakter keprajuritan. Berbagai kesalahan masa lampau dijadikan pelajaran sehingga sebelum gerakan reformasi nasional bergerak tahun 1998, TNI justru sudah mulai beranjak dahulu. Setidaknya dengan merestorasi sistem pendidikan dan latihan. Dorongan reformasi TNI bahkan dapat jauh dilacak ke masa silam dengan munculnya Seskoad Paper, Widodo Paper, sikap Jenderal Yusuf (alm), dan sebagainya.

Sebagai respons langsung terhadap tuntutan reformasi 1998, 10 tahun terakhir TNI justru semakin intens melakukan reformasi internalnya dengan berporos pada dua aspek: pertama, melakukan ”sterilisasi” atau purifikasi TNI dari politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Diangkatnya beberapa orang anggota TNI aktif (hampir pensiun) dalam jabatan politis beberapa saat lalu sama sekali tidak mengindikasikan kembalinya TNI dalam politik praktis (terlebih lagi kembalinya otoritarianisme) karena mereka justru diinginkan oleh politisi, bukan karena dorongan institusi TNI. Kedua, upaya meningkatkan profesionalisme militer yang mencakup keterampilan militer (military competence/skills) dan karakter keprajuritan (military character), juga tampak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Dalam kaitan ini, melalui Operasi Militer Selain Perang (OMSP) TNI justru ikut membantu pemerintah mengatasi sejumlah persoalan sosial-kemanusiaan yang mendera rakyat, seperti kemiskinan, kebodohan, dan kesehatan sebagaimana disinggung di atas. Naiknya tingkat kepercayaan publik terhadap TNI merupakan sinyal positif tentang reformasi TNI. Hasil survei Asia Barometer yang terungkap pada seminar di UGM (18/12/2007) menunjukkan, tingkat kepercayaan publik terhadap institusi: TNI 26 persen, Polri (15 persen), DPR (13 persen), dan parpol (5,8 persen).

Mengapa masih ada yang terkesan ”mengejar-ngejar” reformasi TNI, yang justru mendahului institusi mana pun? Bisa jadi motif mereka murni karena cinta kepada TNI, mudah-mudahan. Namun, kita perlu kritis pula terhadap ”perang informasi untuk mengubah persepsi” (war of perception) dan ”pembusukan dari dalam” (war by proxy) dalam upaya perapuhan bangsa melalui pelemahan institusinya. Kita harus jujur dan tidak melihat masalah ini dengan kacamata politik. Reformasi TNI sudah pada jalur yang benar dan cukup maju, memang benar masih harus dilanjutkan demi kepentingan nasional umumnya maupun demi TNI sendiri. Yang perlu dipertanyakan justru reformasi parpol dan birokrasi yang sejauh ini sama sekali belum tampak dilakukan.

KIKI SYAHNAKRI Letjen TNI (purn), Ketua Bidang Pengkajian Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD)

No comments:

A r s i p