Monday, March 3, 2008

Perempuan Juga Harus Proaktif


Senin, 3 Maret 2008 | 04:33 WIB

Ninuk M Pambudy/Maria Hartiningsih

Revisi Undang-Undang Pemilu, meskipun belum disahkan Dewan Perwakilan Rakyat karena masih ada pasal yang belum disepakati, dapat dipastikan meloloskan pasal penyusunan daftar calon anggota dewan secara berselang-seling perempuan dan laki-laki.

Dalam cara penyusunan yang juga disebut ”zipper”—seperti ritsleting yang tersusun berselang-seling—itu ditetapkan, dari setiap tiga calon harus terdapat satu perempuan. Keputusan yang disepakati semua parpol tersebut menjadi tonggak penting peningkatan keterlibatan perempuan dalam politik yang diperjuangkan sejak tahun 1998.

Tujuannya meningkatkan keterwakilan perempuan. Meskipun keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dijamin melalui UU Nomor 12 Tahun 2003, hasilnya belum memuaskan. Saat ini jumlah perempuan di DPR baru 63 orang dari 550 anggota DPR atau sekitar 11 persen.

Mengantisipasi Pemilu 2009, kelompok-kelompok perempuan sudah menyiapkan daftar nama perempuan potensial yang dapat dicalonkan sebagai anggota DPR. Dalam dengar pendapat antara kelompok-kelompok perempuan dan Panja RUU Pemilu tahun lalu, pertanyaan mengenai kualitas dan jumlah perempuan yang dapat menjadi caleg memang bermunculan.

”Ini untuk menjawab pertanyaan yang sering muncul, yaitu adakah perempuan yang dapat dicalonkan, terutama di tingkat provinsi dan kabupaten/kota,” kata Sri Budi Eko Wardani, dosen dan peneliti di Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol UI).

Kamis lalu di Jakarta, Puskapol bersama Pusat Gender & Seksualitas FISIP UI dengan dukungan The Asia Foundation dan Kedutaan Besar Norwegia meluncurkan nama 990-an perempuan yang dianggap berpotensi sebagai calon anggota DPR sekaligus menyerahkannya kepada tujuh partai, yaituPartai Golkar, PDI-P, PPP, PKB, PAN, Partai Demokrat dan PKS. ”Dari 990-an nama itu, 365 nama berasal dari tujuh partai politik tersebut,” tutur Wardani.

Masyarakat sipil

Apabila nama dari partai politik adalah dengan meminta kepada parpol bersangkutan nama-nama pengurus atau anggota yang mereka anggap dapat dicalonkan, pengumpulan nama dari masyarakat sipil adalah dengan menyebarkan angket kepada organisasi kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat di Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur. Organisasi itu diminta memberi daftar nama anggota yang layak menjadi anggota DPR/DPRD, lalu diikuti wawancara.

Ida Ruwiyati dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI yang menyusun daftar tersebut bersama organisasi perempuan di empat provinsi itu mengatakan, dari Jakarta ada 117 perempuan yang potensial, Sulawesi Selatan 235 perempuan, Jawa Timur 202 perempuan, dan Aceh 75. ”Di Aceh ternyata perempuannya banyak yang sudah terlibat di dalam partai lokal sehingga sedikit yang masih bebas untuk dipromosikan ke tingkat nasional,” kata Ida.

Kerja yang dilakukan Puskapol dan Pusat Kajian Gender ini melanjutkan kerja tahun 2004. Ketika itu, dengan dimotori Cetro juga disusun daftar perempuan potensial dari masyarakat sipil. Bedanya, daftar tahun 2004 itu berisi nama-nama perempuan yang sudah bersedia maju sebagai calon anggota dewan.

”Perempuan dalam daftar kali ini memang belum semuanya bersedia mencalonkan diri menjadi anggota dewan di tingkat nasional maupun daerah,” kata Ida. Alasannya macam-macam, antara lain alasan individu, keluarga, dan ekonomi. ”Untuk dapat dicalonkan parpol, perlu uang banyak. Justru pandangan itu yang harus kita bongkar,” ucap Ida.

Optimistis

Wardani dan Ida secara terpisah mengatakan, kerja tahap berikut adalah memantau kesediaan parpol dan perempuan sendiri.

Terutama calon dari masyarakat sipil, tidak semua parpol serta merta bersedia merekrut. Parpol-parpol besar, seperti Golkar, mensyaratkan, untuk dicalonkan, setidaknya harus menjadi pengurus dan sudah enam bulan menjadi anggota partai.

”Golkar, misalnya, hanya memberi kuota 10 persen untuk calon dari luar partai, itu pun dengan syarat seseorang yang benar-benar memiliki pengaruh di masyarakat,” ungkap Ida.

Oleh karena itu, harapan meningkatkan jumlah perempuan di lembaga legislatif adalah melalui partai kecil dan menengah. Itu pun dengan syarat perempuan sendiri harus proaktif masuk ke partai. ”Ini tantangan untuk gerakan dan organisasi perempuan sipil mendorong perempuan masuk ke parpol,” ujar Ida.

Soal finansial tidak usah menjadi alasan. Menurut Ida, banyak perempuan yang dikenal massa karena bekerja di masyarakat dan punya massa, serta direkomendasi oleh organisasinya. ”Ini menjadi daya tawar perempuan untuk dicalonkan oleh parpol,” tutur Ida.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Masruchah optimistis perempuan dari masyarakat sipil mampu menjawab tantangan tersebut, paling tidak bila melihat pengalaman KPI.

KPI yang anggotanya individu, tersebar di seluruh Indonesia, memiliki program pendidikan kepemimpinan sejak tahun 2005 untuk tingkat desa, kabupaten, provinsi, hingga nasional. Di antara daftar nama perempuan potensial dari masyarakat sipil, di Jawa Timur 45 perempuan di antaranya anggota KPI (22,3 persen), di Sulsel 80 orang (34 persen), Jakarta 25 orang (21,4 persen), dan Aceh 8 orang (10,7 persen).

”Animo menjadi calon legislatif untuk Pemilu 2009 lebih besar daripada tahun 2004 karena perempuan sudah lebih sadar untuk perubahan harus duduk di lembaga pengambil keputusan, antara lain DPR,” kata Masruchah.

No comments:

A r s i p