Saturday, March 1, 2008

Republik Muda, Republik Harapan


Sabtu, 1 Maret 2008 | 02:47 WIB

M Fadjroel Rachman

Fajar menyingsing menyambut Republik Indonesia yang baru dan dipimpin generasi muda, tetapi kecemasan juga menghadang masa depannya. Generasi baru melihat pemimpin tua, dari pengalaman yang ada, tak mungkin lagi lebih berprestasi, progresif, dan inovatif menyelesaikan masalah baru Indonesia. Karakter konservatif, regresif, bahkan antidemokrasi para pemimpin tua membuat cemas Republik Indonesia yang baru ini.

Kegentingan friksi generasi ini menyebabkan keseimbangan politik, sosial, ekonomi, dan budaya kita berada dalam kondisi kesetimbangan dalam ketidaksetimbangan (inequilibrium’s equilibrium) sepanjang 2008-2014 nanti.

Kata Arnold Toynbee, ada tantangan baru tentu harus ada respons baru. Ada dunia baru yang harus dihadapi dengan pengalaman baru oleh generasi baru. Demokrasi adalah dunia baru Indonesia selama 10 tahun terakhir, kompleksitasnya membuat ”sakit kepala” generasi lama yang hidup dengan pengalaman antidemokrasi. Karena itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla sakit kepala dan bertanya-tanya tentang efektivitas demokrasi untuk kesejahteraan. Generasi seangkatannya juga cemas, bahkan mengutuk demokrasi dengan istilah ”kebablasan”, ”anarkis”, ”westernisasi”, dan sebagainya. Semua ini meyakinkan kita bahwa ”Indonesia on the move”, istilah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang membutuhkan pengalaman baru untuk menyelesaikan kompleksitas tantangannya. Dunia baru, pengalaman baru, dan tantangan baru bagi kepemimpinan nasional baru.

Namun, bila terjadi regenerasi kepemimpinan nasional, dari generasi pertama pascareformasi seperti Presiden Susilo BambangYudhoyono atau SBY (58), Wakil Presiden Jusuf Kalla (65), Megawati Soekarnoputri (60), Abdurrahman Wahid (67), Amien Rais (63), Akbar Tandjung (62), Wiranto (60), Sutiyoso (63), dan Sultan Hamengku Buwono X (61), kepada generasi kedua berusia 40-50-an tahun, para Republiken Muda, apakah yang membedakan kedua generasi itu dalam visi, kualitas, dan inovasi menghadapi kompleksitas tantangan baru?

Kepemimpinan lokal

Bila rakyat lapar hadapi penyebab kelaparannya, bila rakyat miskin hadapi kemiskinannya, bila rakyat sakit hadapi segala penyakitnya. Mereka bergulat langsung dengan masalah rakyat agar mimpi kesejahteraan menjadi nyata, bukan sekadar igauan penarik massa pemilih direct problem solver, begitulah ciri umum pemimpin lokal, bupati atau wali kota, yang dianggap berhasil membawa kesejahteraan bagi rakyatnya, kata seorang pembicara. Bahkan, pembicara lain yang kebetulan seorang kepala daerah memoles berbagai kebijakan kesejahteraan propublik yang menempatkan perempuan sebagai tulang punggungnya, ”Perempuan memberikan sentuhan humanisme pada keputusan publik”.

Di tengah hantaman budaya patriarki yang tak kunjung usai, ternyata isu kesejahteraan rakyat lebih efektif di tangan kepemimpinan politik perempuan, ramuan baru pendekatan intelektual dan emosional, bukan sekadar pendekatan teknis dan birokratis. Begitu pula dengan pembicara lain yang memimpin pemerintahan sebuah kota di Jawa Tengah, baginya tujuan menyejahterakan rakyat berarti pemerintah yang melayani rakyat, bukan dilayani rakyat.

Kedua pemimpin lokal yang menjadi ”bintang baru” dalam program kesejahteraan rakyat ini bagai panglima perang menghadapi kemiskinan, pengangguran, kesehatan, perumahan, dan kesehatan rakyat. Tak mengeluh dana APBD terbatas, mereka bertarung agar alokasi kesejahteraan dari APBD menjadi dominan dan berpihak pada publik serta menomorsatukan partisipasi publik. Keberhasilan kepemimpinan lokal inilah yang membuat seorang sosiolog senior UI menyimpulkan, ”locals are the future of Indonesia”.

Kepemimpinan nasional

Cerminan apa yang bisa kita tarik dari kepemimpinan lokal dan sektoral ke arah kepemimpinan nasional? ”Mereka memimpin, bukan menguasai, itu sense of leadership, bukan pengetahuan sektoral semata seperti saudagar atau seniman,” kata pembicara yang juga seorang pakar filsafat. Selain itu, ”rakyat menuntut agar bekerja bagi mereka”, ini perbedaan fundamental dibandingkan masa Orde Baru (Orba), tambah pembicara lain yang merupakan rektor termuda Indonesia di sebuah universitas.

Para pemimpin lokal itu juga meyakini mereka bukan memimpin partai politiknya, tetapi memimpin republik seperti visi besar Jalan Republik yang dirumuskan para founding fathers dalam Pembukaan UUD 1945, ”membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Mereka dengan sengaja mengarahkan kepemimpinan mereka, di tingkat lokal, untuk mewujudkan Jalan Republik, melampaui kesempitan sektoral, dengan pengalaman baru di dalam ruang publik demokrasi, berbeda daripada ruang publik antidemokrasi di masa SBY dan Jusuf Kalla serta rekan-rekan segenerasinya. Walaupun latar parpol dan profesional mereka beragam, tetapi ketika muncul sebagai pemimpin (lokal, provinsi, atau nasional) mereka menjelma menjadi pemimpin republik untuk mewujudkan Jalan Republik. Karena itu senjata utama pemimpin republik adalah kebijakan publik.

Tidak ada republik tanpa kebijakan publik. Contoh menarik, bila masalah publik adalah kemiskinan 108,78 juta orang, pemimpin republik di aras nasional harus memiliki kebijakan publik untuk menghadapinya, seperti Kebumen dan Pekalongan, alih-alih melepaskan nasib mereka pada korporasi atau korporatokrasi. Republik lenyap, yang berkuasa korporasi, atau para investor global, yang terjadi kebijakan korporasi mengeruk keuntungan semaksimal mungkin, bukan kebijakan publik untuk semaksimalnya kemakmuran dan kesejahteraan publik.

Karena itu semua pemimpin republik (lokal, provinsi, nasional) setidaknya menghadapi tantangan baru. Pertama, mampukah melampaui kesempitan sektoral? Kedua, mampukah mengatasi cara berpikir sektoral? Ketiga, mampukah menjaga kebijakan publik? Keempat, mampukah melakukan tindakan afirmatif bagi kaum yang paling membutuhkan? Kelima, mampukah membuat agenda kesengajaan untuk membentuk republik dan Indonesia sebagai bangsa?

Republik harapan

Tantangan terkuak, segera kita bisa melihat bahwa pengalaman lama tak mungkin melampaui (beyond) tantangan baru di atas. Kalaupun bisa, tak akan menghasilkan prestasi spektakuler dan membuat republik diperhitungkan secara regional dan internasional. Karena pengalaman lama tidak tune in dengan dunia baru, lalu kaitan politik dan ekonomi terhadap rezim lama, stok kepemimpinan lama juga sangat kurang dibandingkan melimpahnya stok kepemimpinan baru.

Seorang pembicara dengan optimistis mencatat salah satu sumber dari stok baru kepemimpinan itu berasal dari daerah, bukan dari Jakarta seperti di masa kepemimpinan sentralistik Orba. Selain itu, berasal dari perguruan tinggi di luar negeri lengkap dengan pengetahuan, jejaringan, dan modal mereka tak lagi semata dari UI, ITB, UGM, Undip, dan lainnya.

Lalu bagaimana prosedur rotasi kepemimpinan nasional? Masalah rotasi ini merupakan sumber friksi kepemimpinan nasional, terjadi kemacetan umum atas regenerasi kepemimpinan nasional, khususnya di bidang politik. Semua ini terjadi karena hak para pemimpin tua, SBY, JK, Megawati, dan kawan-kawan sirna karena Jenderal Besar (Purn) Soeharto berkuasa tiga dekade lebih. Selain itu, sumber kemacetan juga berasal dari, pertama, pada ketidakmampuan generasi pertama menilai kualitas generasi kedua kepemimpinan nasional pascareformasi, Kedua, tindakan irasional untuk menghalangi dan mematikan demokrasi partisipatif untuk lahirnya generasi kepemimpinan baru. Misalnya, menghalangi amandemen UUD 1945 agar calon perseorangan dapat berkompetisi menjabat presiden/wakil presiden (Pasal 6A), anggota legislatif (Pasal 22E), menyetarakan fungsi dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 22D), membuat syarat minimal dukungan publik 1-3 persen untuk calon gubernur/bupati/wali kota (revisi UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah). Padahal bila prosedur lahirnya kepemimpinan baru melalui partisipasi dua jalur (double track participation): partai politik (parpol) dan nonpartai politik/perseorangan, maka Indonesia tidak perlu menghadapi friksi akut kepemimpinan nasional seperti sekarang ini. Ketiga, praktik feodalistik, oligarki gerontokrasi, dan patron- klien di partai politik, bukannya meritokrasi, menghalangi inovasi, dan keberanian tokoh-tokoh muda parpol untuk tampil dengan ide dan prestasi baru.

Republik Indonesia (yang muda) dapat bernapas lega dan optimismik melihat ”pasukan baru” dari daerah dan universitas luar negeri. Sumber perekrutan kepemimpinan sangat besar dan kosmopolit, lengkap dengan pengalaman baru mereka di dunia baru yang demokratis. Namun, karakter feodalistik, patriarki, dan prosedur demokrasi sentralistik di Indonesia ternyata merupakan penghalang utama rotasi kepemimpinan nasional. Titik krusial ini bisa menenggelamkan republik ke jalan lama, sekadar restorasi semua nilai, lembaga, individu dan praktik antidemokrasi, antikesejahteraan, dan antikeadilan sosial. Jadi, apabila hambatan pada rotasi kepemimpinan nasional bisa diatasi bersama, maka Republik Muda adalah Republik Harapan.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

No comments:

A r s i p