Sunday, March 9, 2008

POLITIKA


Geleng dan Angguk Kepala
Sabtu, 8 Maret 2008 | 01:47 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Anda pasti takjub membaca berita harian ini, jaksa Urip Tri Gunawan menerima 660.000 dollar AS dari Arthalita Suryani di rumah Sjamsul Nursalim. Takjub reaksi terhadap situasi yang tak bisa lagi dimengerti perasaan maupun logika.

Dalam ilmu psikologi, takjub biasanya diikuti rasa mual dan kadang disusul muntah. Ini alamiah ketimbang kecewa atau marah.

Banyak orang takjub mengikuti pembasmian etnis di Yugoslavia. Ada yang bilang, di sana perlu ada angelic leaders untuk menaklukkan a devilish army.

Konflik di Timur Tengah juga sering mengundang takjub. Ada yang berteori iklim keras dan makanan kurang berserat menyuburkan carnivorous peoples.

Bangsa ini sudah kebal takjub kalau mendengar 1.001 cerita korupsi. Dana bantuan tsunami Aceh diembat, uang makan ibadah haji pun disunat.

Namun, takjub muncul lagi karena jaksa, yang mestinya memberantas korupsi, menerima suap. Sebelum ini, pejabat teras Komisi Yudisial tertangkap basah menerima sogok.

Rasa takjub jadi dua kali lipat karena Sjamsul, yang 10 tahun ngemplang dana BLBI, masih unjuk gigi. Takjub itu jadi tiga kali lipat karena bisnisnya tetap subur di berbagai pelosok negeri ini.

>kern 502m<>h 9735m,0<>w 9735mkern 251m<>h 9736m,0<>w 9736m<

Saya kurang takjub ada argumen yang bilang gaji jaksa ”cuma” Rp 3,5 juta per bulan, jumlah yang tak cukup untuk ukuran Jakarta. Tak sedikit warga hidup ”hanya” dengan Rp 10.000 per hari di Ibu Kota.

Sering terdengar keluhan jaksa, hakim, atau prajurit merasa gaji kurang cukup. Pertama, abdi negara pekerjaan bagi orang terpilih yang diseleksi ketat dengan syarat berat.

Kedua, kalau tahu hidup PNS serba pas-pasan, jangan melamar. Di zaman Belanda, Orde Lama, dan awal Orde Baru, banyak abdi negara bangga hidup sederhana.

Saya tak takjub lagi harian ini memberitakan calon pejabat siap menggelontorkan Rp 100 miliar agar lolos fit and proper test DPR. ”Aliansi strategis” eksekutif-legislatif lewat jalur khusus ini sering melibatkan rupiah sebagai lingua franca.

Anda juga tak takjub situasi politik yang ”panas” menjelang 2009 tak berurusan dengan rakyat. Urusan terpenting, siapa mau jadi dirut BUMN yang mana lewat dukungan petinggi/parpol yang mana pula.

Anda juga tak usah takjub anggaran belanja digelontorkan bukan untuk membantu korban Lapindo. Anda juga tak takjub banyak jalan rusak kendati bea masuk kendaraan dan biaya STNK naik melulu.

Namun, saya takjub dengan PP No 2/2008 yang membuat harga hutan lebih murah daripada pisang goreng. Negeri yang baru saja jadi tuan rumah KTT anti-hutan gundul ini mau membotaki hutannya sendiri.

Lebih menakjubkan lagi, ada parpol yang berkeras RUU Pemilu membolehkan mantan napi dicalonkan sebagai anggota legislatif. ”Ibu dari semua ketakjuban” berkaitan dengan kemerosotan moral bangsa ini.

Anda pasti sudah tak takjub lagi dengan soal ini. Namun, bagi saya yang menakjubkan adalah ini, nyaris tak ada lagi yang peduli.

Nyaris tak ada yang peduli bahwa kekuasaan semakin tak peduli dengan nasib rakyatnya. Bingung, kan?

Kekuasaan dan mereka para pengontrol kekuasaan (DPR, pers, LSM, dan berbagai kalangan masyarakat) idealnya mirip suami-istri saling peduli. Ribut mulut, lempar piring, hal biasa selama tahu batasnya.

Bung Karno sering ditentang, gemar cabut SIT, atau menangkapi oposisi. Pak Harto kalau tersinggung membredel pers, mengucilkan Petisi 50, atau menggertak, ”Saya gebuk!”

Itulah dinamika Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila yang hanya sedikit membuka ruang bebas. Namun, ia menyuguhkan narasi yang menyuburkan rasa saling peduli tadi.

Apalagi Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Pancasila paling tidak punya cita-cita. Rakyat dijanjikan tujuan yang jelas selama mau berbaris seperti angsa.

Lain dengan demokrasi saat ini yang mirip permainan petak umpet. Aturan terpenting ”Demokrasi Petak Umpet” mewajibkan kekuasaan mencari dan menemukan satu per satu mereka yang sembunyi.

Namun, setelah menghitung sampai 10, sang pencari menyerah. Ia malas bermain, membuang kaleng petak umpet, dan pulang ke rumah sambil marah.

Ia menarik garis, ”Tak ada lagi kawan, semua adalah lawan.” Demokrasi Petak Umpet menjadi tak dinamis karena sang pencari dan yang bersembunyi bertepuk sebelah tangan.

Demokrasi Petak Umpet tak menyuguhkan narasi yang berarti karena tak lagi punya tujuan. Itulah alasannya mengapa nyaris tak ada yang peduli lagi.

Itu juga yang menjadi sebab praktik korupsi menjadi-jadi. Masih ada lebih dari 100 kali penyelenggaraan pilkada sampai 2009, satu kali pemilu legislatif April 2009, dua kali pilpres Juli serta September 2009, dan 1.001 skandal korupsi.

Dalam kondisi apatis ini, saya khawatir kita akan terjebak lagi menerapkan ”ilmu geleng dan angguk” kepala. Kini kita takjub geleng kepala sambil bergumam, ”Korupsi pejabat sudah gila!”

Lalu, kita menganggukkan kepala, ”Hmmm, awas lu, tunggu aja saatnya!” Artinya bisa dua: kita benar-benar marah atau, ”Sabar saja dulu, nanti akan tiba giliran korupsi oleh saya....”


 

No comments:

A r s i p