Monday, March 3, 2008

UU Pemilu Dari Partai untuk Partai?


Senin, 3 Maret 2008 | 02:12 WIB

Syamsuddin Haris



Jika tidak ada aral melintang, RUU Pemilu DPR, DPD, dan DPRD akan disahkan dalam Rapat Paripurna DPR hari Senin ini. Masih adakah harapan rakyat bagi terwujudnya perubahan dalam desain undang-undang yang baru?

Setelah berbulan-bulan disiapkan pemerintah dan berbulan-bulan pula dibahas oleh Panitia Khusus DPR, kita tampaknya harus siap menerima kenyataan bahwa tak banyak yang baru dalam UU Pemilu Legislatif 2009 ini. Perubahan yang cukup positif barangkali hanya berkaitan dengan cara pemberian suara yang amat primitif, yakni mencoblos dengan paku, yang diubah menjadi menandai atau mencontreng dengan alat tulis.

Perubahan-perubahan selebihnya, seperti tercermin dari hasil 22 kali negosiasi dan lobi antarfraksi di berbagai hotel berbintang di seputar Jakarta, terkait tarik-menarik kepentingan partai besar, menengah, dan partai kecil yang relatif tidak memiliki dampak langsung bagi peningkatan kualitas representasi di satu pihak, dan kualitas akuntabilitas para wakil di lain pihak.

Transaksi kepentingan

Sebenarnya ada semangat perubahan di balik beberapa isu krusial yang telah disepakati partai-partai, seperti besaran daerah pemilihan. Besaran daerah pemilihan dengan alokasi 3-10 kursi merupakan langkah maju dibandingkan 3-12 kursi seperti pemilu sebelumnya karena akan berimplikasi pada berkurangnya jumlah partai yang memperoleh kursi di DPR. Dengan demikian, fragmentasi partai di DPR sedikit berkurang sehingga pemerintahan yang lebih efektif dapat diwujudkan.

Namun, sayangnya langkah maju tersebut harus ”tercederai” oleh kesepakatan lain, yakni membolehkan semua partai yang memperoleh kursi DPR hasil Pemilu 2004—meskipun gagal mencapai electoral threshold 3 persen—untuk langsung ikut Pemilu 2009. Partai-partai mementahkan kembali kesepakatan yang telah tercantum dalam UU No 12 Tahun 2003 demi transaksi atau pertukaran kepentingan di antara para politisi partai itu sendiri.

Negosiasi, lobi, dan pertukaran kepentingan di antara para politisi sebenarnya wajar dan sah-sah saja di dalam sistem demokrasi. Akan tetapi, jika transaksi kepentingan itu berorientasi jangka pendek, yakni semata-mata demi pembagian kekuasaan di antara partai-partai, tentu patut menjadi keprihatinan kita bersama. Persoalannya, rakyat dan bangsa ini sudah terlalu lelah dengan perilaku para politisi partai yang terlalu sibuk ”berpolitik” sehingga lupa dengan mandatnya memperjuangkan kepentingan rakyat.

Isu krusial yang tersisa

Mengenai dua isu krusial yang belum disepakati, yakni penghitungan sisa suara dan penentuan calon terpilih, semestinya para politisi partai berpegang pengurangan distorsi yang ada pada UU No 12 Tahun 2003. Seperti diketahui, salah satu distorsi itu adalah terabaikannya prinsip proporsionalitas ketika perolehan suara diterjemahkan ke kursi legislatif sehingga terjadi kesenjangan besar antara perolehan suara dan perolehan kursi. Terlepas dari siapa atau partai apa yang diuntungkan, dan sebaliknya dirugikan, prinsip proporsionalitas tersebut hendaknya menjadi dasar kesepakatan partai-partai.

Sementara itu, dalam rangka meningkatkan kualitas representasi dan kedaulatan rakyat, penentuan calon terpilih tahap pertama dengan BPP (bilangan pembagi pemilihan) 30 persen yang diikuti tahap kedua atas dasar suara terbanyak jelas lebih maju ketimbang atas dasar nomor urut. Partai-partai yang masih mempertahankan nomor urut sudah saatnya berkorban, bukan untuk partai-partai yang berbeda pandangan, melainkan terutama untuk demokrasi yang berkedaulatan rakyat.

Apabila prinsip proporsionalitas, representasi, dan kedaulatan rakyat sejak awal menjadi dasar kesepakatan partai-partai dalam membahas RUU Pemilu, sebenarnya tidak perlu waktu berbulan-bulan untuk menyelesaikannya. Selain itu, dana yang dikeluarkan untuk membiayai 22 kali negosiasi dan lobi di hotel berbintang tentu bisa dialokasikan, misalnya, untuk nasi bungkus para pengungsi korban lumpur Lapindo di Sidoarjo.

Langkah mundur

Beberapa isu lain yang terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), kesepakatan partai-partai dalam RUU Pemilu ini dapat dikatakan cenderung mundur dibandingkan UU No 12 Tahun 2003 yang digantikannya. Sebagai wakil daerah, setiap calon anggota DPD semestinya berdomisili di daerah pemilihannya, tetapi kini persyaratan domisili ditiadakan. Begitu pula hakikat peserta pemilihan DPD yang semestinya bersifat perseorangan, kini melalui RUU Pemilu para pengurus partai politik dibolehkan turut serta dalam pencalonan DPD. Padahal, Pasal 22E Ayat 4 UUD 1945 hasil perubahan ketiga secara eksplisit mengamanatkan, ”Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.”

Persyaratan domisili jelas sangat penting bagi para wakil daerah agar DPD tidak dikuasai oleh para elite politik Jakarta yang tiba-tiba memiliki komitmen untuk memberdayakan daerah. Selain itu, persyaratan domisili tetap diperlukan agar DPD kembali ke fitrahnya sebagai representasi daerah-daerah yang lebih banyak bekerja di daerah ketimbang di Jakarta. Di sisi lain, pemberian kesempatan bagi pengurus partai politik untuk turut serta dalam pemilihan DPD bukan hanya bertentangan dengan amanat konstitusi, tetapi juga semakin mengaburkan esensi DPD sebagai wakil daerah secara perseorangan.

Langkah mundur RUU Pemilu ini patut menjadi keprihatinan kita jika benar sinyalemen bahwa perubahan itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk merebut kursi DPD jika gagal menjadi calon dengan posisi signifikan dalam pemilihan DPR. Lalu, apa jadinya bangsa ini kalau revisi undang-undang pemilu dilakukan sekadar untuk memenuhi syahwat kekuasaan para politisi partai?

Semoga saja situasi yang dialami bangsa kita dewasa ini tidak mengarah pada kekhawatiran Bung Hatta tatkala mengkritisi partai-partai, yakni situasi ketika ”partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”.

Syamsuddin Haris Profesor Riset Ilmu Politik LIPI

No comments:

A r s i p