Tuesday, March 18, 2008

ANALISIS POLITIK

Menguras Laut


SUKARDI RINAKIT

Sebagai seorang pengamat politik, hal yang paling saya khawatirkan adalah apabila sudah ada demonstrasi yang tuntutannya adalah ”turunkan harga sembako!” Beberapa hari lalu peristiwa itu sudah terjadi.

Fenomena itu adalah sinyal bagi para pengendali pemerintahan bahwa titik api kekecewaan mulai berpijar. Jika tidak segera ditangani, titik api itu berpotensi untuk membesar. Seperti yang dicatat dalam sejarah, kerusuhan sosial menjadi terlalu dekat untuk dihindari.

Namun, ledakan sosial bisa saja diredam jika pemerintah pandai mengelola kekecewaan publik dengan sentuhan-sentuhan lembut—untuk tidak menyebut manipulatif. Dengan demikian, kesulitan hidup yang mereka pikul tak berubah menjadi kemarahan.

Sekadar kiat

Sementara itu, ketika titik-titik api mulai berpijar, politisi justru sedang berkontestasi mematok persyaratan calon presiden. Masalah ini bukannya tak penting, tetapi menengok kondisi rakyat jauh lebih penting.

Akan tetapi, kenyataannya, politisi lebih tertarik pada kiat politik daripada esensi. Implikasinya, orientasi mereka terfokus pada cara-cara mempertahankan dan merengkuh kekuasaan daripada memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Persyaratan calon presiden harus diusung partai politik atau gabungan partai politik yang menguasai minimal 30 persen kursi DPR, misalnya, adalah cermin dari kuatnya orientasi kiat politik itu.

Dilihat sekilas, cara itu memang akan mempercepat penguatan sistem presidensial. Akan tetapi, dari perspektif lain, kiat itu sekurangnya mengandung dua dimensi. Lapis pertama adalah sekadar cara Golkar untuk menghindar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Persyaratan 30 persen itu adalah cara elegan yang bisa diambil Golkar apabila ia berkehendak menolak tawaran Presiden Yudhoyono untuk berpasangan kembali dengan Jusuf Kalla.

Dalam konteks itu, kiat bekerja sama dengan sesama partai besar, apalagi kalau bisa membuat jejaring segi empat permanen (Golkar, PDI Perjuangan, PKB, dan PPP) memang akan melontarkan Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat ke luar lingkaran pertempuran. Sebaliknya, kalau Golkar menerima kerja sama dengan Partai Demokrat, daya tawar Golkar menjadi absolut.

Lapis kedua dari tingginya persyaratan calon presiden adalah merosotnya eksistensi partai-partai menengah dan kecil. Partai-partai besar hanya akan melihat mereka sebatas pelengkap suara. Kekuatan dana dan sumber daya politik adalah ancaman serius bagi eksistensi partai-partai menengah dan kecil. Ia menggerus tanpa ampun.

Pendeknya, partai-partai besar saat ini sedang memainkan strategi nawu segoro (menguras lautan). Dengan penetapan persyaratan tinggi bagi calon presiden tersebut, mereka memaksa partai-partai menengah dan kecil bergabung atau mati sama sekali.

Nilai keutamaan

Meski demikian, seperti berlakunya keseimbangan hukum alam, celah untuk mengalahkan strategi nawu segoro sebenarnya tetap terbuka. Partai-partai menengah dan kecil tetap bisa menggeliat dan keluar dari gulungan ombak strategi tersebut. Salah satu caranya, mereka melakukan koalisi dan menemukan figur pemimpin alternatif untuk dijagokan dalam kontestasi pemilihan presiden 2009.

Jika hal itu terjadi, manuver politik partai-partai besar menjadi terasa sia-sia. Itu sekaligus memberikan pelajaran bagi politisi untuk selalu mendekat kepada esensi politik daripada sekadar menjalankan kiat-kiatnya. Setidaknya mereka menjaga keseimbangan orientasi antara esensi dan kiat politik.

Dalam konteks kekinian, keseimbangan tersebut bisa dijaga apabila pergantian pemimpin mengikuti model transisional. Maksudnya, setiap partai harus berpikir bahwa tahun 2009 kombinasi kepemimpinan ideal adalah presiden dari kaum senior, wapres dari golongan yunior, dan kabinet didominasi anak-anak muda.

Hanya dengan komposisi demikian, adagium Napoleon, ”Leaders are dealers in hope” bisa mendekati kenyataan. Harus ada mimpi baru yang dipanggul di pundak kaum muda.

Selain itu, seperti pesan Taufik Kiemas berkali-kali kepada penulis bahwa sejatinya pemimpin muda saja tidak cukup. Harus ada nilai keutamaan lain yang dimiliki, yaitu dia harus pluralis. Tanpa itu, bisa dipastikan Indonesia tinggal sebuah imajinasi.

Selebihnya, politisi sebaiknya mulai mempersiapkan platform politik yang terukur. Misalnya, jika terpilih jadi presiden, ia akan mengalokasikan semua hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pendidikan dan kesehatan (gratis). Itulah sebenarnya nilai keutamaan seorang politisi. Bukan ”menguras laut”!

No comments:

A r s i p