Saturday, March 1, 2008

Penyederhanaan Partai



Saat ini berkembang wacana revisi sistem pemilu proporsional yang digunakan pada Pemilu 2004. Langkah itu dilakukan agar aspek proporsionalitas lebih adil: jumlah suara berbanding lurus dengan jumlah kursi dapat tercipta.

Muncul usulan agar bilangan pembagi pemilihan (BPP), sebagai salah satu sumber persoalan, diterapkan dengan lebih ketat. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai partai yang merasa paling dirugikan, misalnya, mengusulkan agar partai yang memiliki suara minimal 3 persen di suatu daerah pemilihan saja yang berhak mendapatkan sisa suara.

Adapun bagi partai yang suaranya kurang dari usulan electoral threshold itu tidak bisa mendapatkan sisa suara dan otomatis akan sulit mendapatkan kursi. Usulan ini secara eksplisit mendapat dukungan dari dua partai besar, Partai Golkar dan PDI Perjuangan, yang merasa tercuri kursinya dengan sistem pemilihan yang diterapkan saat ini.

Dari perdebatan yang berkembang, isu utama yang memicu usulan PKB dan dua partai besar adalah soal proporsionalitas atau kesetaraan antara jumlah suara dengan jumlah kursi. Logikanya, partai yang bersuara besar harus mendapatkan kursi yang besar, begitu pula sebaliknya.

Sementara contoh konkret yang terjadi saat ini adalah justru beberapa partai seperti PPP, Partai Demokrat, dan PAN, yang jumlah suaranya lebih kecil dari PKB, mendapatkan kursi lebih banyak dari partai yang disebut belakangan. Begitu pula dengan kasus Partai PDK dan PKPB. Meski suara Partai PDK hanya sekitar setengah saja dibanding suara PKPB, namun jumlah kursinya malah dua kali lipat lebih banyak dari PKPB.

Efek Distorsi dalam Sistem Proporsional

Secara teoretis, sistem pemilihan proporsional (multi-member constituency) sesungguhnya justru merupakan sistem yang mengecilkan peluang terjadinya disproporsionalitas antara jumlah suara dan jumlah kursi.

Dalam sejarah perkembangan sistem pemilihan, salah satu alasan munculnya sistem proporsional adalah reaksi terhadap mekanisme sistem distrik (singlemember constituency) yang cenderung menghasilkan sebuah efek distorsi (distortion effect). Efek distorsi adalah munculnya ketidakproporsionalan antara jumlah suara yang diraih dengan jumlah kursi yang didapatkan.

Berdasarkan pengalaman yang kerap terjadi di Inggris, sebuah partai yang memiliki jumlah suara lebih sedikit mungkin saja justru mendapatkan kursi lebih banyak di parlemen. Kehadiran efek distorsi ini karena adanya prinsip the winner takes all dan keterwakilan ruang/atau distrik. Negara dibagi menjadi beberapa distrik, kemudian partai pemenang akan mengambil jatah kursi yang ada di distrik itu (takes all), sedangkan jumlah suara yang didapatkan oleh partai yang tidak menang akan hangus dan tidak bisa diakumulasikan dengan suara yang dimilikinya di distrik lain.

Dalam situasi ini, mungkin saja sebuah partai yang sebenarnya mendapatkan suara merata dan secara akumulatif di tingkat nasional lebih banyak namun selalu tidak berhasil menjadi nomor satu di distrik-distrik yang ada, mendapatkan jumlah kursi yang sangat minim di parlemen. Dalam kasus Indonesia, efek distorsi ternyata juga dapat terjadi pada sistem proporsional.

Munculnya efek distorsi itu pada dasarnya disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, keinginan agar suara di luar Jawa lebih diperhatikan dan berimbang dengan suara di Jawa, yang lebih padat penduduknya. Akibatnya "harga" kursi di Jawa lebih mahal ketimbang di luar Jawa. Tampaknya, semangat menghargai pluralisme dan proporsionalitas Jawa-non-Jawa menjadi pertimbangan utama saat UU Pemilu ditetapkan, kemudian menjadi landasan bagi Pemilu 2004.

Namun, memang belakangan partai yang memiliki konsentrasi suara di Pulau Jawa, seperti PKB, harus membayar mahal mengingat tingginya harga kursi di Jawa. Kedua, mekanisme pelaksanaan BPP yang cenderung longgar dan memberikan angin terhadap partaipartai kecil dan menengah. Hal ini karena prinsip yang digunakan adalah kursi atas dasar sisa suara dibagikan secara berurutan dimulai dari parpol yang memiliki sisa suara terbanyak sampai yang tersedikit.

Hal yang menjadi persoalan adalah jumlah suara sah partai kecil yang tidak mencapai BPP pun dianggap sebagai sisa suara. Akibatnya, mungkin saja sebuah partai yang tidak dapat menyentuh BPP, namun karena suara sahnya (sisa suara) termasuk paling banyak, partai tersebut justru mendapatkan kursi di parlemen.

Atas dasar ini, menurut PKB, perlu ada mekanisme ambang batas suara yang harus dilampaui sebuah partai sebelum dinyatakan layak untuk mendapatkan kursi atas dasar sisa suara, dengan akumulasi sisa suara ditarik sampai tingkat provinsi atau pada level nasional, sebagaimana yang diusulkan oleh Partai Golkar dan PDIP.

Mengapa Tidak?

Spirit dari usulan PKB dan partai-partai yang sepakat dengan perevisian UU Pemilu dalam konteks BPP dan electoral treshold tampaknya perlu mendapatkan dukungan. Mengingat, tujuan jangka panjang spirit usulan itu adalah perampingan jumlah partai, penguatan sistem politik, dan pelajaran untuk menciptakan partai modern. Adapun secara spesifik, dukungan atas usulan itu terkait dengan beberapa hal.

Pertama, mengingat pada dasarnya tidak ada perbedaan program dan ideologi yang signifikan antara satu partai dengan yang lain hingga saat ini, maka "terkorbankannya" partai-partai menengah dan gurem. Akibat usulan ini sejatinya tidak meluruhkan aspek keterwakilan ataupun mengorbankan kemungkinan alternatif pemikiran dalam proses pembuatan kebijakan.

Kedua, masih terkait dengan poin pertama, aspek pluralisme keterwakilan juga tidak terganggu. Hal ini mengingat prinsip kepartaian yang umum dijalani oleh partai-partai di Indonesia saat ini adalah bersifat partai terbuka dan bukan partai kader atau partai yang mewakili kalangan minoritas tertentu, apakah minoritas keagamaan, kesukuan, ataupun gender. Di samping itu, keberadaan DPD saat ini relatif mampu dan memang ditujukan untuk lebih terwakilinya kepentingan lokal.

Ketiga, menghindari efek distorsi yang dapat mengganggu aspek keadilan dan mengaburkan konstelasi politik sesungguhnya. Keempat, memungkinkan terjadinya penyederhanaan jumlah partai, yang pada gilirannya akan dapat menggiring efisiensi kerja parlemen, rasionalisasi pembiayaan peserta pemilu, penguatan stabilitas politik, dan keseriusan dalam membentuk partai politik.

Kelima, terkait dengan poin penyederhanaan partai ini, diharapkan di kemudian hari para "pemilik modal" dapat memfokuskan dirinya dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan perbaikan kualitas kehidupan bangsa melalui cara-cara yang lebih efektif dan down to earthdi luar partai politik. (*)

Firman Noor MA
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI

No comments:

A r s i p