Wednesday, March 12, 2008

Republik Ini Butuh Pemimpin, Bukan Majikan

Sri Palupi

Kepemimpinan itu tindakan, bukan posisi atau jabatan.(Donald H MacGannon)

Kebenaran kata-kata bijak ini tidak hanya bisa dijumpai pada diri pemimpin besar dunia macam Gandhi atau Ibu Teresa. Kebenaran yang sama kini tengah dipraktikkan para pemimpin lokal di berbagai daerah di Republik ini.

Itulah mengapa dalam diskusi ”Peta Baru Indonesia Muda” yang diadakan Lingkar Muda Indonesia (LMI) bersama Kompas pada 18 Desember lalu, tebersit keyakinan bahwa masa depan Republik ini ada di daerah.

Jalan Republik

Belakangan ini masalah kepemimpinan Republik kembali dipersoalkan, terutama oleh kalangan muda. Saya yakin kaum muda melakukannya bukan karena mau minta jatah kekuasaan sebagaimana anggapan banyak orang. Pertanyaan kaum muda itu lahir dari keprihatinan akan kondisi Republik yang semakin jauh dari yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini.

Pemerintahan datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak perubahan ke arah kesejahteraan. Bahkan ada kecenderungan, jalan yang dilalui para penguasa negeri ini jauh dari ”Jalan Republik” yang ditegaskan dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Jalan Republik telah sedemikian diabaikan sampai-sampai petinggi negara ini dengan terang-terangan melontarkan pandangan bahwa pemimpin Republik, baik nasional maupun lokal, sebaiknya berlatar belakang pebisnis (Kompas, 22/11/2006). Pandangan semacam ini menunjukkan dengan jelas visi sektoral seorang penguasa yang memandang Republik ini tidak lebih sebagai korporasi atau pasar raksasa yang hanya bisa dikelola dengan logika dagang.

Berkaca pada daerah

Munculnya para pemimpin lokal di berbagai daerah yang terbukti mampu memberi inspirasi dan menggerakkan masyarakat bak oase di tengah padang gurun krisis kepemimpinan nasional. Tidaklah berlebihan kalau kemudian muncul keyakinan, masa depan Republik ini ada di daerah, bukan di Jakarta. Sebab dari para pemimpin lokal itulah kita bisa berkaca tentang kepemimpinan Republik.

Di Republik ini dapat kita jumpai demikian banyak pemimpin daerah yang berkualitas dan dianggap sukses. Dua di antaranya adalah Wali Kota Pekalongan Basyir Ahmad dan Bupati Kebumen Rustriningsih. Keduanya memiliki performa sebagai pemimpin yang berkualitas. Setidaknya ada tiga faktor yang membuat mereka pantas disebut pemimpin berkualitas.

Pertama, kemampuan mereka dalam mengenali masalah sebelum masalah itu meledak menjadi suatu kedaruratan. Mereka menunjukkan kemampuan dalam memenuhi tanggung jawab pertama mereka sebagai pemimpin, yaitu mendefinisikan realitas yang menjadi basis kebijakan publik. Realitas itu adalah luasnya kemiskinan yang menuntut adanya kebijakan publik yang berpihak kepada warga miskin. Kemampuan untuk berpihak kepada yang miskin dan lemah ini sangat sentral dalam kepemimpinan Republik yang 108,78 juta warganya tergolong miskin.

Kedua, kemampuan mereka dalam menempatkan diri sebagai pemimpin dan bukan bos alias majikan. Bos kerjanya memerintah, sementara pemimpin melayani. Dorongan untuk menjalankan visi sebagai pemimpin tidak datang dari posisi atau jabatan mereka sebagai wali kota atau bupati, tetapi dari passion mereka sebagai pelayan masyarakat yang bekerja demi kepentingan kesejahteraan masyarakat, bukan kesejahteraan pribadi, kelompok, golongan, dan partai.

Tidak heran kalau dalam waktu singkat, masyarakat Kota Pekalongan dan Kabupaten Kebumen sungguh merasakan efektivitas kepemimpinan yang berperspektif melayani ini. Dalam waktu setahun, Wali Kota Pekalongan, misalnya, berhasil menyulap 1.700 permukiman kumuh tidak layak huni menjadi permukiman sehat. Dalam waktu dua tahun, APBD untuk pendidikan meningkat dari 7 persen menjadi 20 persen.

Kalau di banyak daerah, termasuk Jakarta sekalipun, mayoritas APBD hanya untuk keperluan belanja pegawai, tidak demikian dengan di Pekalongan dan Kebumen. Berbagai alokasi anggaran yang selama ini bersifat pemborosan dan rawan korupsi dipangkas sedemikian rupa sehingga mayoritas APBD dapat dialokasikan untuk menyejahterakan masyarakat. Mereka menggunakan kewenangan dalam otonomi daerah sebagai peluang untuk membangun daerah berdasarkan kearifan lokal.

Ketiga, mereka mampu memberi inspirasi kepada masyarakat untuk tidak hanya percaya pada kemampuan pemimpin, tetapi terlebih lagi adalah percaya pada kemampuan mereka sendiri sebagai warga. Dengan kepemimpinan seperti ini, keduanya mampu mengajak seluruh jajaran pemerintahan dan segenap masyarakat untuk bekerja bersama mewujudkan kesejahteraan. Tidak heran kalau masyarakat dari segala lapisan, terlebih yang miskin, puas dengan kepemimpinan mereka.

Semangat melayani dan memimpin dengan keteladanan yang dilakukan keduanya mampu memberi inspirasi kepada masyarakat untuk bermimpi lebih banyak, belajar lebih banyak, berbuat lebih banyak dan menghasilkan capaian-capaian lebih banyak. Dengan cara demikian, mereka menumbuhkan harapan akan masa depan lebih baik bagi yang miskin sekalipun.

Jadilah pemimpin

Dalam refleksinya, seorang pakar filsafat mengajukan lima persyaratan pemimpin Republik. Pertama, pemimpin Republik mampu melampaui kesempitan sektoral. Sebab Republik jauh lebih besar dan melampaui bidang-bidang sektoral yang spesifik, seperti bisnis, akademis, dan keamanan. Kedua, pemimpin Republik mampu mengatasi ceteris paribus, yaitu perspektif atau cara berpikir sektoral yang sempit. Kedalaman, keluasan, dan kepekaan pemimpin, yang tidak identik dengan kepandaian akademik apalagi ilmiah, merupakan syarat mutlak. Ketiga, pemimpin Republik adalah penjaga andal kebijakan publik. Bagi pemimpin Republik, kebijakan publik adalah senjata utamanya.

Keempat, pemimpin Republik memahami sepenuhnya bahwa kekuasaan besar di tangannya adalah untuk melakukan tindakan afirmatif bagi kaum yang paling membutuhkan. Syarat ini mutlak dibutuhkan mengingat demikian banyaknya kekuasaan yang bertarung di negeri ini cenderung membawa Republik ke arah kepentingannya sendiri. Dalam kondisi ini pemimpin Republik akan dengan mudah dilumpuhkan. Kelumpuhan ini bisa dengan mudah dibaca gejalanya dari ketidaktegasan dalam mengambil keputusan dan keputusan yang diambil pun kehilangan status sebagai kebijakan publik karena bukan kebijakan dan tidak juga publik. Kelima, pemimpin Republik mampu mengubah keempat syarat itu menjadi suatu kesengajaan agar berlaksa-laksa kegiatan terjadi setiap hari yang mengarah pada terbentuknya Indonesia sebagai bangsa.

Setelah membaca kelima persyaratan itu, kita memang pantas pesimistis dan prihatin dengan performa para pemimpin tua yang ada sekarang dan yang akan maju dalam Pemilu 2009. Sebab para pemimpin tua itu cenderung membangun reputasi berdasarkan apa yang akan mereka kerjakan. Dengan kata lain, mereka menyodorkan diri sebagai pemimpin Republik dengan modal janji-janji seperti yang terjadi selama ini.

Bila kita bercermin pada pengalaman Wali Kota Pekalongan, Bupati Kebumen, dan para pemimpin lokal lainnya, terbentang harapan akan kehadiran pemimpin sejati di Republik ini. Pemimpin sejati lahir dari masyarakat yang warganya bekerja banyak, berbuat banyak dan memberikan yang terbaik, entah ada atau tidak ada pemimpin. Akhir kata, Republik ini butuh banyak pemimpin, bukan majikan. Bila hakikat kepemimpinan adalah tindakan, kita semua harus menjadi pemimpin.

Sri Palupi Ketua Institute for Ecosoc Rights

No comments:

A r s i p