Monday, March 17, 2008

Kemenangan Perempuan dalam Pemilihan Kepala Daerah Langsung


Nurul Arifin

Hasil-hasil penelitian umumnya memperlihatkan, konstruksi sosial yang menghasilkan divisi sosial di antara wilayah privat dan publik berdasarkan jenis kelamin menyebabkan halangan bagi kaum perempuan untuk aktif berpolitik.

Judith Squires (1999) menyatakan, perempuan telah lama dan secara luas mengalami keterpencilan dari berbagai aktivitas politik dan dihambat untuk mendefinisikan aktivitas mereka sebagai sesuatu yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari politik.

Tak heran jika perempuan enggan memasuki dunia politik karena merasa ”politik bukan dunia perempuan”. Banyak yang bahkan memiliki inferioritas dan menganggap ”tidak pantas” dan atau ”tidak memiliki keahlian” yang dibutuhkan untuk berkecimpung dalam dunia politik.

Meskipun demikian, terdapat perkembangan politik menarik, khususnya dalam pergulatan perempuan di arena pilkada. Sampai dengan pertengahan tahun 2007 tercatat sekurang-kurangnya 82 perempuan mengikuti pilkada di 232 daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Calon

Dari jumlah di atas, 26 perempuan (30,76 persen) terdaftar sebagai calon kepala daerah dan sisanya, 57 perempuan (69,24 persen), terdaftar sebagai wakil kepala daerah, meskipun pada akhirnya hanya 8 perempuan yang berhasil terpilih sebagai kepala daerah serta 11 lainnya terpilih sebagai wakil kepala daerah.

Bagaimana menjelaskan kenyataan di tengah-tengah hegemoni politik patriarki yang kuat terdapat sejumlah perempuan yang memenangi pilkada? Telaah dari hasil wawancara mendalam terhadap tiga kepala daerah terpilih, yaitu Ratu Atut Chosiyah (Gubernur Banten), Ratna Ani Lestari (Bupati Banyuwangi), dan Rustriningsih (Bupati Kebumen) menghasilkan beberapa kesimpulan menarik.

Strategi kemitraan

Terdapat cukup bukti untuk menunjukkan bahwa perjuangan ketiga perempuan ini di arena pilkada merupakan perjuangan melawan hegemoni politik patriarki. Yang menarik, mereka melawan dengan cara menghindari politik yang berbasiskan konfrontasi. Dengan kata lain, mereka menggunakan pola yang dikenal dengan konsep ”struggle from within" daripada melalui pola ”struggle from outside the dominant ideology”.

Mereka mengganti (displacement) dikotomi laki-laki-perempuan melalui strategi berbasiskan kemitraan (partnership) dengan laki-laki. Keputusan mereka berpasangan dengan laki-laki sebagai wakil mereka dalam pilkada memberi ilustrasi yang kuat tentang strategi ini. Ini juga berarti mereka sedang meletakkan basis sosial dan kultural baru dalam hal bagaimana relasi di antara perempuan dan laki-laki dalam ruang publik disandarkan pada definisi baru: relasi kemitraan.

Mereka juga menerobos resistensi pengakuan dan penerimaan publik dan legitimasi politik terhadap kandidat perempuan dengan gaya berpolitik yang sama. Mereka memobilisasi dukungan yang menekankan pengaruh politik mereka melalui simpul jaringan strategis yang terdapat di masyarakat dan pada umumnya para tokoh masyarakat dan agama, yang sebagian besar laki-laki. Melalui relasi kemitraan dengan tokoh-tokoh inilah ketiga perempuan ini menjawab keraguan tentang kapasitas mereka.

Selain itu, melalui relasi yang bersifat personal, ketiga perempuan tersebut juga memanfaatkan dukungan yang kuat dari laki-laki yang menjadi bagian penting dalam hidup mereka.

Ayah atau suami adalah ”the significant other” yang menjadi bagian kekuatan dari ketiga perempuan itu. Dalam kasus Rustriningsih dan Ratu Atut Chosiyah, the significant other adalah ayah mereka. Sementara dalam kasus Ratna Ani Lestari adalah suaminya yang juga Bupati Jembrana.

Menjadi peluang

Hal di atas tidak bisa terhindarkan dalam dunia yang masih memegang kuat budaya patriarki. Yang berbeda, di wilayah privat, di antara keluarga mereka sendiri, ketiga perempuan ini mendapatkan dukungan yang penuh untuk menjalani kehidupan publik yang melam- paui batas yang memisahkan pembagian kerja atas dasar seksualitas.

Ketiga perempuan itu mendapat penghargaan dan dukungan dari the significant other, di mana perlakuan ini biasanya hanya ditujukan kepada (anak) laki-laki. Hal ini membuktikan, perempuan bisa memiliki kualitas dan kekuatan jika perempuan diberi ruang untuk berkembang tanpa diskriminasi jender.

Anne Phillips (1991) dalam bukunya, Engendering Democracy, juga menekankan kesetaraan di ruang privat sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari takaran tentang bobot politik setiap individu pada akhirnya.

Jadi, the significant other tidak selalu bermakna negatif sehingga perempuan ragu dikaitkan atau ragu untuk memanfaatkan the significant other yang dimilikinya. Atau pemaknaan yang negatif tersebut mengakibatkan pemikiran yang menjebak bahwa perempuan tidak mampu tanpa dukungan the significant other.

Dalam hal ini, ketiga perempuan ini memperlihatkan kekuatan mereka yang tidak mau menyerah pada dominasi patriarki. Sebaliknya, mereka mampu mengubah hambatan dari dunia patriarki menjadi peluang.

Perempuan bisa sangat cerdas memanfaatkan hubungannya dengan the significant other untuk memaksimalkan kemampuannya dan merebut kesempatan. Hal ini merupakan bagian dari strategi politik kemenangan mereka.

Nurul Arifin Aktivis sosial dan politik, dosen Ilmu Politik di Unas, Jakarta


No comments:

A r s i p