Saturday, March 22, 2008

TAJUK RENCANA

Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:22 WIB
Menjelang 10 Tahun Reformasi

Kalau reformasi dipatok dari lengsernya Presiden Soeharto, Mei 1998, dua bulan lagi peristiwa bersejarah itu genap 10 tahun.

Di bawah empat presiden sesudahnya yang silih berganti berkuasa, gejalanya Indonesia semakin terpuruk. Tidak lagi hanya krisis ekonomi, politik, dan moral, tetapi juga krisis kebudayaan.

Mengapa disebut krisis kebudayaan? Sindhunata dalam rubriknya ”Tanda-tanda Zaman” di majalah Basis, Januari-Februari 2008, secara pas menaruh istilah situasi pascakrisis tidak hanya dalam situasi keterjajahan ekonomi, tetapi juga dalam nestapa budaya. Krisis tempe, salah satu produk budaya lokal bangsa ini, ditaruhnya sebagai kapstok. Mahalnya harga kedelai yang sebagian besar justru barang impor membuat kita kehilangan jati diri.

Kasus tertangkapnya Urip Tri Gunawan mulai dari prolog berikut nalog dan epilognya tampil sebagai contoh yang jelas. Kasus berlarut-larutnyaproses pemilihan Gubernur BI menunjukkan sulitnya menyelenggarakan sistem pemerintahan de jure presidensial, tetapi de facto parlementer. Kuatnya hegemoni partai-partai di lembaga legislatif membuat banyak persoalan kedodoran.

Manajemen balas jasa merupakan representasi pembelokan mempraktikkan paham kekuasaan. Kekuasaan dikembangkan tidak sebagai sarana menyejahterakan rakyat, tetapi sarana menambah kekayaan, popularitas, kebesaran, dan kelanggengan kekuasaan diri dan kelompoknya, dan sebagai alat dan media pencitraan.

Yang dihadapi pemerintahan SBY-JK tidaklah gampang. Reformasi dengan salah satu buahnya keberanian mengekspresikan diri di sisi lain bisa membuat gamang. Gamang serba ragu, selain karena masalah kompetensi dan kepercayaan diri, juga karena faktor situasi pascareformasi yang terkesan kebablasan. Memprihatinkan! Suasana dan rasa prihatin diperparah oleh bencana dan musibah alam bahkan musibah yang terpicu kelalaian manusia seperti lumpur Lapindo datang bertubi-tubi.

Peristiwa keagamaan seperti Paskah yang hari-hari ini dirayakan umat Kristen dengan puncaknya ”kegembiraan Paskah” diawali dengan laku prihatin. Masa pantang dan puasa sebagai persiapan menyambut perayaan Pekan Suci Paskah merupakan kesempatan menunjukkan rasa keprihatinan bersama. Kebangkitan adalah buah dari penderitaan. Perayaan kebahagiaan/kebangkitan sekaligus adalah peringatan akan penderitaan. Peristiwa keagamaan kita jadikan momentum menaruhkan harapan. Semua agama tidak bisa lari dari persoalan dunia (fuga mundi).

Harapan akan apa? Harapan berubahnya kebiasaan praktik kerja tidak tuntas, kebiasaan mendahulukan pencitraan diri agar kinclong, dan menempatkan kekuasaan sebagai sarana mendahulukan kepentingan banyak orang. Tanpa mengecilkan makna politis 2009 dan suasana menjelang satu dekade reformasi, peristiwa Paskah menemukan momentum yang tepat.

Selamat Paskah 2008, bagi yang merayakannya!

No comments:

A r s i p