Tuesday, March 11, 2008

Undang-Undang Pemilu


Bak Malaikat Maut
Selasa, 11 Maret 2008 | 00:05 WIB

Oleh SIDIK PRAMONO

Saat rapat kerja Panitia Khusus RUU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD pada akhir Februari lalu, ketentuan ambang batas (threshold) menjadi bahasan yang alot. Setiap fraksi mencoba mempertahankan argumentasinya. Saking alotnya, tidak mengherankan jika beberapa kali terlihat Bursah Zarnubi (Partai Bintang Reformasi), Pastor Saut Hasibuan (Partai Damai Sejahtera), Jamaluddin Karim (Partai Bulan Bintang), dan bahkan Ryaas Rasyid (Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan) harus keluar ruang rapat dengan tampang kusut.

Dalam beberapa kesempatan rihat rapat, Ketua Umum Partai Bintang Reformasi (PBR) Bursah Zarnubi lebih kerap menolak ketika diajak makan bersama oleh anggota pansus lain. Alasan Bursah, ”Kami ini sedang menunggu eksekusi hukuman mati.”

Bursah dan PBR tidak sendirian. Sejumlah petinggi partai politik yang terlibat dalam pembahasan RUU Pemilu pun seolah menunggu ”malaikat maut” datang menjemput. Dalam UU No 12/2003, untuk bisa langsung menjadi peserta Pemilu 2009, parpol peserta Pemilu 2004 mesti meraih minimal 3 persen kursi DPR atau 4 persen jumlah kursi DPRD provinsi dengan sebaran setengah jumlah provinsi atau 4 persen jumlah kursi DPRD kabupaten/kota dengan sebaran setengah jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Jika ketentuan tersebut tidak dianulir, hanya tujuh parpol besar yang bisa langsung maju dalam Pemilu 2009. Parpol lain mesti berupaya berbagai cara untuk bisa turut serta, seperti bergabung dengan parpol lain atau membangun parpol ”sekoci” dengan nama yang mirip parpol lama. Rumusan dalam UU Pemilu sangat menentukan kelanjutan nasib mereka, terlebih pada saat bersamaan, proses mendapatkan pengesahan sebagai badan hukum di Departemen Hukum dan HAM sudah masuk tahap penutupan pendaftaran.

Dalam rapat antarfraksi DPR ataupun dengan pemerintah, muncul alternatif ”melunakkan” ketentuan UU No 12/2003, semisal bahwa parpol yang punya fraksi utuh di DPR bisa langsung menjadi peserta Pemilu 2009 sekalipun tidak memenuhi electoral threshold (ET). Sempat pula muncul alternatif, batasannya diturunkan sampai parpol yang memperoleh minimal 10 kursi DPR—tetapi usul itu mentah karena ada unsur Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi (F-BPD) yang kursinya kurang dari itu. Debat sempat alot karena sejumlah fraksi masih ingin supaya ketentuan UU No 12/2003 konsisten diberlakukan.

Inkonsistensi

Singkat cerita, akhirnya terselip ketentuan peralihan yang menyebutkan parpol peserta pemilu yang tak memenuhi ketentuan ET bisa mengikuti Pemilu 2009, antara lain jika punya kursi di DPR—sedikit apa pun jumlahnya. Aturan peralihan ini bisa disepakati, salah satunya karena keberhasilan parpol ”kecil” meyakinkan bahwa Pemilu 2009 merupakan masa transisi, di mana soal ambang batas bergeser dari electoral threshold (ET) ke parliamentary threshold (PT).

Selama ini electoral threshold ala Indonesia berbeda dengan kelaziman karena dimaknakan sebagai batas minimal perolehan kursi DPR/DPRD yang mesti dipenuhi suatu parpol untuk bisa langsung menjadi peserta pemilu berikutnya. Parpol yang tidak memenuhi ET tetap saja bisa punya wakil di DPR. Adapun PT merupakan ketentuan yang lazim di sejumlah negara, yaitu parpol yang tidak mencapai persentase perolehan suara tertentu tidak berhak mendapatkan kursi di parlemen.

Dalam kasus Indonesia lewat UU Pemilu yang baru ini, dengan PT sebesar 2,5 persen, parpol peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Parpol yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara tidak disertakan pada penghitungan perolehan kursi DPR di setiap daerah pemilihan. Suara untuk penghitungan perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan adalah jumlah suara sah seluruh parpol dikurangi jumlah suara sah parpol peserta pemilu yang tidak memenuhi PT 2,5 persen.

Saat lobi antarpimpinan fraksi DPR bersama pemerintah, Rabu (27/2), sempat terjadi tarik-menarik soal ET dan PT ini. Misalnya soal PT yang 2,5 persen itu, semula dikabarkan bahwa seluruh fraksi sependapat. Namun, kemudian F-PKS disebut tetap bertahan di 3 persen karena jika batasannya kurang dari 3 persen, diragukan misi penyederhanaan parpol bisa berjalan efektif. Namun, tidak lama berselang, F-PKS dikabarkan bisa menerima 2,5 persen. Namun (sekali lagi), saat rapat paripurna pada Kamis (28/2) barulah F-PKS bersikap ”resmi” bahwa pihaknya menarik kembali sikap sebagaimana hasil lobi pimpinan fraksi DPR dan mengajukan ET dan PT 3 persen tanpa pasal peralihan.

Awalnya, F-PKS berkompromi soal ketentuan peralihan bahwa parpol dengan kursi DPR boleh ikut langsung pada Pemilu 2009. Namun, sikap politik F-PKS diganggu oleh pernyataan pimpinan parpol baru di media massa yang menyoal inkonsistensi pengaturan ET. Sikap F-PKS tentang ET 3 persen berangkat dari upaya menjaga konsistensi pengaturan undang-undang, yang saat Pemilu 1999 diberlakukan ET 2 persen dan pada Pemilu 2004 naik menjadi 3 persen. Bahkan, jika ET dijadikan instrumen penguatan dan penyederhanaan sistem kepartaian, selayaknya pada Pemilu 2009 besaran ET menjadi 4 persen.

Di luar proses legislasi antara DPR dan pemerintah, kesepakatan untuk memberikan kesempatan kepada 9 parpol yang tidak lolos ET dianggap sebagai keputusan yang diskriminatif. Menurut Direktur Eksekutif 7 Strategic Studies Mulyana W Kusumah, merujuk fakta bahwa masih ada 8 parpol dari 24 peserta Pemilu 2004 yang harus berjuang melalui proses verifikasi di Departemen Hukum dan HAM serta KPU untuk bisa maju lagi pada Pemilu 2009.

Meluruskan ”threshold”

Sebagian kalangan menilai ketentuan PT untuk Pemilu 2009 terlampau berat. Tidak mudah untuk meraih 2,5 persen suara sah nasional. Jika merujuk hasil Pemilu 2004, hanya 8 dari 24 parpol peserta Pemilu yang perolehan suaranya lebih dari 2,5 persen. Tak pelak, penerapan ketentuan PT ibarat ”pembunuhan terencana” bagi parpol kecil-menengah dan parpol baru.

Seperti disampaikan salah satu unsur pimpinan Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Fuad Bawazier dalam diskusi di ruang wartawan DPR/MPR, parpol ”kecil” yang menikmati ketentuan peralihan itu boleh saja tertawa saat ini. Namun, bisa-bisa selepas Pemilu 2009 kegembiraan itu berganti cucuran air mata karena suaranya tidak cukup menembus PT.

Ketentuan PT memang dipasang demi multipartai sederhana, demi efektivitas fungsi parlemen dan pemerintahan. Di kebanyakan negara, lazimnya dan paling gampang: PT diberlakukan untuk ”menghanguskan” suara; jadi tidak ada istilah ”kursi-hangus”. Artinya, suara parpol yang gagal meraih persentase sebesar PT langsung dihanguskan. Caranya, pertama-tama ditentukan parpol mana saja yang melewati ambang batas. Parpol yang melewati ambang batas itulah yang kemudian ikut bersaing dalam pengalokasian kursi.

Penerapan PT bisa berbasis nasional, provinsi, atau daerah pemilihan. Setiap pilihan punya konsekuensi. Jika PT diterapkan per daerah pemilihan, tetap terbuka peluang bagi parpol minoritas, parpol ”lokal”, atau parpol ”interlokal” untuk masuk ke parlemen. Kecenderungannya sama saja jika PT diterapkan di level provinsi, tetap bakal sulit menciutkan jumlah riil parpol di DPR. Jika PT diterapkan di level provinsi, yang paling banyak keuntungannya adalah parpol menengah. Adapun jika basis PT di tingkat nasional, penciutan jumlah riil parpol yang masuk ke parlemen bisa tercapai. Parpol yang hanya kuat di sebuah daerah pemilihan atau provinsi saja bisa ”hangus kursinya” hanya karena perolehan suaranya secara nasional tidak memenuhi PT. Dengan adanya PT nasional, parpol yang dulunya tidak-sangat-kecil riskan menjadi sekadar menjadi ”ban serep” parpol kuat-menengah.

Untuk Pemilu 2009 nanti sudah terlihat ada ”pelurusan” makna threshold. Lazimnya, threshold adalah ambang atau batas minimal perolehan suara partai politik dalam pemilu saat itu agar berhak duduk di parlemen. Pada pemilu berikutnya parpol yang gagal meraih batas minimal itu tetap berhak ikut pemilu tanpa harus bersalin baju.

DPR dan pemerintah telah memilih untuk menerapkan PT 2,5 persen di level nasional. Misi penyederhanaan sistem kepartaian tidak bisa lagi dikesampingkan. Jika hanya delapan parpol yang lolos PT 2,5 persen itu, artinya memang DPR maksimal (!) hanya diisi wakil dari delapan parpol tersebut. Bisa jadi parpol yang memenuhi PT tidak mendapat kursi di DPR karena tidak punya basis kuat di daerah pemilihan tertentu.

Ketentuan ambang batas dipercaya merupakan mekanisme efektif menyederhanakan sistem kepartaian di parlemen—dan tak ada kaitannya dengan jumlah parpol peserta pemilu berikut.

Sebagai kompensasi PT yang “memberatkan” itu, sekali dinyatakan sebagai peserta pemilu, selamanya parpol tersebut tidak kehilangan haknya untuk berkompetisi dalam hajat lima tahunan itu. ”Bisa ikutan sampai bosan.”

Tunggu saatnya tiba….

2 comments:

Ridwan Kuntara said...

Mas klo UU pemilu tahun 2004 kemarin menggunakan UU no 12 tahun 2003, apakah pemilu tahun 2009 undang-undang masih sama, atau udah mengalami revisi?

Ridwan Kuntara said...

hi..

A r s i p