Saturday, March 1, 2008

Pers dan Politisi Kasus OBAMA


Sabtu, 1 Maret 2008 | 01:57 WIB

Jika tak ada aral melintang, Sabtu (1/3) ini pukul 14.30 dimaklumatkan pembentukan OFC (Obama Fans’ Club) di SDN Besuki, Menteng, Jakarta. Di sinilah Barack Obama sekolah kelas 3 sampai 4 mulai tahun 1970.

Waktu itu nama belakangnya ”Soetoro”, diambil dari ayah tirinya, Lulu Soetoro. Pak Lulu menikahi ibunya, Ann Dunham yang asal Kansas City, AS (Amerika Serikat).

Barry, begitu ia dipanggil, mengacungkan tangan tiap kali guru minta sukarelawan penghapus papan tulis. ”Ia selalu tersenyum, gigi putihnya berderet rapi seperti permen Chicklets,” kenang sahabatnya, Rully Dasaad.

Menurut Rully, Barry gemar main kasti, main ke rumah teman sehabis sekolah, dan mengadakan pesta ulang tahun di rumahnya di Matraman. ”Ia anak bongsor yang aktif jadi pandu,” tambah Rully.

Total ada 27 teman sekelas Obama yang tetap saling kontak. ”Kami berharap anak SD Percobaan Negeri Besuki terpilih jadi presiden AS,” ujar Rully dengan rasa bangga.

Waktu diminta menulis kata pengantar buku Obama, The Audacity of Hope, penerbit Ufuk Press bertanya apa mungkin ”Obambi” (julukan lucu untuk dia) jadi presiden AS? Saya jawab, ”Terus terang, saya ragu. Kalau jadi wapres, itu mungkin.”

Saya belum bisa membayangkan rakyat AS bisa terima kenyataan Obama yang ”separuh hitam” jadi presiden. Namun, kini terbukti Obama capres terfavorit mengalahkan Hillary Clinton dan John McCain.

Menurut jajak pendapat Research Center periode 20-24 Februari, Obama mengungguli Hillary 49-46 persen dalam kompetisi Demokrat. Ia mengungguli McCain 7 persen untuk pilpres November.

Tak heran AS terjangkit ”Obamamania”. Bintang film George Clooney, ratu talk show Oprah Winfrey, sampai klan Kennedy mendukungnya.

Para pesohor membuat situs ”Celebrity Support to Draft Obama” (http://www.draftobama.org/celebrities) yang mengajak rakyat mengisi petisi dukungan. Salah satu pendananya Dreamworks, studio top Hollywood milik Steven Spielberg, Jeffrey Katzenberg, dan David Geffen.

Dengar dan lihatlah lagu/klip video kampanye Obama ciptaan Black Eyed Peas berjudul Yes We Can. Ikut beraksi di klip itu aktris seksi Scarlett Johansson, mantan bintang basket Kareem Abdul Jabbar, dan penyanyi John Legend.

Grup rock Boston marah kepada capres Republik, Mike Huckabee, yang suka memainkan hit More Than A Feeling dalam kampanye. ”Stop menyanyikan lagu Boston, saya pendukung Obama,” tegas personel Boston, Tom Scholz.

Ketika jadi tamu di acara talk show Ellen DeGeneres, Obama beraksi dengan goyangan tubuh dan tangan yang mirip dansanya John Travolta. Kini gaya itu laris dimainkan di kelab-kelab dansa.

”Obamamania” menular ke mancanegara. Kota bernama Obama di Jepang ikut bangga, apalagi rakyat Kenya yang tanah airnya.

Hari Jumat kemarin rakyat Kenya demonstrasi gara-gara beredarnya foto Obama memakai sorban. Adalah kubu Hillary yang menyebarkan foto itu melalui internet.

Ini desperate tactic karena Hillary sudah 11 kali berturut-turut ditaklukkan Obama. Foto itu diambil saat Obama mengunjungi Kenya tahun 2006.

Kubu Republik pun tak jera menyebut nama ”Obama Hussein” dengan demonstratif. Maksudnya agar yang mendengar terasosiasi dengan dua musuh AS, Osama bin Laden dan Saddam Hussein.

Untungnya para calon pemilih tak berubah pendirian. Mereka tetap mengagumi latar belakang internasional Obama yang kaya.

”Kakek saya pernah memeluk Kristen, lalu Islam. Ayah saya Islam, saya tinggal empat tahun di negeri berpenduduk mayoritas Islam,” kata Obama. Gerejanya di Chicago sempat disidik aparat karena dicurigai jadi tempat kegiatan politik Obama.

Sempat beredar cerita Obama tidak patriotis karena tak memasang pin bendera AS di kerah jasnya. Belakangan muncul kekhawatiran ia bisa dibunuh seperti Martin Luther King atau Robert Kennedy.

Untungnya Obama punya sahabat, yakni pers yang menganggapnya tokoh karismatis yang membangkitkan harapan. Media konservatif memberikan dia porsi wajar, apalagi yang independen seperti NBC, ABC, atau CBS.

Koran top seperti Los Angeles Times, New York Times, Washington Post, atau Chicago Tribune idem ditto.

Muncul keluhan dari kubu Hillary yang merasa pers ”memanjakan” Obama sekaligus bersikap diskriminatif terhadap istri Bill Clinton itu. Pers menyenangi Obama karena apa adanya dan perubahan yang ditawarkan bukan mimpi surga.

Tabloid gosip memberitakan setiap aspek kehidupannya, mulai dari kebiasaannya berbelanja sampai jenis celana dalam yang dipakainya. Kalimat yang sering dipakai, ”He’s one of us.”

Wajah Obama menghiasi lebih dari 20 sampul depan majalah top, termasuk Time dan Newsweek. Koresponden The Straits Times Singapura di Washington DC, Derek Pereira, sudah berbulan-bulan menunggu giliran mewawancarai Obama.

Pekan lalu mahasiswa bertanya di kelas, ”Jika melihat fenomena Obama, bagaimana hubungan politisi dengan pers di sini?” Saya jawab menurut ”teori” yang benar politisi menganggap pers sebagai mitra.

Ada politisi ”antiteori” yang percaya pers bukanlah mitranya. Dan ada pula politisi yang ”antipers” karena setelah terpilih terbukti tak memenuhi janji- janji muluknya.

No comments:

A r s i p