Thursday, March 13, 2008

Demokrasi dan Mentalitas Elit



Pernyataan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) beberapa waktu lalu bahwa demokrasi adalah alat atau sarana dan bukan tujuan, menuai banyak respons pro dan kontra.
Keduanya sama-sama memiliki argumentasi yang kuat dan bisa dipertanggungjawabkan. Tanpa bermaksud mendukung apa yang dikatakan JK, apa yang terjadi dalam proses demokratisasi Indonesia dalam kurun waktu satu dasawarsa terakhir memang perlu ditata kembali. Bahkan, cara pandang kita terhadap demokrasi perlu dirumuskan ulang agar lebih sesuai kenyataan dan kepentingan masyarakat yang sesungguhnya.

Politik Dualistik

Ada dua hal yang perlu digarisbawahi ketika kita memperbincangkan demokrasi berikut problematikanya di Indonesia. Pertama, ketika membincangkan demokrasi, sadar atau tidak, kebanyakan kaum terdidik kita selalu merujuk kepada demokrasi dalam pengertian, sejarah dan praksis politik di Barat. Karena itu, demokrasi cenderung menjadi wacana elitis di kalangan politisi dan kaum akademisi. Dia terus direproduksi dan didaur ulang, meski kultur politik demokratis di kalangan elite sendiri tidak tumbuh dengan baik seperti yang mereka citrakan.

Pada saat yang sama, rakyat mempunyai pengertian dan tradisi sendiri tentang demokrasi berdasarkan pengalaman nyata dan nilai-nilai yang mereka miliki. Dalam konteks ini, sebagaimana dulu JH Boeke pernah mengenalkan teori ekonomi dualistis, kita tampaknya juga perlu mengakomodasi dan mengapresiasi adanya sistem politik dualistik yang hidup di tengah bangsa ini.

Di satu sisi ada sistem politik liberal dalam pengertian Barat yang hidup di kalangan elite. Sistem ini didasarkan pada nilai-nilai Barat, yaitu pemikiran yang- meminjam istilah Maude Barlow (2001)- dikendalikan oleh free-market ideology dan gaya hidup Barat. Di sisi lain, ada demokrasi lokal yang berbasis pada tradisi setempat.

Kita harus arif untuk tidak memaksakan demokrasi dalam pengertian Barat menjadi tata nilai universal, karena hal itu bisa mematikan nilai-nilai dan kreativitas masyarakat serta tradisi yang ada. Bangsa tanpa tradisi pada akhirnya tidak akan pernah memiliki sistem dan kultur politik yang kokoh.

Di samping soal pengembangan nilai-nilai dan kebudayaan nasional, kearifan untuk tidak memperlakukan demokrasi Barat secara universal juga didasarkan pada pertimbangan filsafat politik yang sangat mendasar. Seperti dikatakan Seyyed Hossein Nasr dalam A Young Muslim's Guide to the Modern World(1993), filsafat Barat tidak disandarkan pada "sesuatu yang permanen", tetapi pada penggunaan pikiran dan data empiris,sehingga selalu muncul paham-paham dan tren baru.

Sejak masa pencerahan, Barat telah meninggalkan tradisionalisme Kristen yang berusaha mencapai sintesis antara iman dan akal seperti digagas St Thomas Aquinas. Pemikiran Barat "melawan" Tuhan, kemudian lahir paham seperti rasionalisme, empirisme, humanisme, dan liberalisme- yang menjauhkan manusia dari dimensi sakral. Adapun filsafat atau pandangan hidup Islam -termasuk filsafat Timur- selalu disandarkan pada "sesuatu yang tetap", yaitu Alquran dan Hadis.

Pemikiran Islam juga tidak pernah melawan Allah. Karena itu, upaya-upaya liberalisasi pemikiran masyarakat Islam, kalau dasar landasan filsafat ini tidak dimengerti betul, hanya akan menghasilkan perubahan di permukaan. Kedua, demokratisasi dalam pengertian Barat pada dasarnya adalah titik masuk bagi proses liberalisasi ekonomi dan kultural secara menyeluruh.

Demokratisasi adalah proses menuju pelembagaan ekonomi pasar (marketization) sekaligus awal pembentukan suatu tata monokultur global. Dalam arus demikian, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini, demokratisasi cenderung berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan penduduk miskin. Pada saat yang sama, ia berjalan seiring dengan degradasi kultur yang ditandai dengan hancurnya tradisi dan nilai-nilai yang ada dalam kultur masyarakat setempat.

Hal itu bisa terjadi, meminjam istilah Sartono Kartodirdjo (1984), karena yang menjadi motivasi dasar liberalisme pada hakikatnya adalah eksploitasi segala sumber daya ekonomi untuk kepentingan kapitalisme internasional. Sistem Tanam Paksa pada paruh pertama abad ke-19, misalnya, adalah bentuk eksploitasi menurut merkantilisme. Sementara sistem liberal di masa kini merupakan eksploitasi atas nama globalisasi dan demokratisasi.

Kepemimpinan Nasional

Proses seperti itu bisa diatasi dan diminimalisasi jika kita bisa membangun suatu kepemimpinan nasional yang kuat seperti yang terjadi di beberapa negara Asia dan Amerika Latin. Rusia, misalnya, bisa kembali menjadi negara adidaya karena pemimpin nasionalnya yang kuat bisa menjinakkan liberalisasi politik dan ekonomi yang telanjur dibuka oleh Mikhail S Gorbachev.

Kepemimpinan nasional yang kuat bisa terbentuk dengan dua syarat utama. Pertama, adanya figur pemimpin nasional yang berani, berkarakter, visioner dan tulus hati (asshidq). Yaitu pemimpin yang berani mengambil keputusan yang tegas jika menyangkut nasib rakyat dan kepentingan nasional yang strategis. China atau Rusia sama sekali tidak menolak liberalisasi, tetapi figur seperti Vladimir Putin mampu meminimalisasi ekses negatif dari proses itu dengan mengimplementasikan liberalisasi berdasarkan kepentingan dan kebutuhan nasionalnya.

Istilahnya "liberalisme terkontrol". Dengan keteguhan dan keberanian, dia tidak bisa didikte negara lain, tetapi selalu menjaga hubungan yang baik dengan semua negara. Kedua, kepemimpinan nasional yang kuat mensyaratkan bersatunya para elite politik. Tanpa persatuan di kalangan elite-meski mereka berbeda partai politik atau agama-maka kepemimpinan nasional akan rapuh, cenderung pragmatis, hedonistis, serta mudah diintervensi oleh kepentingan non-nasional.

Karena itu, para pemimpin seharusnya mulai belajar untuk rendah hati dan dewasa. Mereka perlu meninggalkan egoisme kelompok dan pribadi untuk suatu kepentingan strategis dan jangka panjang. Dengan kebersamaan itu, secara bertahap kompleksitas persoalan bangsa akan bisa diselesaikan. Tanpa persatuan di kalangan elite, kebangkitan bangsa dari keterpurukan akan menjadi jargon belaka.

Mentalitas elite adalah kunci utama menuju perubahan. Sistem atau nilai apa pun yang dijalankan, pada akhirnya yang menentukan adalah mentalitas para elitenya sendiri. Demokratisasi seperti apa pun yang dipilih, seharusnya diorientasikan secara nyata untuk kesejahteraan rakyat dan penguatan identitas nasional dan karakter bangsa. (*)

A Muhaimin Iskandar
Ketua Umum DPP PKB

No comments:

A r s i p