Monday, March 3, 2008

Quo Vadis" Gerakan Perempuan Indonesia?


Senin, 3 Maret 2008 | 04:35 WIB

Maria Hartiningsih

Gerakan perempuan di Indonesia menorehkan sejarahnya secara formal pada Kongres Perempuan I tahun 1928. Gerakan itu berderap penuh dinamika, sempat dihancurkan, tetapi terus hidup dengan beragam bentuk dan segudang tantangan sejalan dengan perkembangan politik di Indonesia.

Quo vadis gerakan perempuan Indonesia setelah 10 tahun reformasi adalah pertanyaan yang coba direfleksikan dalam diskusi publik yang diselenggarakan Institut Ungu dan Yayasan Pitaloka, Jumat malam, di Jakarta.

Pertanyaan itu tak mudah dijawab karena setiap orang memiliki persepsinya tentang suatu proses yang terus dimodifikasi ketika bersinggungan dengan kehidupan sehari-hari, berhadapan dengan politik dan kekuasaan.

Tati Krisnawati, aktivis yang pernah menjadi komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaparkan sejarah gerakan tahun 1990-an adalah bagian dari tahun-tahun puncak implementasi ideologi pembangunan dengan represi militeristik terhadap segala bentuk gerakan sosial.

”Pembunuhan terhadap aktivis buruh Marsinah di Sidoarjo adalah wajah paling keji dari praktik represi itu,” ujarnya.

Membangun kesadaran

Membangun gerakan pada dekade 1990-an, menurut Tati, adalah membangun kesadaran politik tentang posisi perempuan dan perlawanan sistematis di bawah bayang-bayang kekerasan negara dan ketidakpedulian masyarakat yang mapan.

Perubahan politik pada tahun 1998 membuat gerakan perempuan harus mengubah strateginya. Lahirnya Komnas Perempuan memperlihatkan suatu eksperimentasi strategi yang memperlakukan negara sebagai entitas yang harus diberdayakan tanggung jawabnya.

Pemetaan kekerasan terhadap perempuan, reformasi hukum, pemulihan dalam arti luas, perlindungan kelompok rentan diskriminasi, memantau sistem dan lain-lain dilakukan. Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dilahirkan.

”Namun tantangannya juga sangat besar,” ujar Tati. Ia menyebutkan, terutama kemiskinan yang semakin parah, khususnya di pedesaan, luapan gelombang migrasi dan Undang-Undang Pengiriman dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang lemah, globalisasi, desentralisasi, dan perda-perda yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.

Masalah perda-perda yang menghapuskan kemiskinan dengan ”menghilangkan” orang miskin seperti perda keteriban dan kemanan, pecahan-pecahan permasalahan yang tajam seperti fundamentalisme agama, juga dibahas oleh Mariana Amirudin, feminis, novelis yang memimpin Jurnal Perempuan.

”Persoalan yang substantif, seperti kemiskinan, malah dibelokkan menjadi persoalan moral yang sempit,” ujarnya.

Bagi Mariana, perempuan selalu berseberangan dengan kebudayaan karena kultur di Indonesia tidak ramah terhadap ide-ide kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Kebudayaan dominan yang berlaku membedakan manusia atas dasar jenis kelamin biologisnya.

Mariana, yang memasukkan dirinya dalam gerakan perempuan terbaru, mengusung isu-isu kontemporer menyangkut isu seksualitas, khususnya dari kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transjender (LBGT), kelompok yang sangat terpinggirkan karena orientasi seksualnya.

Kalau menurut Tati gerakan perempuan terus hidup dengan keberagaman bentuk di tengah kemenangan, kegagalan, dan tantangannya, Mariana melihat gerakan perempuan harus merumuskan kembali wacana yang sebelumnya gagal dilakukan.

Elitis?

Dari pemaparan narasumber, sebenarnya tak sulit menyimpulkan bahwa dalam komunikasi dan negosiasi yang terus-menerus, gerakan perempuan melahirkan proses sosial tertentu dan terus mendefinisikan ulang dirinya.

Sayangnya, lebih banyak orang ingin melihat gerakan perempuan sebagai gerakan yang formal, jelas bentuknya, dan selalu dapat diprediksi.

Ester dari Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia (Peruati) menyatakan, gerakan perempuan saat ini tak punya konsep dan tujuan yang jelas, elitis, dan tak punya basis massa.

Gugatan itu bukan tidak berdasar karena ia melihat perempuan yang berhasil menduduki posisi-posisi strategis dalam politik kemudian seperti melupakan persoalan-persoalan yang dihadapi konstituennya, para perempuan di akar rumput.

Gugatan bahwa gerakan perempuan saat ini lebih elitis dan tidak mengakar juga dilontarkan oleh Yuni dari Institut for Migrant Workers, yang merasa perjuangan bagi perlindungan dan hak-hak buruh migran seperti jalan di tempat.

Seluruh proses diskusi memperlihatkan sulitnya memberikan definisi yang komprehensif mengenai gerakan di mana perempuan merupakan kelompok mayoritas. Namun, hal itu tampaknya tak perlu terlalu dirisaukan.

Feminis dan antropolog, Saskia Wieringa (1995, 2000), mengatakan, pengalaman yang berbeda-beda membuat perempuan tak mudah berbicara dalam satu bahasa. Karena itu, dibutuhkan definisi yang lebih luas untuk menangkap heterogenitas, pluralitas, dan kompleksitasnya.

Pengalaman di berbagai negara, termasuk di Indonesia, menunjukkan gerakan ini diikuti oleh berbagai kelompok sosial yang berjuang dengan berbagai cara di berbagai bidang. Bagian-bagian tertentu dalam gerakan ini mungkin tidak setuju satu sama lain dan memiliki prioritasnya sendiri-sendiri.

Namun, seperti ditulis Wieringa, tuntutan dari suara-suara berbeda itu tujuannya satu: menentang sistem yang dominan. Itu juga jawaban dari pertanyaan mau ke mana gerakan perempuan Indonesia.

No comments:

A r s i p