Tuesday, March 25, 2008

Pragmatisme dan Nasionalisme

Asra Virgianita
Sedang Studi PhD Meijigakuin University, Jepang

Tulisan ini bermaksud memaparkan sisi lain dari fenomena alumni luar negeri yang dibahas oleh Erie Sudewo (Republika, 20 Februari 2008) yang mempersoalkan tidak maksimalnya pemanfaatan alumni luar negeri sebagai aset negara. Bahkan, lebih jauh beliau memaparkan kenyataan bahwa alumni luar negeri kita dimanfaatkan oleh negara pemberi beasiswa studi untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Di samping persoalan tersebut, saya merasa perlu mengangkat fenomena alumni luar negeri yang tidak kembali ke Tanah Air, utamanya karena alasan ekonomi. Hal ini memang bukan fenomena baru, tapi semakin hari semakin terlupakan.

Saya tergelitik untuk menulis hal ini karena beberapa teman di sini yang telah menyelesaikan studinya bahkan sampai jenjang S3, akhirnya tidak kembali ke Tanah Air. Saya yakin fenomena ini tidak hanya terjadi di Jepang tempat saya menimba ilmu saat ini, tapi juga terjadi pada beberapa pelajar Indonesia di negara lain, seperti di Amerika, Australia, dan Inggris. Di manakah letak persoalan sesungguhnya?

Bersekolah ke luar negeri dengan beasiswa tentu sangat menjadi idaman setiap orang. Bagaimana tidak, beasiswa yang diberikan cukup untuk hidup layak (dengan keluarga), bahkan jika pandai berhemat bisa disisihkan untuk ditabung. Belum lagi berbagai fasilitas di negara maju yang membuat hidup lebih nyaman, seperti transportasi yang teratur, layanan publik yang akurat tanpa harus bayar sana sini (KKN), dan terlebih lagi fasilitas asuransi nasional untuk kesehatan yang bisa didapatkan oleh siapa pun, dengan pelayanan yang sama baiknya.

Bahkan, anak usia 0-6 tahun dibebaskan dari biaya rumah sakit, apa pun jenis pengobatan yang dijalankan. Setidaknya ini yang berlaku di Negeri Sakura. Berbeda sekali dengan pengalaman teman saya ketika pulang ke Indonesia dan anaknya harus ke dokter karena panas tinggi.

Dia harus merogoh ratusan ribu untuk sekadar mendapatkan pemeriksaan dokter dan 1-2 jenis obat. Sementara, dengan gaji setara pegawai negeri golongan IIIB dengan memiliki dua orang anak, tentu terasa berat mengeluarkan uang sebesar itu.

Saya sendiri memiliki pengalaman yang tidak kalah ironis ketika harus naik kereta pada malam hari, berdesak-desakan dengan lampu mati, dan AC/kipas angin yang tidak menyala. Gerbong kereta api dengan pintu yang tidak tertutup semakin membuat saya iri pada kenyamanan yang pernah saya rasakan di negara maju.

Pemerintah kita bukannya tidak bisa melakukan perbaikan fasilitas seperti ini, tapi lebih tepat jika dikatakan tidak peduli. Ini terjadi karena kaum petinggi tidak menggunakan jasa transportasi umum. Mereka menikmati fasilitas mobil mewah sehingga tidak merasakan bagaimana buruknya transportasi umum di Indonesia.

Terkadang saya berpikir rasanya tidak salah jika teman-teman akhirnya memutuskan tidak kembali ke Tanah Air untuk mengamalkan ilmunya dan lebih memilih mencari nafkah di luar negeri dengan pendapatan yang lebih layak. Apakah mereka tidak cinta Tanah Air? Materialistis?

Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Ada argumen yang sinis dari salah seorang teman yang akhirnya memutuskan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia ''Daripada harus korupsi untuk bisa hidup layak di Indonesia, lebih baik mencari rezeki halal di sini.''

Selain alasan ekonomi, penempatan dan posisi yang tidak sesuai ketika kembali bekerja di Tanah Air menjadi salah satu dari sekian alasan. Beberapa teman yang sudah kembali ke Indonesia juga mengeluhkan hal yang senada. Pendapatan yang minim menyebabkan dia harus mengamen sana sini untuk sekadar bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Memang keputusan untuk menentukan masa depan adalah hak pribadi yang harus dihormati. Akan tetapi, tidakkah fenomena seperti ini patut mendapat perhatian para pembuat kebijakan di negara kita?

Bagaimana mungkin negara ini akan maju tanpa adanya generasi-generasi penerus yang berkualitas yang salah satunya diciptakan melalui pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri? Kita juga tidak ingin generasi-generasi yang sudah dididik akhirnya harus menjadi generasi pragmatis.

Tapi, kita harus menekankan bahwa fenomena ini tidak akan terhindari jika tidak ada upaya dari institusi dan para pembuat kebijakan untuk memikirkan, misalnya bagaimana meningkatkan pendapatan dan pemanfaatan alumni luar negeri sesuai ilmunya secara maksimal. Mungkin ini usulan kuno dan klise, tapi rasanya sampai saat ini belum terealisasi.

Buktinya masih saja ada rekan yang sedang bersekolah di luar negeri tidak ingin kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi. Saya khawatir pragmatisme dan realita hidup akan menghapuskan pepatah 'walau hujan emas di negeri orang, lebih nyaman hujan batu di negeri sendiri'. Ini pepatah yang selama ini saya pegang untuk menjaga kecintaan saya pada Tanah Air.

No comments:

A r s i p