Friday, March 14, 2008

Kaum Remaja dan Demokrasi

Indra Jaya Piliang
25 Januari 2008

Dalam kategori politik, kaum remaja dimasukkan dalam kelompok pemilih pemula. Mereka adalah kelompok yang baru pertama kali menggunakan hak pilih. Dengan hak pilih itu, kaum remaja yang sudah berusia 17 tahun atau sudah menikah ini akan mempunyai tanggung jawab kewarganegaraan yang sama dengan kaum dewasa lain. Selain itu, kaum remaja ini menjadi sasaran paling empuk untuk diperebutkan. Jumlah pemilih pemula yang berkisar pada angka 20 juta orang dalam pemilu sangat menggiurkan dari segi kemenangan dan kekalahan dalam pemilu.

Hanya, belum banyak partai politik yang melakukan pendidikan politik serius terhadap pemilih pemula ini. Mereka menggantungkan informasi politik kepada berita-berita di media massa, sesama teman, orang tua, atau guru di sekolah. Sehingga, program Civic Engagement in Democratic Governance (Cived), sebuah organisasi nirlaba, menjadi bagian penting dari sosialisasi politik dan demokrasi sejak dini. Kegiatan yang digelar oleh lembaga ini menjadi parameter untuk menentukan tingkat kematangan kaum remaja dalam memaknai demokrasi.

Ada banyak sentuhan khas remaja untuk demokrasi ini. Dalam karya film dan foto yang dibuat oleh kaum remaja ini, pada kegiatan Cived, terlihat jelas bagaimana memahami perbedaan sebagai bagian penting arti demokrasi bagi kaum remaja. Foto dan film bendera warna-warni, kaki-kaki yang berdiri ketika bergayutan di gerbong kereta api, perahu-perahu kertas yang berisi surat-surat anak-anak kepada presiden yang tidak sampai di Istana Negara, perbedaan keyakinan di asrama sekolah, sampai riwayat diri masing-masing anak menunjukkan itu.

Tapi sebagian kaum remaja ini menerjemahkan demokrasi sebagai bentuk nasionalisme. Maka, mereka menerjemahkan sebagai perjuangan ala bambu runcing kakek-neneknya. Padahal kita sulit menemukan dalam sejarah bagaimana bentuk perlawanan dari bambu runcing ini yang berhadapan dengan senjata-senjata berat kaum kolonial. Bambu runcing menemukan pengaruh masif dalam film-film yang diputar semasa Soeharto berkuasa, termasuk atas apa yang dikenal sebagai pendudukan Yogyakarta selama enam jam oleh pasukan yang dipimpin oleh Soeharto. Bambu runcing berwarna kuning hanya semacam mitos yang dicoba ditanamkan dalam pikiran banyak anak-anak sekolah.

"Penyelewengan" makna demokrasi menjadi nasionalisme atau patriotisme itu menunjukkan perspektif yang dipungut dan didapat oleh kaum remaja dari kalangan elite politik dan pemerintahan. Kita menyaksikan bagaimana politikus dalam partai-partai politik lebih banyak bicara tentang nasionalisme ketimbang demokrasi itu sendiri. Bahkan ada juga pemimpin politik yang mempertanyakan dengan tegas urgensi dari demokrasi, dengan cara membenturkan dengan kesejahteraan sosial dan ekonomi. Demokrasi malah ditafsirkan sebagai prosedur, cara, atau alat, sementara tujuannya adalah kesejahteraan.

Pemilu adalah satu bagian penting dalam demokrasi. Secara sederhana, pemilu adalah cara individu warga negara melakukan kontrak politik dengan orang atau partai politik yang diberi mandat menjalankan sebagian hak kewarganegaraan pemilih. Pemilu bukan pemberian mandat secara total, sehingga klaim bahwa satu partai politik tertentu memiliki pemilih dengan jumlah total tertentu dalam pemilu sebelumnya menjadi tidak tepat. Untuk menjalankan mandat itu, partai politik atau legislator partai politik harus juga melakukan proses komunikasi politik dengan tujuan meminta persetujuan warga negara, terutama untuk kebijakan-kebijakan krusial dan mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Kaum remaja tentu memiliki mimpi-mimpi tersendiri tentang demokrasi dan untuk apa demokrasi ada. Kaum remaja yang mempunyai orang tua cenderung merasa lebih nyaman, terutama kalau kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi, seperti sekolah, bepergian, berteman, atau memiliki pakaian yang layak. Perhatian yang besar kaum remaja atas penampilan diri menimbulkan sikap yang kadang negatif, yakni menutupi apa yang mereka anggap sebagai kelemahan, seperti kekayaan atau jabatan keluarga. Persoalan kaum remaja menjadi tambah runyam ketika mereka menjadi sasaran kampanye iklan-iklan konsumerisme dan hedonisme serta dijadikan sebagai lahan penghancuran generasi lewat peredaran narkoba.

Cita-cita kaum remaja ini bisa terkubur secara tragis ketika mereka harus menanggung beban berat akibat ketiadaan perlindungan dari penyelenggara negara. Aspek ini masih belum banyak didiskusikan oleh kelompok prodemokrasi atau partai-partai politik. Kehancuran ekologis, kehilangan ruang-ruang kota untuk kegiatan komersial, serta ketiadaan uang untuk rekreasi dan membina hubungan sosial dengan anak-anak remaja yang lain, telah menjadi bagian dari mimpi buruk kaum remaja dewasa ini. Bahkan, dalam aspek yang lebih substantif, kaum remaja ini adalah satu mata rantai dari ketiadaan perhatian penyelenggara negara atas nasib kaum ibu yang hamil dan melahirkan, serta atas anak-anak balita yang tidak menerima asupan gizi yang cukup.

Para tokoh politik kita barangkali lebih banyak yang membicarakan nasib orang-orang tua seusia mereka atau yang lebih tua lagi. Yang dibicarakan adalah masa lalu, seperti dendam antarklan dan dinasti politik. Yang dicoba digadang-gadangkan adalah sejarah versi mereka sendiri untuk menancapkan pengaruh di kalangan rakyat bahwa mereka adalah pejuang. Dunia politik meninggalkan anak-anak remaja dan anak-anak balita, sehingga sebetulnya tidak peduli kepada masa depan itu sendiri. Tidak mengherankan kalau kaum remaja menjadi unsur yang terlupakan dari dunia politik dan perdebatan menyangkut demokrasi.

Padahal, untuk memperkukuh tegaknya demokrasi, perhatian yang lebih atas kaum remaja ini menjadi penting. Demokrasi akan digoyang terus oleh kepentingan kekuasaan, dinasti politik, klan, familisme, ideologisme, dan segala macam kepentingan kaum tua lainnya. Demokrasi hanya diisi dengan segala macam potret palsu tentang perhatian kepada rakyat, ketika kaum remaja yang nanti menjadi generasi pengganti tidak diikutsertakan dalam mencerna dunia dan masalah-masalahnya. Untuk itu, pendidikan politik yang berdasarkan kepentingan kaum remaja sendiri sangat diperlukan, terutama untuk mencegah agar jangan sampai suara mereka hanya dihitung sebagai "pemilih pemula" yang tidak tahu apa-apa...

*)Indra Jaya Piliang, analis politik dan perubahan sosial CSIS, Jakarta

No comments:

A r s i p