Wednesday, March 26, 2008

Demokrasi, Negara. dan Generasi Kerdil


Rabu, 26 Maret 2008

Oleh :Israr Iskandar

Dosen Sejarah Universitas Andalas Padang

Demokrasi dan demokratisasi yang kini berjalan sejatinya (meminjam istilah Mohammad Hatta yang diambilnya dari kuplet sajak Schiller) tidak melahirkan 'generasi kerdil'. Namun, kenyataannya zaman besar ini justru memberi ruang muncul dan berkembangnya kaum pragmatis dan oportunis berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.

Di tengah situasi transisi politik yang tidak menentu, mereka piawai memainkan jurus-jurus 'aji mumpung'. Celakanya, mayoritas rakyat juga masih belum cukup terdidik untuk memahami esensi politik sebagai penunaian tanggung jawab elite-pemimpin kepada rakyat yang dipimpin.

Tak heran kita terus menyaksikan beragam ambivalensi elite, khususnya di institusi-institusi publik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga perwakilan rakyat, misalnya, di satu sisi terus mengklaim institusi yang memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi publik melihat mereka tak lebih sebagai lembaga dagelan berorientasi kekuasaan dan uang, seperti tecermin dari berbagai pembahasan UU.

Belum lagi persoalan korupsi di internal dewan maupun partai politik. Terkuaknya kasus aliran dana BI ke kantong-kantong anggota Dewan (sebagai salah satu contoh kecil) mencerminkan watak sebagian politikus kita. Parlemen dan partai masih tetap salah satu sarang korupsi.

Logikanya, bagaimana mungkin good governance dapat diwujudkan jika lembaga yang sejatinya mengawasi pemerintah justru berkubang korupsi. Perilaku senator di DPD juga sering membingungkan. Mengeluh soal kewenangan yang minim, tetapi mereka tak mau berkantor di daerah pemilihannya sendiri. Mereka banyak berada di Ibu Kota, seakan ingin menyaingi DPR.

Tak heran saat terjadi ragam distorsi politik yang merugikan kepentingan rakyat daerah, peran anggota DPD sebagai wakil daerah tidak begitu kelihatan. Eksekutif juga kerap berlaku ambivalen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta politisi (termasuk para pesaingnya menuju 2009) untuk tidak mudah menebar janji kepada rakyat dan mengeksploitasi kemiskinan untuk kepentingan politik. Padahal, Presiden juga begitu. Pemberantasan korupsi, misalnya, masih belum menyentuh ruang dalam pemerintahan, termasuk birokrasi dan aparat penegak hukum, tetapi pemerintah mengklaim telah berbuat maksimal.

Di sisi lain, kehidupan rakyat makin sulit. Sebagian besar rakyat menjerit menyusul naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal, banyak juga yang menderita akibat bencana yang datang silih berganti.

Kasus gizi buruk pun dijumpai di banyak daerah. Bahkan, kelaparan yang menyebabkan kematian bukan lagi berita dari negeri-negeri di Afrika, tetapi sudah terjadi di negeri yang pernah berjuluk 'subur makmur gemah ripah loh jinawi'. Ini tentu bukan eksploitasi politik atas kemiskinan, tetapi gambaran akut kondisi rakyat Indonesia sekarang ini.

Elite lokal juga hampir sama tabiat politiknya. Dalam mengkritisi kebijakan pemerintah pusat, mereka sering berteriak lantang. Kritisisme dan resistensi mereka terhadap Jakarta sering atas nama kepentingan rakyat daerah, tetapi esensinya cenderung sebagai perjuangan untuk menubuhkan kepentingan segelintir elite lokal, seperti tecermin dalam tuntutan penambahan alokasi anggaran untuk daerah (DAU), konflik SDA (seperti kasus Freeport, Semen Padang, dan Caltex) dan pemekaran.

Proses demokrasi lokal (yang sistemnya terus disempurnakan) juga mencerminkan watak dasar elitenya. Tak heran pilkada langsung yang ditujukan untuk perbaikan kualitas demokrasi tetap belum bisa keluar dari distorsi politik elite.

Mahalnya demokrasi bukan hanya soal besarnya biaya penyelenggaraan pilkada, tetapi sering juga terkait dengan ongkos sosial yang ditimbulkan, baik dalam wujud pembelajaran korupsi kepada rakyat dalam kasus-kasus politik uang (money politics) maupun disintegrasi sosial dalam kasus-kasus sengketa hasil pilkada.

Anggaran publik pun menjadi sasaran distorsi perilaku pejabat dan elites lokal. Eksekutif dan legislatif hampir sama saja tabiatnya. Mereka memperlakukan APBD seperti arisan. Proses tender proyek-proyek pemerintah masih jauh dari asas transparan dan akuntabel.

Korupsi di daerah akhirnya bukan hanya wujud perilaku menyimpang pejabat publik, tetapi juga gambaran buruknya performa birokrasi tanpa kritisisme memadai dari wakil rakyat. Di beberapa daerah memang terdapat kemajuan dalam reformasi birokrasi, tetapi jangan buru-buru memberi penilaian final karena ada saja kemungkinan terjadi titik balik.

Di Tanah Datar (Sumbar), misalnya, ada inovasi dari kepala daerah terdahulu (yang berasal dari unsur pengusaha) untuk mereformasi birokrasi, tetapi dimentahkan oleh aparatnya sendiri maupun penerusnya yang berasal dari birokrat. Pemekaran daerah juga mencerminkan ambivalensi elite lokal.

Pemekaran kerap keluar dari tujuan-tujuan mulianya karena tidak mempertimbangkan dasar-dasar rasionalitasnya. Wilayah dipecah-pecah bukan membuat rakyat kian sejahtera, tetapi justru menambah pundi-pundi elite lokal yang berkolusi dengan elite pusat.

Dalam praktiknya desentralisasi akhirnya sering menjadi salah kaprah. Otonomi daerah lebih cenderung menjadi otonomi elite. Desentralisasi di era reformasi tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan lokal yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI.

Padahal, distorsi desentralisasi saat ini, seperti korupsi elite dan buruknya kinerja birokrasi, tak banyak urusannya dengan terancamnya negara kesatuan (sebagaimana dipersepsikan kaum konservatif). Tetapi, lebih pada proses pemiskinan rakyat di daerah.

Tak ada penyeimbang
Persoalan ambivalensi elite terkait absennya kekuatan penyeimbang dari rakyat maupun kontra-elite. Tak heran mereka tetap bisa melanggengkan pengaruhnya. Untuk itu, sebagian mereka bahkan cenderung membodohi rakyat dengan kebijakan maupun perilaku personal dan sosial yang tidak layak diteladani.

Lihatlah tebar pesona yang dilakukan elite politik saat-saat menjelang pemilu di pusat maupun daerah. Tebar pesona minus pendidikan politik rakyat tentu akan menjadi permulaan korupsi politik apabila politikus bersangkutan memegang jabatan publik. Ironisnya, tebar pesona juga menggunakan anggaran publik, seperti dilakukan pejabat incumbent (sedang menjabat). Pejabat publik tak ragu menggunakan uang rakyat untuk mendongkrak popularitasnya.

Mereka memanfaatkan tendensi apatisme publik dan lemahnya posisi elemen-elemen masyarakat sipil, seperti LSM, kampus, dan media massa. Di daerah kondisinya lebih parah. Banyak elemen masyarakat sipil kelelahan bahkan tiarap karena kekurangan vitamin. Beberapa elemen masyarakat sipil lainnya malah bersalin rupa menjadi corong kekuatan politik dan pemilik modal.

Sekalipun demikian, demokratisasi (proses menuju demokrasi) yang kini berjalan tak boleh dihentikan. Pesimisme rakyat atas perkembangan kehidupan politik usai Orde Baru harus dimaknai sebagai dorongan bagi perbaikan pelaksanaan sistem demokrasi ke depan. Transisi ini harus didorong untuk segera menjadi demokrasi lebih mapan. Bagaimana pun demokrasi tetap merupakan kans terbaik untuk keluar dari krisis multidimensi dan alat efektif mencapai tujuan negara.

Ikhtisar:
- Sumbangan wakil rakyat belum optimal di negeri ini.
- Masih banyak perubahan di daerah belum menyentuh akar rumput.

No comments:

A r s i p