Tuesday, March 25, 2008

ANALISIS POLITIK

Kisruh Bank Sentral



Selasa, 25 Maret 2008 | 01:20 WIB

EEP SAEFULLOH FATAH

Secara tak terduga, saya bertemu dengan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah beberapa hari setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus penyelewengan penggunaan dana BI.

Segera setelah berjabatan tangan, ia berkata dengan nada muram, ”Pada awalnya saya mengira independensi BI adalah sebuah kekuatan. Ternyata, di tengah situasi politik seperti ini, independensi itu bisa menjadi kelemahan.”

Sebuah pernyataan tepat di waktu yang pas.

Dihitung sejak mulai meledak menjadi kepala berita beragam media, saat ini kisruh BI sudah berkepanjangan seperti tak hendak berujung.

Dari kasus korupsi, kisruh ini berlanjut menjadi ketegangan antara presiden dan lembaga legislatif. Dua kandidat gubernur yang diajukan Presiden sudah ditolak DPR. Alih-alih membuat penjelasan yang layak tentang penolakannya, DPR menuntut Presiden untuk mengajukan tiga kandidat baru. Sekarang, bola masih berhenti menggelinding di titik ini.

Jika disederhanakan, kisruh ini—sebagaimana digarisbawahi dengan tepat oleh Burhanuddin—memang berinduk pada dua dimensi penting, independensi bank sentral dan konteks politik di seputarnya.

Menurut hemat saya, independensi BI bukanlah persoalan. Pokok soalnya adalah belum tuntasnya pelembagaan politik di sekitar independensi itu. Akibat pelembagaan politik yang belum usai inilah BI mesti terombang-ambing di tengah tarik-menarik eksekutif-legislatif.

Independensi bank sentral adalah sebuah rumus baku dalam umumnya negara demokratis. Dengan independensinya, bank sentral diharapkan dapat bekerja secara profesional dan berkelanjutan dalam mengelola urusan moneter. Bank sentral diharapkan tak terpengaruh oleh perubahan politik reguler yang sangat boleh jadi terjadi seusai pemilihan umum.

Di Indonesia, gagasan independensi itulah yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU RI No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam praktiknya, sebagaimana terjadi di mana saja, independensi itu tentu saja tetap tak bisa membuat BI sepenuhnya mampu menghindarkan diri dari arus politik dari sekelilingnya.

Pada titik itulah persoalan bermula. Dalam konteks demokratisasi Indonesia yang masih belia, independensi itu terancam cedera oleh setidaknya empat tantangan politik. Pertama, setelah menjalani reformasi satu dasawarsa, Indonesia belum berhasil menegaskan garis batas antara kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Tak adanya pemilahan tegas di antara dua peranan ini berkonsekuensi pada kegagalan mendefinisikan fungsi lembaga legislatif secara proporsional.

Semestinya, berkaitan dengan fungsi-fungsi Presiden sebagai kepala negara, DPR tak punya kekuasaan berlebihan untuk membatalkan atau mementahkan kekuasaan Presiden. DPR baru memiliki kekuasaan dan kewenangan besar dalam kaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Atas dasar prinsip itulah DPR semestinya tak punya kekuasaan terlampau besar dalam penentuan duta besar untuk negara sahabat dan terlebih-lebih dalam penerimaan duta besar negara asing di Jakarta. Sejajar dengan ini, Presiden menjalankan kekuasaannya sebagai kepala negara manakala menyeleksi dan menentukan pemimpin bank sentral. Maka, dalam konteks itu, DPR semestinya memiliki kekuasaan dan kewenangan terbatas.

Sebaliknya, ketika Presiden mulai menyeleksi kandidat menteri, Presiden bekerja dalam domain kekuasaan kepala pemerintahan. Maka, menjadi wajar jika DPR memainkan peranan besar di situ, misalnya dengan melakukan dengar pendapat khusus dengan kandidat-kandidat pos kementerian strategis.

Kedua, ketidakjelasan batas kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu sesungguhnya merefleksikan soal mendasar, yakni kekaburan praktik presidensialisme di Indonesia sesudah empat kali amandemen konstitusi. Di satu sisi, kekuasaan Presiden diperbesar melalui mekanisme pemilihan langsung. Di sisi lain, kekuasaan DPR diformat dengan gaya parlementarianisme.

Itulah distorsi yang di Amerika Latin praktik semacam itu disebut sebagai ”presidensialisme yang bekerja ala parlementarianisme” (Colomer dan Negretto, 2005).

Dalam konteks itulah Presiden dan DPR bekerja memilih dan menentukan Gubernur BI. Dari baliknya, menyeruak sebuah persoalan serius dalam sistem politik kita, yakni terpenjaranya presidensialisme oleh parlementarianisme. Jika persoalan ini tak dicarikan jalan keluarnya, ketegangan dan konflik tak perlu antara Presiden dan DPR akan terjadi dalam banyak isu.

Ketiga, suasana pergantian kepemimpinan BI diperkeruh oleh kebelumdewasaan perilaku partai dan parlemen kita. Semangat oposisi dan pengawasan kekuasaan dalam tubuh partai dan lembaga legislatif patut diapresiasi. Celakanya, semangat itu belum diimbangi kemampuan kalangan partai dan legislatif untuk mempraktikkan akuntabilitas publik dan perwakilan politik.

Keempat, politisasi pergantian Gubernur BI menjadi makin sulit dihindari karena suksesi kepemimpinan bank sentral itu dilakukan di ”waktu yang salah”, yaitu satu tahun menjelang setiap pemilihan presiden, di mana suhu politik sudah memanas.

Untuk keluar dari jebakan itu harus ada inisiatif dan keberanian politik untuk mengubah jadwal pergantian Gubernur BI dari setahun sebelum ke setahun setelah pemilihan presiden.

Akhirnya, kisruh bank sentral yang merebak saat ini sejatinya merupakan ujian kematangan kita berdemokrasi.

Bank Indonesia saat ini sudah menunjukkan kematangan dirinya dengan tetap bekerja profesional di tengah badai mendera mereka. Sekarang, saatnya pemerintah, DPR, dan partai- partai menunjukkan kedewasaan mereka.

EEP SAEFULLOH FATAH (fatah.1@ui.edu), Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

No comments:

A r s i p