Friday, March 14, 2008

Demokrasi Fait Accompli



Radhar Panca Dahana


Kamis, 13 Maret 2008

Apa yang beberapa waktu lalu diributkan seputar masalah Undang-Undang Pemilihan Umum, sebenarnya tak lain sebuah kenyataan pahit bagi kita (publik), yang justru menjadi obyek kepentingan utamanya: demokrasi telah disandera oleh kepentingan sempit partai politik. Lebih tepatnya, demokrasi, lebih khusus lagi kata demos dalam pengertian asalnya, sudah dipenjara, dibungkam, dan dibunuh kebebasan dan kemungkinannya oleh mereka, kaum elite politik yang selama ini merasa paling berhak mengartikulasi dan merepresentasi demokrasi.

Tapi, jangan-jangan, kenyataan demokrasi yang berkembang sampai akhir ini, di mana pun, justru tidak berdaya untuk melawan kecenderungan pahit tersebut. Atau tepatnya, lebih jauh lagi, demokrasi yang kita pahami malah--setidaknya, mendorong--menciptakan situasi ironis di atas. Suara rakyat, misalnya, bukan lagi vox dei, tapi voix des élites, des bourgeoises. Tak ada lagi Tuhan, karena Tuhan sudah diwakili atau direbut suaranya oleh kaum elite-borjuis.

Hal ini bisa ditelusuri justru dari logika yang dimainkan oleh demokrasi itu sendiri. Konsep "keterwakilan", misalnya, sebagai permainan logika dari vox populi itu, dengan mudahnya menjadi permainan pihak yang menguasai resources (kekuasaan) politik, ekonomi, agama, hingga militer. Mereka menempatkan diri seolah sebagai representan utama dari publik (konstituen), termasuk pada akhirnya, menentukan siapa yang harus dipilih, yang memilih, hingga bentuk, cara, mekanisme pemilihan, dan sebagainya.

Apa yang terjadi dalam ruang-ruang kerja parlemen belakangan ini sesungguhnya tidak lain dari game dan gamble yang menegosiasikan ketentuan-ketentuan tersebut, ketika suara publik sama sekali tak terdengar, bahkan echo-nya pun terdengar ringsek dalam pita kaset yang rusak. Kemudian publik hanya dapat pasrah, bahkan menyerah, menerima (atau memilih) pilihan-pilihan yang telah "dipilihkan" baginya.

Itulah yang terjadi saat pemilu, misalnya. Dalam tingkat apa pun, dalam keperluan apa pun. Calon-calon yang tersedia sama sekali tidak muncul atau terseleksi dari keinginan dan kebutuhan publik. Tapi oleh mekanisme partai, lengkap dengan kebutuhan dan kepentingan golongannya. Maka lihatlah demokrasi di mana pun negeri di dunia ini menyediakan dua atau lebih calon presiden dari hasil proses seleksi internal partai-partai kuat (hanya dua hingga lima, rata-rata). Dan kita sebagai konstituen dipaksa dan terpaksa memilih yang telah dipilih itu.

Dan itulah kesulitan utama semua demokrasi yang mengalami krisis kepemimpinan dan kaderisasi, seperti di negeri ini. Kita tak memiliki pilihan. Apa yang ada adalah pilihan-pilihan yang tak terelakkan, dan memang cuma itu adanya, menurut mekanisme yang tercipta serta kita bela saat ini. Demokrasi ternyata adalah (jika tidak menciptakan) sebuah fait accompli bagi kita. Dalam kekonyolan ini, demokrasi menjadi given, sesuatu yang terpelak dalam kehidupan modern.

Kebenaran fait accompli
Situasi ironis itu menjadi tragis ketika demokrasi pun pada akhirnya dipraksiskan. Publik yang ter-fait accompli sebagian besar pada akhirnya memilih hanya karena alasan pragmatis, mungkin yuridis: melaksanakan hukum atau terhukum bila menolaknya. Usaha menolak pilihan "terpilih" itu senantiasa menjadi kesia-siaan, di saat ia ditempatkan sebagai suara "sumbang", bias, atau dalam kolom "tak berpendapat".

Sistem statistik seperti ini yang sesungguhnya bias, karena ia menafikan begitu saja suara yang "tak bersuara" sebagai kelainan yang dapat dilalaikan. Dalam praktek demokrasi, inilah golongan putih (golput), suara publik yang tidak memilih, karena berbagai alasan: tidak peduli terhadap pemilu, tidak menerima fait accompli (pilihan-terpilih), memiliki pilihan lain, dan sebagainya. Dan dalam praktek demokrasi pula, mereka yang terakhir ini akan berakhir sebagai korban: pihak yang begitu saja harus menerima keputusan sistem.

Dalam bahasa saat ini, keputusan sistem itu adalah "mayoritas". Tragedi pun terjadi saat apa yang kita sebut mayoritas itu sesungguhnya hanya "setengah lebih dari mereka yang memilih". Dalam prakteknya, jumlah pemilih itu pun kadang hanya setengah lebih, bila dikurangi golput. Seperti pemilu Amerika Serikat, saat George W. Bush bertarung dengan Dan Quayle, yang ternyata hanya diikuti oleh 58 persen pemilih terdaftar.

Dan suara yang diperoleh oleh Bush tidak lebih dari setengah, karena bahkan ia kalah oleh Dan Quayle. Hanya karena sistem electoral vote dan keputusan Mahkamah Agung yang sangat politis, akhirnya calon Partai Demokrat harus gigit jari. Bush menang, katakanlah, hanya dengan 50 persen dari pemilih yang memilih (58 persen). Artinya, Bush menjadi presiden hanya karena tak lebih dari 25 persen penduduk Amerika yang terdaftar sebagai pemilih (tak termasuk anak-anak dan remaja).

Dapat dibayangkan, raihan suara hanya 25 persen itulah yang kemudian kita sebut "mayoritas". Dan kelompok inilah yang kemudian berhak atas kekuasaan, dalam arti lain "kebenaran" politik dan seterusnya, bagi Amerika Serikat empat tahun berikutnya. Demokrasilah yang mengizinkan dan melegitimasi kebenaran 25 persen berlaku atas 25 persen lawannya yang kalah dan 50 persen the silence voices yang tidak ikut memilih. Bila 25 persen itu (lewat kebijakan presidennya) membawa bangsa Amerika ke jurang nista, itulah nasib buruk mereka. Tragis yang dibawa demokrasi, yang telah mem-fait accompli mereka.

Demokrasi res-publica
Tapi, sebagaimana rakyat Amerika yang telah begitu-merasa--matang dan pembela utama demokrasi, hanya dapat pasif dan menerima semua hal di atas secara given, kita pun di kepulauan Nusantara ini mengadopsinya dengan sepenuh hati. Sebuah tindak budaya (tak hanya politis) yang bukan hanya naif secara rasional-intelektual, tapi juga mengejek kebudayaan kita sendiri yang lebih tua daripada Inggris Raya, bahkan mengucilkan, jika tidak mematikan, kesejatian kita sendiri sebagai manusia (pribadi).

Demokrasi, sebagaimana kapitalisme (yang sudah begitu banyak dibicarakan sebagai--tak lain dari--arsenal utama globalisme atau dalam istilah lain neokolonialisme), dalam posisi ini sebenarnya sudah menjadi semacam fallacy dalam peradaban kita. Sebuah kekeliruan, sebagaimana kekeliruan peradaban lainnya, yang susah bagi kita untuk memperbaiki atau memutarbalikkannya kembali.
Ia yang dulu sebagai obat, justru kini menjadi penyakit, bahkan endemi yang badan global apa pun tidak mampu (juga tidak mau) mencari atau menyediakan obatnya. Beberapa ahli yang menyadari, dengan rendah hati dan suasana hati yang ironis, hanya dapat mengatakan, "Itulah pilihan terbaik dari semua pilihan buruk yang ada." Dan kita adalah pengikut setia dari fatsun politik semacam itu, di mana-mana.

Tulisan ini tentu saja tidak berpretensi membuat fatsun lain yang lebih arif daripada itu. Jika ia pun dapat berkata, tidak lain adalah sebuah seruan. Setidaknya: kembalikan demokrasi kepada demos yang sesungguhnya, dengan cara yang sesungguhnya. Itu pun bila kita masih mempercayai demokrasi, lengkap dengan semua kekeliruan--yang baru sebagian kecil terulas--di sini.
Jika tidak? Mau tak mau kita harus berpikir keras, keras, dan keras sekali, mencari alternatif lain. Sebuah alternatif yang tidak dapat berhenti pada kata belaka, pada gagasan dan teori saja. Tapi juga alternatif yang memiliki daya gerak. Daya, yang ampunnya, harus termasuk menangkal kekuatan global di balik demokrasi itu sendiri. Mungkinkah itu?

Selama semua masih di bawah matahari, apa sebenarnya yang tidak mungkin?

*) Radhar Panca Dahana, Budayawan

No comments:

A r s i p