Saturday, March 15, 2008

Paket UU Politik


Langkah Hegemoni Parpol Besar
Jumat, 14 Maret 2008 | 00:26 WIB

Oleh M Hernowo

Salah satu semangat yang terlihat selama pembahasan dan isi paket undang-undang politik saat ini adalah adanya upaya untuk menyederhanakan partai politik yang duduk di parlemen. Namun, upaya yang sering dikatakan untuk menciptakan pemerintahan yang kuat ini dapat juga dilihat sebagai langkah sejumlah partai besar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Wacana tentang penyederhanaan atau pengurangan jumlah partai politik di DPR sebenarnya sudah lama muncul. Ide itu pernah disampaikan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia atau LIPI untuk revisi paket undang-undang politik.

Sebagai bagian dari penyederhanaan partai, saat mempresentasikan pendapatnya pada 15 Desember 2006, tim dari LIPI antara lain mengusulkan adanya syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2009, minimal diusung 25 persen suara di DPR (Kompas, 16/12/2006).

Dengan peraturan itu diharapkan muncul dua koalisi partai yang sifatnya permanen di parlemen, yaitu yang mendukung dan beroposisi kepada pemerintah. Keadaan ini diharapkan dapat membuat pemerintahan bekerja lebih efektif karena mendapat dukungan yang kuat dan pasti dari sebagian anggota parlemen.

Selama ini, pemerintah memang terlihat sering terlalu disibukkan dengan gejolak di parlemen atau parpol, saat akan mengambil keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan cenderung menjadi lambat, penuh kompromi, dan berorientasi pada usaha untuk lebih menyenangkan parpol dan bukan memecahkan masalah rakyat.

Hal itu, misalnya, terlihat saat perombakan kabinet terbatas pada Mei 2007. Sekadar untuk mengganti lima menteri atau jabatan setingkat menteri dan mengubah posisi dua menteri dibutuhkan polemik selama berbulan-bulan. Ironisnya, hasil dari polemik bukan terutama pada apakah menteri yang bersangkutan telah bekerja baik, namun lebih pada bagaimana komposisi keterwakilan parpol di kabinet.

Di satu sisi, situasi itu dapat disebabkan oleh sikap pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang disebut amat hati-hati dan penuh pertimbangan dalam mengambil keputusan. Tetapi, di sisi lain, ada kekhawatiran Presiden memang terlalu mengakomodasi kemauan parpol pendukungnya.

Perlu disederhanakan

Menurut pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Cornelis Lay, kondisi itu juga disebabkan oleh banyak dan beragamnya kepentingan parpol di kekuasaan. ”Keadaan itu membuat pemerintah kadang sulit mengambil keputusan. Akibatnya, pemerintahan menjadi kurang efektif. Jadi, sistem kepartaian kita memang perlu disederhanakan,” katanya.

Selama penyederhanaan parpol ini memakai cara demokratis, seperti lewat pemilu yang jujur dan adil, lanjut Cornelis, penyederhanaan itu tidak bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi.

Peneliti senior LIPI Syamsuddin Haris menambahkan, penyederhanaan parpol ini mutlak dibutuhkan jika pemerintahan Indonesia tetap bersistem presidensial. Sebab, sistem presidensial mensyaratkan sistem kepartaian yang ramping. Bahkan, sistem itu umumnya hanya mengenal dua kekuatan di parlemen yang terbagi secara tegas, yaitu oposisi dan pendukung pemerintahan.

”Di tahun 1993, dari 31 negara di dunia yang stabil dengan sistem presidensial tidak ada yang memakai sistem multipartai,” tegas Haris.

Filipina merupakan contoh negara yang berusaha menggabungkan sistem presidensial dan multipartai. Namun, seperti halnya Indonesia, pemerintahan di negara tetangga itu juga tidak terlalu efektif. ”Pemakaian bersama-sama antara sistem multi- partai dan presidensial, seperti kawin paksa,” papar Haris.

Sejarah Indonesia juga memperlihatkan, banyak parpol ternyata tidak terlalu efektif. Ini terlihat, misalnya, saat Pemilu 1955. Meski pemilu yang diikuti lebih dari 30 parpol dan ratusan perseorangan itu disebut amat demokratis, tetapi anggota badan konstituante yang terpilih dalam proses itu ternyata tidak dapat segera menyelesaikan penyusunan undang-undang dasar (UUD) yang direncanakan menggantikan UUD 1945 dan UUD Sementara.

Situasi itu menyebabkan Presiden (saat itu) Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959, yang isinya antara lain kembali ke UUD 1945 dan pembubaran badan konstituante.

Masalahnya, penyederhanaan parpol itu sekarang dilakukan di tengah kondisi kepartaian Indonesia yang belum sepenuhnya sehat. Ini terlihat dari survei oleh Transparency International Indonesia sejak tahun 2005, yang selalu menempatkan parpol, bersama dengan parlemen, lembaga peradilan, dan kepolisian sebagai institusi yang dipersepsikan masyarakat paling korup.

Dalam surveinya pada akhir 2007, Indo Barometer juga mengatakan, masyarakat pada umumnya masih melihat parpol sebagai institusi yang hanya untuk mengejar kekuasaan dan kepentingannya sendiri. Ideologi parpol yang paling menonjol adalah pragmatisme untuk berkuasa.

Pragmatisme ini terlihat jelas, misalnya, dalam pemilihan kepala daerah. Sejumlah parpol yang berkoalisi di satu daerah dapat bertarung di daerah lain. Parpol yang seharusnya juga menjalankan fungsi kaderisasi dapat mendepak kadernya yang sudah berjuang bertahun-tahun dan mendukung calon lain yang hanya karena berdasarkan survei diyakini lebih berpeluang memenangi pilkada.

Demokrasi tersandera

Dalam kondisi seperti ini, penyederhanaan parpol menjadi seperti buah simalakama. Di satu sisi dibutuhkan untuk mengefektifkan pemerintahan. Namun di sisi lain memberi peluang kepada parpol besar untuk lebih memaksakan kehendaknya, bahkan menyandera demokrasi. Penyederhanaan itu mempersempit peluang rakyat untuk memilih partai yang lebih baik.

Bahkan, gagasan penyederhanaan parpol itu diyakini tidak banyak berarti bagi rakyat. Sebab, pemerintahan yang kelak terbentuk mungkin memang akan lebih stabil, namun hanya akan melayani kepentingan kelompoknya sendiri.

Untuk mencegah dampak negatif itu, penyederhanaan ini harus disertai dengan upaya pendewasaan parpol. Misalnya, dengan membuat aturan yang menuntut dibukanya keuangan parpol dan sanksi yang tegas bagi parpol yang melakukan penyimpangan kekuasaan.

Berbagai elemen masyarakat sipil juga harus lebih aktif melakukan pemberdayaan masyarakat sipil. Sebab, masyarakat yang cerdas dan sadar politik akan memancing parpol untuk terus memperbaiki diri agar tidak ditinggalkan pendukungnya.

Namun di atas semuanya, rakyat sebenarnya juga cerdas menilai keadaan yang terjadi. Buktinya, pada Pemilu 1999 Golkar hanya mendapat 22,44 persen suara, atau kurang dari sepertiga suaranya pada Pemilu 1997 yang mencapai 74,51 persen. Suara Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) di Pemilu 2004 juga hanya 18,53 persen. Padahal, pada Pemilu 1999 partai ini meraih 33,74 persen. Jadi, berhati-hatilah....

No comments:

A r s i p