Monday, March 17, 2008

Persaudaraan dan Keadilan

Senin, 17 Maret 2008 | 07:58 WIB

Robertus Wijanarko

”But we were kids who had learned to crawl together, and no history, ethnicity, society, or religion was going to change that.” (Khaled Hosseini, The Kite Runner, 27)

Artikel Ulil Abshar-Abdalla, Kembali ke Etika Publik, mengajak kita merenungi eksistensi bangsa ini (Kompas, 29/2/2008). Selain memberi deskripsi dan diagnosa tentang perlunya bangsa kita kembali ke civic religion (etika publik), Ulil juga menawarkan preskripsi tentang proses kembali ke agama publik tersebut , beserta muatan-muatannya.

Proses ”rekayasa” (pendidikan), menurut Ulil, dengan muatan cinta Tanah Air—patriotisme, kultur demokrasi, dan etika sosial—harus melengkapi proses alamiah yang tengah bersemi di antara agama-agama dan tradisi budaya yang ada, untuk mengembalikan etika publik tersebut.

Di tengah kehancuran institusi-institusi sosial, politik, hukum, dan fenomena ”disfungsionalitas” institusi publik lainnya, ajakan untuk kembali memikirkan pigura integratif dalam kehidupan bersama memang terasa bergema nyaring.

Apalagi, sebagaimana dilansir Kompas dalam tajuknya, kekuatan Pancasila sebagai sistem nilai yang pernah dirancang untuk membangun daya integratif dan basis kehidupan berbangsa dan bernegara terus melemah. Menurut sebuah penelitian, Pancasila semakin ”diemohi” justru di lingkungan kantong-kantong basis pendidikan politik bangsa ini (Kompas, 5/3/2008).

Meskipun demikian, ketika kita menyelam ke bagian yang lebih dalam dari lautan krisis bangsa ini, usulan Ulil tentang proses ”rekayasa” dengan muatan cinta Tanah Air—patriotisme, kultur demokrasi, dan etika sosial—terasa ”ahistoris” dan hasilnya tidak akan pernah menciptakan kesadaran moral yang menghujam ke dalam jantung kehidupan bangsa kita.

Tiga variabel

Ketiga variabel tersebut memang merupakan unsur-unsur esensial untuk membangun moralitas sosial bangsa ini, namun ketika kita melihat betapa dalam krisis bangsa ini, ajakan untuk menumbuhkan ketiganya terasa hambar. ”Hari gini, masih bicara tentang patriotisme, demokrasi, dan etika sosial?” demikian mungkin seloroh orang-orang muda kita!

Dalam perspektif epistemologis, ketiga muatan tersebut akan tidak sekadar bermakna artifisial dan imposisional jika geneologi sejarah, pengetahuan, dan pemahaman akan realitas diproduksi oleh serangkaian pengalaman-pengalaman manusiawi yang memang mencipta ruang tumbuhnya sikap persaudaraan manusiawi, komuniter, inklusif, dan demokratik.

Justru pada tataran prasyarat paling fundamental inilah bangsa kita kehilangan ruang-ruang kehidupan untuk bisa tumbuh bersama, belajar merangkak bersama menjadi komunitas bangsa yang tahu arti persaudaraan sejati. Kita kehilangan pengalaman-pengalaman manusiawi yang merajut kesatuan dan persaudaraan kita sebagai bangsa; pengalaman eksistensial untuk belajar ”how to crawl together” yang tidak akan pernah terenggut oleh perbedaan agama, paham politik, etnik, kepentingan ekonomi, atau narasi sejarah kita yang berbeda sekalipun.

Manusiawi

Akan tetapi, bagaimana mungkin kita bisa menjumpai pengalaman manusiawi untuk ”belajar merangkak bersama”, yang membangun rasa persaudaraan sejati, sementara kesenjangan sosial, ekonomi, politik, dan hukum begitu parah dan tidak terjembatani lagi oleh program-program dan kebijakan para penguasa yang tercanggih sekalipun.

Bagaimana mungkin situasi atau pengalaman-pengalaman manusiawi yang bisa menjadi sekolah persaudaraan mungkin terjadi, ketika, di satu sisi, bangunan perumahan mewah di sebagian tempat bertaburan dilengkapi dengan penciptaan lingkungan hidup kelas satu dan aneka infrastruktur pendukung yang aman dan nyaman; tetapi, di sisi lain, mayoritas masyarakat masih hidup di gubuk dan lingkungan tak layak huni, dan tanpa jaringan sistem yang melindungi mereka dari ancaman banjir, kebakaran, penyakit, atau bahkan penggusuran semena-mena?

Bagaimana mungkin kondisi yang merajut pengalaman fundamental persaudaraan bisa disemaikan, ketika, di satu pihak, ada sekelompok orang yang, berkat perlakuan istimewa dan kemudahan fasilitas kredit, mempunyai dana dan jaringan koneksi tidak terbatas untuk mengintervensi proses-proses hukum, yang daya penetrasinya menghujam ke jantung kehidupan dan institusi-institusi hukum paling dalam secara telanjang; sementara, di lain pihak, banyak anggota masyarakat tidak berdaya hanya untuk memperjuangkan remah-remah hak-hak dasar mereka sebagai warga negara dalam soal kebutuhan pokok (pangan, papan, sandang, dan pendidikan), dalam porsi minimal sekalipun?

Lagi, bagaimana mungkin kesempatan untuk belajar merangkak bersama bisa dialami ketika sebagian golongan etnis atau agama dimanjakan dengan aneka hak-hak istimewa dalam koneksi, informasi, dan distribusi sumber dana melalui proses yang tidak transparan, sementara banyak kelompok yang lain terpinggirkan dan dibiarkan terbengkalai atau berjuang sendiri tanpa dukungan dari kekuasaan, atau bahkan diancam eksistensinya?

Jika fenomena tersebut tetap menjadi corak dominan yang menghiasi wajah kehidupan kita, usaha-usaha untuk menumbuhkan semangat patriotisme dan cinta Tanah Air, budaya demokrasi dan etika sosial hanya merupakan cerita manis bagi sebagian kecil komponen bangsa ini, tetapi merupakan narasi memuakkan tanpa adanya rujukan struktur dan konteks sosial bagi sebagian besar masyarakat kita.

Ajakan tersebut hanya mempunyai makna ketika semua elemen bangsa, terutama mereka yang memimpin bangsa ini, mengambil peran masing-masing untuk mununjukkan performance yang jelas bahwa korupsi, ketidakadilan sosial, dan neokolonialisme dalam wajah globalisasi ekonomi, politik, dan budaya merupakan musuh kita bersama yang memberi kesempatan bagi kita untuk mengalami pengalaman merangkak bersama untuk keluar dari belitannya yang menggurita.

Imperasi normatif

Imperasi normatif dari pemikiran ini adalah, mereka semua yang mempunyai pengaruh luas dalam penentuan kebijakan publik di semua tingkat harus menunjukkan tindakan-tindakan yang berkeadilan sosial yang lebih konkret dan intensional untuk membuat rakyat kecil belajar percaya bahwa kemiskinan, ketidakadilan, korupsi, diskriminasi, kapitalisme liberal, dan kehancuran habitus dalam arti fisik maupun sosial bukan hanya musuh mereka tetapi musuh kita semua.

Robertus Wijanarko Alumnus DePaul University, Chicago; pengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat dan Teologi Widya Sasana, Malang

No comments:

A r s i p