Friday, March 7, 2008

Hitung Cepat, Tak Boleh Cepat


Kamis, 6 Maret 2008 | 01:59 WIB

Sidik Pramono dan M Hernowo

Lembaga pelaksana survei dan hitung cepat (quick count) tidak lagi bisa seperti dulu. Mereka yang terbiasa berbalapan untuk lebih dulu memublikasikan hitung cepat hasil pemilihan umum harus bersedia mengerem laju. Pengaturan survei dan hitung cepat masuk dalam UU Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang telah disetujui DPR bersama pemerintah.

Salah satu ketentuannya, hasil survei yang berkaitan dengan preferensi terhadap peserta pemilu tidak boleh diumumkan dalam masa tenang. Sementara publikasi hitung cepat harus dilakukan dengan memberitahukan metode yang digunakan serta harus disampaikan bahwa hasilnya bukan merupakan hasil resmi dari penyelenggara pemilu. Hasil hitung cepat baru dapat diumumkan satu hari setelah hari/tanggal pemungutan suara atau pukul 00.00 WIB.

Sejak Pemilu 2004, publikasi survei dan hitung cepat terbukti menjadi fenomena amat menonjol dan menyedot perhatian.

Media massa bersedia menyisihkan waktu dan porsi khusus untuk peliputan hasil hitung cepat. Antusiasme masyarakat nyata terlihat setiap kali hasil survei atau hitung cepat dipublikasikan. Di sisi lain, masing- masing lembaga beradu paling cepat, paling presisi dengan hasil resmi yang nantinya ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara pemilu. Bahkan, tidak jarang jika muncul persaingan antarlembaga karenanya.

Selain itu, tabulasi hasil pemilu berbasis teknologi informasi yang dikelola oleh KPU pun sama menarik dan tidak kurang peminatnya. Perkembangan perolehan suara bisa dilihat, di mana perolehan suara parpol bisa berkejaran, bergantung pada input data dari daerah.

Pro kontra

Yang jelas, selalu ada kontroversi atas publikasi hasil hitung cepat. Menurut Saiful Mujani dari Lembaga Survei Indonesia, hitung cepat efektif untuk melihat kemungkinan adanya kecurigaan manipulasi suara. Hitung cepat merupakan bagian dari alat kontrol penghitungan suara sehingga fungsi itu akan hilang jika publikasinya ditunda terlalu lama.

Pengaturan untuk survei dan hitung cepat seharusnya diserahkan kepada masing-masing lembaga survei. Secara metodologis, pengumuman hasil hitung cepat baru dapat dilakukan setelah adanya penghitungan suara. Hal yang saat ini dibutuhkan adalah aturan kesempatan bagi masyarakat dan media untuk mengontrol lembaga survei. ”Misalnya, dengan menanyakan metodologi atau cara membuat pertanyaannya,” kata Saiful.

Sekalipun demikian, di sisi lain tidak bisa diabaikan juga adanya kekhawatiran bahwa hasil hitung cepat diklaim salah satu pihak (terutama yang versi hitung cepat menjadi pemenang) sebagai hasil resmi. Hasil hitung cepat terkadang bahkan dianggap lebih sahih ketimbang rekapitulasi manual.

Menurut Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Andi Yuliani Paris (Fraksi Partai Amanat Nasional, Sulawesi Selatan II) kenyataan di lapangan tidak bisa diabaikan, sering terjadi pengumuman hitung cepat menjadi acuan bagi masyarakat.

Yang berkembang saat pembahasan di pansus, publikasi hitung cepat dalam kasus pemilihan kepala daerah di Maluku Utara maupun Sulawesi Selatan layak diperhatikan.

Catatan lain adalah tampilan hitung cepat yang biasanya hanya menyebutkan perolehan suara parpol secara nasional. Padahal, dalam kasus pemilu di Indonesia, perolehan suara tidak simetris dengan perolehan suara kursi parpol bersangkutan.

Ihwal tampilan hasil penghitungan suara secara nasional ini, patut disimak pandangan Cetro saat Pemilu 2004.

Lewat rilisnya pada 23 April 2004, organisasi nonpemerintah yang menggeluti soal pemilu itu berpendapat tampilan perolehan suara secara nasional yang disajikan KPU sebenarnya kurang relevan dalam sistem pemilu DPR karena perolehan kursi ditetapkan per daerah pemilihan.

Menurut Cetro, tampilan perolehan suara secara nasional juga dapat menyesatkan karena masyarakat dapat mengira bahwa otomatis parpol yang memperoleh suara nasional tertinggi akan memperoleh kursi lebih besar daripada parpol yang memperoleh suara nasional lebih rendah. Padahal, hal ini sangat bergantung pada di daerah pemilihan mana parpol memenangi suara, berapa jumlah kursi di daerah pemilihan tersebut, dan berapa angka bilangan pembagi pemilihan.

Sebelum RUU diputuskan, perwakilan tiga lembaga survei, yaitu Lembaga Survei Indonesia; Lembaga Pendidikan, Penelitian, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial; dan Pusat Kajian Politik UI, di Jakarta, Selasa (19/2), bersikap.

Mereka mengharapkan Pansus RUU dapat mempertegas isi hasil survei yang tidak boleh dipublikasikan selama masa tenang. Dengan demikian, lembaga survei dan media massa dapat menghindarkan diri dari sanksi terkait dengan pelanggaran yang disebabkan oleh publikasi hasil survei. Hal itu terkait dengan ketentuan bahwa publikasi hasil survei selama masa tenang perlu dilarang karena dianggap dapat memengaruhi preferensi pilihan politik pemilih dan menimbulkan kekacauan.

Sri Budi Eko Wardani dari Pusat Kajian Politik UI berharap yang dilarang dipublikasikan pada masa tenang sebaiknya hanya hasil survei yang dapat memengaruhi preferensi pemilih, seperti mengenai dugaan siapa yang akan memenangi pemilu atau pilkada. Namun, survei mengenai pemilih yang belum terdaftar dan prediksi tingkat partisipasi publik semestinya tidak dihambat publikasinya pada masa tenang. Hal itu justru bisa menjadi masukan bagi penyelenggara atau masyarakat untuk lebih meningkatkan persiapan pemilu atau pilkada.

Penjelasan dalam undang-undang terkait dengan pasal tersebut hanya menyatakan ”cukup jelas”. Namun, ada pula klausul, ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemilu diatur dalam peraturan KPU.

Siasat

Menurut Ketua Pansus RUU Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II), pada prinsipnya, masyarakat atau lembaga dapat berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemilu dengan melaksanakan survei atau hitung cepat. Tidak pernah ada keinginan untuk membatasi lembaga survei dan hitung cepat maupun media massa. Materi undang-undang justru memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam sosialisasi dan pendidikan politik.

Pansus RUU Pemilu berpandangan bahwa media massa tidak perlu khawatir dengan ”pembatasan” publikasi survei dan hitung cepat.

Pembatasan publikasi hasil hitung cepat hanya sampai hari/tanggal pemungutan suara atau pukul 00.00 WIB. Lembaga survei ataupun yang biasa mengadakan hitung cepat hasil pemilu boleh saja menyampaikan hasil kerjanya kepada media massa sebelum batas waktu itu asalkan ada ketentuan ”embargo”. Publikasi baru bisa disampaikan selewat pukul 00.00 WIB.

Selain itu, lembaga survei ataupun yang biasa mengadakan hitung cepat hasil pemilu atau pilkada masih boleh ”bernapas” sedikit lebih lega. ”Pembatasan” publikasi hasil hitung cepat masih berlaku hanya untuk pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Artinya, publikasi survei dan hitung cepat hasil pilkada tidak terikat sebelum ketentuan serupa tercantum dalam peraturan perundang-undangan menyangkut pilkada.

Jika mau berprasangka baik, ada ketentuan dalam undang- undang: siapa pun bisa terlibat dalam soal partisipasi masyarakat.

Hanya saja, mereka terikat pada ketentuan untuk tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu, tidak mengganggu tahapan pemilu, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas, dan mendorong terwujudnya suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pemilu yang aman, damai, tertib, dan lancar.

Palu sudah diketuk. Jadi, silakan bersiasat.

 

No comments:

A r s i p