Saturday, March 15, 2008

Reformasi


10 Tahun Tanpa Perubahan Berarti
Senin, 10 Maret 2008 | 02:30 WIB

Oleh Maria Hartiningsih

Masa transisi menuju tata politik yang demokratis hampir tidak menghasilkan perubahan signifikan. Upaya mewujudkan kehidupan bernegara dan berbangsa yang baik justru terhenti oleh kekuatan antidemokrasi yang menjadikan demokrasi sebagai prosedur untuk mengesahkan tindakan politiknya.

Catatan Refleksi 10 Tahun Reformasi yang dikeluarkan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengungkapkan terjadinya pemiskinan berkelanjutan di masyarakat dan buruknya kualitas pembangunan. Tetapi, pemerintah daerah sibuk membuat perangkat peraturan sebagai alat politisasi identitas perempuan.

Seperti dikemukakan Wakil Ketua Komnas Perempuan Ninik Rahayu, politisasi identitas perempuan merupakan tantangan terbesar dalam upaya menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia.

Anggota komisioner Komnas Perempuan Arimbi Heroeputri, Sri Wiyanti, dan Neng Dara Afiah menambahkan, proses demokratisasi dan otonomi daerah tanpa pendidikan politik yang memadai telah membuka ruang munculnya praktik politik yang mengandalkan identitas sosial masyarakat sebagai alat mobilisasi dukungan.

Alat politisasi identitas yang paling populer adalah kontrol terhadap tubuh dan perilaku perempuan serta kontrol dan pembatasan terhadap kelompok agama yang berbeda.

Komnas Perempuan mencatat 27 kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan, melalui kriminalisasi perempuan (17 kebijakan) dan pengendalian tubuh perempuan oleh negara (10 kebijakan).

Ke-27 kebijakan diskriminatif itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari 88 kebijakan daerah yang menggunakan agama dan moralitas sebagai landasan.

Pengamatan Komnas Perempuan di tiga provinsi juga menunjukkan bahwa para elite politik perancang perundang-undangan dengan saksama menjadikan perempuan sebagai alat mobilisasi dukungan.

Fakta politisasi identitas tak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di tingkat nasional. Sejumlah rancangan undang-undang, seperti RUU tentang KUHP, RUU tentang Pornografi, RUU tentang Amandemen UU Kesehatan, juga memupuk dukungan politik dengan mendorong kontrol negara terhadap tubuh dan perilaku perempuan. Meski belum disahkan, energi publik tampaknya tetap meletakkan pengendalian tubuh perempuan sebagai alat mobilisasi politik.

Politik pencitraan

Hasil pengamatan Komnas Perempuan di tiga provinsi dan sembilan kota/kabupaten memperlihatkan, motivasi kelahiran perda bernuansa agama dan moralitas adalah untuk memoles citra sebagai daerah yang religius. Komnas Perempuan mencatat 61 perda dengan kategori sebagai alat pencitraan.

Pada saat bersamaan, kondisi sosial ekonomi rakyat di berbagai daerah semakin mengkhawatirkan. Pengangguran terbuka mencapai lebih dari 11 juta dan 50 persen di antaranya adalah perempuan. Kesulitan ekonomi menyebabkan perempuan terlempar menjadi buruh migran, mengaisi rezeki di negeri orang.

Data yang dihimpun oleh Komnas Perempuan menunjukkan dari 354.548 buruh migran yang berangkat ke luar negeri pada Januari-Juni 2007, 80 persennya adalah perempuan. Perlindungan terhadap mereka sangat minim. Bahkan lima kebijakan daerah tentang tenaga migran memperlakukan mereka sebagai pekerja, tanpa perspektif hak asasi manusia dan jender.

Kebijakan setengah hati

Turunnya Soeharto menimbulkan harapan bagi berkembangnya kondisi yang lebih kondusif bagi gerakan penegakan HAM. Namun, Komnas Perempuan mencatat sebagian besar kebijakan nasional hak asasi manusia masih buta jender, baik secara substansi maupun implementasinya. Hal ini menyebabkan penegakan HAM perempuan masih terus menjadi ruang yang diperebutkan. Ruang untuk bersuara masih tetap dibatasi.

Di penghujung 10 tahun reformasi, juga harus dicatat bahwa bangsa ini masih punya utang besar kepada kaum perempuan korban kekerasan dalam konteks konflik dan pelanggaran HAM masa lalu.

Tiga dekade rezim Orde Baru dan paruh pertama era reformasi dipenuhi oleh berbagai peristiwa kekerasan politik berskala massal. Perempuan adalah korban terbisukan di daerah-daerah yang pernah berstatus DOM, di tempat-tempat konflik komunal, serta di komunitas-komunitas miskin yang rentan penggusuran dan terjebak jaringan perdagangan manusia.

Namun, upaya yang mendukung pemulihan korban secara komprehensif masih terlalu kecil.

Kemajuan

Terobosan yang paling mengesankan selama 10 tahun terakhir adalah menjadikan isu kekerasan dalam rumah tangga sebagai isu publik dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Jumlah kasus kekerasan yang dihimpun dari 215 lembaga, termasuk institusi penegak hukum, rumah sakit, dan organisasi pengada layanan tahun 2007 adalah 25.522 kasus. Jumlah ini, meski belum menggambarkan situasi yang sebenarnya, merupakan peningkatan yang sangat berarti. Pada tahun 2001, hanya 3.169 kasus yang berhasil direkam.

Selama 10 tahun ini juga telah dihasilkan 11 kebijakan di tingkat nasional, 15 kebijakan di tingkat daerah, dan 3 kebijakan di tingkat regional ASEAN. Selain itu juga telah terbentuk 235 lembaga baru dari Aceh sampai Papua oleh negara dan masyarakat untuk menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. (Ninuk M Pambudy)

No comments:

A r s i p