Monday, March 3, 2008

Kekalahan Para Perempuan di Gelanggang Pemilihan Kepala Daerah

 


Senin, 3 Maret 2008 | 04:31 WIB

Ulfa Ilyas

Persoalan yang dirasakan perempuan hingga saat ini disadari sebagian besar karena faktor ekonomi-politik. Kekerasan terhadap perempuan, perdagangan perempuan, kemiskinan, pelacuran, dan banyak lagi merupakan persoalan yang sangat politis bahkan ideologis (baca: patriarkhi).

Mayoritas gerakan perempuan, terutama dari lapisan terdidik kelas menengah ke atas yang sudah mengenyam pendidikan, merasa perlu ada tindakan khusus sementara dalam bidang politik yang memberi- kan ruang bagi perempuan membicarakan hak dan tuntutannya. Akibatnya, tuntutan perempuan terlibat luas dalam gelanggang politik merupakan bentuk tindakan konkret gerakan perempuan untuk membebaskan diri.

Oleh karena itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) pun menjadi lapangan pertarungan, sekaligus ruang (kesempatan) yang luas bagi perempuan un- tuk mengaktualisasi perjuangan politik, program, dan tuntutannya. Apalagi dengan mekanisme pemilihan langsung, peluang ini pun semakin mu- dah, tinggal bagaimana mengasah kesanggupan dan logistik untuk bisa bertarung dalam arena. Namun, di sinilah problemnya.

Dari berbagai proses pemilihan kepala daerah yang berlangsung, sangat sedikit kaum perempuan yang berhasil memenangi pertarungan. Hingga saat ini, hanya Ratu Atut Chosiyah yang berhasil memenangi pertarungan tersebut dalam pilkada Gubernur Banten.

Dalam putaran pertama pilkada tahun 2005 (provinsi dan kabupaten/kota) yang berlangsung di 160 daerah pemilihan, hanya 6 perempuan yang menang menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Menurut Lembaga Survey Indonesia, hingga akhir Desember 2006, dari 296 kali pilkada yang dilangsungkan, hanya ada 61 (20,6 persen) daerah yang tercatat ada kandidat perempuan. Dari 38 pilkada yang berlangsung tahun 2007, hampir tidak ada calon perempuan yang menang. Lantas, apa yang menjadi faktor utama penyebab kekalahan perempuan dalam gelanggang pilkada?

Azzan Karam (1991) mene- liti di sejumlah negara untuk mengetahui faktor-faktor yang menghambat keterwakilan perempuan dalam politik. Da- lam penelitiannya, Karam menyimpulkan, bukan hanya fak- tor seperti kemiskinan, tingkat pendidikan, dan kesanggupan logistik yang menghambat perempuan terjun dalam dunia politik, tetapi juga ada faktor ideologis, yakni patriarkhi. Dunia politik masih diasosiasikan sebagai ”dunia laki- laki” di mana kaum perempuan tidak pantas terlibat di dalamnya.

Partisipasi

Dalam masyarakat Indonesia sendiri, masih terpatri kuat pandangan bahwa ”perempuan yang baik adalah perempuan yang tinggal di rumah; melayani suami dan mendidik anak”. Gambaran masyarakat yang patriarkhis ini menjelma dalam kehidupan ekonomi-politik, termasuk dalam sistem politik-pemerintahan.

Hal tersebut tampak dalam dinamika politik nasional yang masih sering tarik-menarik soal partisipasi perempuan dalam kehidupan politik; kendati ada wacana dari berbagai partai politik untuk membuka kesempatan bagi kaum perempuan duduk dalam kepengurusan partai, menjadi kandidat, dan sebagainya.

Kebanyakan wacana itu hanya manuver atau boleh dikata ”kedok” semata untuk memanipulasi suara perempuan masuk ke dalam partai bersangkutan. Pada kenyataannya, jajaran kepengurusan partai-partai politik hampir semuanya sangat sedikit yang mengakomodasi perempuan dalam jabatan strategis.

Di pilkada Jawah Tengah, Poppy Dharsono tersungkur dari pencalonannya lewat kendaraan PKB karena ada wacana di PKB Jawa Tengah yang lebih memilih ”calon yang kuat dan tegas”. Dalam Pilkada Aceh, ada dua perempuan yang mendaftarkan diri sebagai calon, tetapi keduanya digugurkan karena alasan administratif.

Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, Sitti Nur Aeni tetap semangat maju dalam pencalonan pilkada kendati dukungannya hanya datang dari PBB yang notabene tidak memiliki kursi di DPRD. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, dua kandidat perempuan, yakni Hj Daris Susilawati dan Hj Norhayati MT, keduanya dikenal sebagai aktivis perempuan, belum mendapat kendaraan politik yang riil untuk maju dalam pilkada.

Jelas sudah bahwa hambatan terberat bagi perempuan dalam pilkada bukan faktor kesanggupan. Rata-rata kandidat perempuan justru punya kemampuan dan kredibilitas. Hanya saja mereka tidak mendapatkan ruang dari parpol. Kebanyakan parpol masih memilih ”pemimpin kuat, tegas, dan berani”, bukan pada kemampuan, kapasitas, program, dan visinya. Pandangan yang patriarkhis inilah yang menjadi faktor utama kekalahan perempuan dalam gelanggang pilkada.

Ulfa Ilyas Aktivis di Jaringan Nasional Perempuan Mahardika dan Koordinator Perempuan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Jakarta Pusat

 

No comments:

A r s i p