Monday, March 31, 2008

Politik Simbolisme

Jumat, 28 Maret 2008 | 00:37 WIB

Amich Alhumami

Di televisi ditayangkan adegan ”dramatis”, ”menyentuh”, dan ”menggugah”. Wiranto—Ketua Umum Partai Hanura—makan nasi aking di tengah kerumunan orang di sebuah keluarga miskin di Serang, Banten (SCTV Liputan6.com, 20/3/2008). Ia merasakan sendiri betapa nasi aking tidak enak dan tak layak dimakan.

Apa yang dilakukan Wiranto jelas bukan sesuatu yang natural, tetapi lebih merupakan bagian kontestasi politik menyongsong Pemilu 2009.

Dalam kajian antropologi politik, adegan Wiranto makan nasi aking itu merupakan salah satu bentuk the politics of symbolism. Politik simbolisme adalah suatu tindakan untuk merepresentasikan sebuah gejala sosial—dalam hal ini realitas kemiskinan di masyarakat—yang diwujudkan dalam simbol yang merefleksikan makna politik tertentu (Geertz 1973; Gupta & Ferguson 1992).

Di situ simbol yang ditampilkan adalah nasi aking yang dikonsumsi orang miskin, terutama kalangan masyarakat Jawa. Kita tidak tahu, benarkah tindakan itu dilandasi ketulusan hati untuk berempati atas penderitaan kaum miskin. Apakah hal itu juga merupakan kepedulian dan simpati dari nurani atas problem kemiskinan, yang membelit 39,5 juta penduduk Indonesia. Wiranto memang memberi nama partainya ”Hanura’—Hati Nurani Rakyat.

Politik simbolisme

Merujuk pandangan antropolog Akhil Gupta dalam The Anthropology of the State (2006), ”atraksi” Wiranto itu terkait dengan sesuatu yang disebut the imagination of the state power. Kita maklum, sejak awal Wiranto sudah bersiap-diri dan sedang melakukan konsolidasi untuk menggalang dukungan politik dalam rangka pemilihan presiden mendatang. Wiranto dan partai penyokongnya menjadikan isu kemiskinan sebagai tema besar kampanye. Untuk itu, Wiranto merasa perlu menunjukkan kepada publik bahwa ia memiliki komitmen kuat untuk mengatasi masalah sosial yang akut ini. Kelak bila terpilih menjadi presiden, pemberantasan kemiskinan akan dijadikan agenda kerja paling utama dalam pemerintahan yang dipimpinnya. Hal itu tercermin pula dalam iklan politik Partai Hanura di berbagai media.

Dalam konteks demikian, imajinasi kekuasaan yang bergelayut di alam pikiran Wiranto dimanifestasikan dengan mengeksploitasi—tak selalu bermakna negatif—isu kemiskinan yang diderita banyak penduduk Indonesia. Nasi aking merupakan lambang kemiskinan paling nyata. Maka, Wiranto memanipulasi—juga tak selalu berkonotasi negatif—makna simbolis di balik aksi makan nasi aking itu.

Amat jelas, ada tautan antara politik simbolisme—makan nasi aking—dan imajinasi kekuasaan, yakni upaya menggapai jabatan menjadi presiden. Sebagai sosok pemimpin, Wiranto berusaha membangun basis legitimasi kekuasaan politik, kepercayaan publik, dan kredibilitas moral melalui aneka ragam aksi sosial, yang berpotensi melahirkan dukungan rakyat. Wiranto bermain pada tataran simbolisme dan menggunakan pendekatan kemanusiaan, yakni berasosiasi dengan sekelompok masyarakat miskin guna menunjukkan jiwa populis dan merakyat.

Namun, penting dicatat, spirit kerakyatan yang dibangun melalui politik simbolisme tidak sama-sebangun dengan gagasan dan cita-cita mewujudkan negara kesejahteraan yang berwatak populis dan berorientasi kerakyatan. Sejauh ini belum ada pemimpin politik atau parpol yang memiliki cetak biru secara komprehensif, solid, dan meyakinkan bagaimana mengatasi problem kemiskinan dan membangun masyarakat sejahtera dan makmur.

Penting diketahui, politik simbolisme sama sekali tak bertujuan menolong rakyat miskin sebab esensi politik simbolisme hanya menjadikan suatu subyek (baca: masyarakat miskin) sebagai medium untuk membangun pencitraan dalam rangka memobilisasi dukungan politik.

Politik pencitraan

Apa yang dilakukan Wiranto sejatinya tak lebih dari sekadar—serupa dengan SBY—tebar pesona dengan membangun citra-diri sebagai figur populis dan merakyat. Aksi makan nasi aking merupakan bentuk politik pencitraan-diri dalam wujud yang lain. Berdasar pengalaman pemilu lalu, politik pencitraan-diri terbukti amat efektif dan sukses mengantar SBY menjadi presiden. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana SBY melakukan politik simbolisme dengan mengeksploitasi sosok petani miskin di Cikeas, Bogor. Ketika mendeklarasikan ”koalisi kerakyatan”, SBY berasosiasi dan mengidentifikasi diri sebagai figur populis dan merakyat melalui representasi Pak Manyar, sang petani miskin. Sungguh ironis, hingga periode jabatan kepresidenan hampir berakhir pun nasib Pak Manyar tak kunjung berubah. Ia dan banyak penduduk di kampungnya tetap hidup dalam kemiskinan, bahkan tempat tinggalnya ”dikepung” kompleks hunian elite milik orang-orang kaya.

Sayang, Wiranto kurang canggih mengadaptasi hal serupa yang pernah dilakukan SBY dalam dimensi lain politik pencitraan-diri. Seperti SBY yang mengeksploitasi pencitraan-diri—juga dilandasi imajinasi kekuasaan untuk meraih jabatan presiden pada Pemilu 2004—demikian pula yang dilakukan Wiranto.

SBY dan Wiranto sejatinya mewakili sebagian besar elite nasional dalam berpolitik, yang ketika mengartikulasikan persoalan kemiskinan dilakukan melalui politik simbolisme dengan cara kurang dalam. Di mata politisi dan mereka yang punya imajinasi kekuasaan, realitas kemiskinan hanya dijadikan medium proses reproduksi politik simbolisme.

Betapa menyedihkan, mereka yang hidup dalam kubangan kemiskinan selalu dijadikan ”barang dagangan” dalam setiap ritual politik pemilu. Sejak 1998, presiden sudah berganti empat kali, tetapi pemimpin yang mengemban amanat kekuasaan tidak mampu mengubah kemiskinan menjadi kesejahteraan. Wahai para elite, politisi, dan capres, berhentilah mereproduksi politik simbolisme.

Amich Alhumami Peneliti Sosial, Department of Social Anthropology, University of Sussex, UK

 

Wednesday, March 26, 2008

Demokrasi, Negara. dan Generasi Kerdil


Rabu, 26 Maret 2008

Oleh :Israr Iskandar

Dosen Sejarah Universitas Andalas Padang

Demokrasi dan demokratisasi yang kini berjalan sejatinya (meminjam istilah Mohammad Hatta yang diambilnya dari kuplet sajak Schiller) tidak melahirkan 'generasi kerdil'. Namun, kenyataannya zaman besar ini justru memberi ruang muncul dan berkembangnya kaum pragmatis dan oportunis berorientasi pada kepentingan pribadi dan kelompok sendiri.

Di tengah situasi transisi politik yang tidak menentu, mereka piawai memainkan jurus-jurus 'aji mumpung'. Celakanya, mayoritas rakyat juga masih belum cukup terdidik untuk memahami esensi politik sebagai penunaian tanggung jawab elite-pemimpin kepada rakyat yang dipimpin.

Tak heran kita terus menyaksikan beragam ambivalensi elite, khususnya di institusi-institusi publik, legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga perwakilan rakyat, misalnya, di satu sisi terus mengklaim institusi yang memperjuangkan kepentingan rakyat, tetapi publik melihat mereka tak lebih sebagai lembaga dagelan berorientasi kekuasaan dan uang, seperti tecermin dari berbagai pembahasan UU.

Belum lagi persoalan korupsi di internal dewan maupun partai politik. Terkuaknya kasus aliran dana BI ke kantong-kantong anggota Dewan (sebagai salah satu contoh kecil) mencerminkan watak sebagian politikus kita. Parlemen dan partai masih tetap salah satu sarang korupsi.

Logikanya, bagaimana mungkin good governance dapat diwujudkan jika lembaga yang sejatinya mengawasi pemerintah justru berkubang korupsi. Perilaku senator di DPD juga sering membingungkan. Mengeluh soal kewenangan yang minim, tetapi mereka tak mau berkantor di daerah pemilihannya sendiri. Mereka banyak berada di Ibu Kota, seakan ingin menyaingi DPR.

Tak heran saat terjadi ragam distorsi politik yang merugikan kepentingan rakyat daerah, peran anggota DPD sebagai wakil daerah tidak begitu kelihatan. Eksekutif juga kerap berlaku ambivalen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta politisi (termasuk para pesaingnya menuju 2009) untuk tidak mudah menebar janji kepada rakyat dan mengeksploitasi kemiskinan untuk kepentingan politik. Padahal, Presiden juga begitu. Pemberantasan korupsi, misalnya, masih belum menyentuh ruang dalam pemerintahan, termasuk birokrasi dan aparat penegak hukum, tetapi pemerintah mengklaim telah berbuat maksimal.

Di sisi lain, kehidupan rakyat makin sulit. Sebagian besar rakyat menjerit menyusul naiknya harga-harga kebutuhan pokok. Padahal, banyak juga yang menderita akibat bencana yang datang silih berganti.

Kasus gizi buruk pun dijumpai di banyak daerah. Bahkan, kelaparan yang menyebabkan kematian bukan lagi berita dari negeri-negeri di Afrika, tetapi sudah terjadi di negeri yang pernah berjuluk 'subur makmur gemah ripah loh jinawi'. Ini tentu bukan eksploitasi politik atas kemiskinan, tetapi gambaran akut kondisi rakyat Indonesia sekarang ini.

Elite lokal juga hampir sama tabiat politiknya. Dalam mengkritisi kebijakan pemerintah pusat, mereka sering berteriak lantang. Kritisisme dan resistensi mereka terhadap Jakarta sering atas nama kepentingan rakyat daerah, tetapi esensinya cenderung sebagai perjuangan untuk menubuhkan kepentingan segelintir elite lokal, seperti tecermin dalam tuntutan penambahan alokasi anggaran untuk daerah (DAU), konflik SDA (seperti kasus Freeport, Semen Padang, dan Caltex) dan pemekaran.

Proses demokrasi lokal (yang sistemnya terus disempurnakan) juga mencerminkan watak dasar elitenya. Tak heran pilkada langsung yang ditujukan untuk perbaikan kualitas demokrasi tetap belum bisa keluar dari distorsi politik elite.

Mahalnya demokrasi bukan hanya soal besarnya biaya penyelenggaraan pilkada, tetapi sering juga terkait dengan ongkos sosial yang ditimbulkan, baik dalam wujud pembelajaran korupsi kepada rakyat dalam kasus-kasus politik uang (money politics) maupun disintegrasi sosial dalam kasus-kasus sengketa hasil pilkada.

Anggaran publik pun menjadi sasaran distorsi perilaku pejabat dan elites lokal. Eksekutif dan legislatif hampir sama saja tabiatnya. Mereka memperlakukan APBD seperti arisan. Proses tender proyek-proyek pemerintah masih jauh dari asas transparan dan akuntabel.

Korupsi di daerah akhirnya bukan hanya wujud perilaku menyimpang pejabat publik, tetapi juga gambaran buruknya performa birokrasi tanpa kritisisme memadai dari wakil rakyat. Di beberapa daerah memang terdapat kemajuan dalam reformasi birokrasi, tetapi jangan buru-buru memberi penilaian final karena ada saja kemungkinan terjadi titik balik.

Di Tanah Datar (Sumbar), misalnya, ada inovasi dari kepala daerah terdahulu (yang berasal dari unsur pengusaha) untuk mereformasi birokrasi, tetapi dimentahkan oleh aparatnya sendiri maupun penerusnya yang berasal dari birokrat. Pemekaran daerah juga mencerminkan ambivalensi elite lokal.

Pemekaran kerap keluar dari tujuan-tujuan mulianya karena tidak mempertimbangkan dasar-dasar rasionalitasnya. Wilayah dipecah-pecah bukan membuat rakyat kian sejahtera, tetapi justru menambah pundi-pundi elite lokal yang berkolusi dengan elite pusat.

Dalam praktiknya desentralisasi akhirnya sering menjadi salah kaprah. Otonomi daerah lebih cenderung menjadi otonomi elite. Desentralisasi di era reformasi tidak menjadi jalan menuju kesejahteraan rakyat, tetapi sekadar pemenuhan minimal tuntutan-tuntutan lokal yang kerap dianggap mengusik keberlakuan NKRI.

Padahal, distorsi desentralisasi saat ini, seperti korupsi elite dan buruknya kinerja birokrasi, tak banyak urusannya dengan terancamnya negara kesatuan (sebagaimana dipersepsikan kaum konservatif). Tetapi, lebih pada proses pemiskinan rakyat di daerah.

Tak ada penyeimbang
Persoalan ambivalensi elite terkait absennya kekuatan penyeimbang dari rakyat maupun kontra-elite. Tak heran mereka tetap bisa melanggengkan pengaruhnya. Untuk itu, sebagian mereka bahkan cenderung membodohi rakyat dengan kebijakan maupun perilaku personal dan sosial yang tidak layak diteladani.

Lihatlah tebar pesona yang dilakukan elite politik saat-saat menjelang pemilu di pusat maupun daerah. Tebar pesona minus pendidikan politik rakyat tentu akan menjadi permulaan korupsi politik apabila politikus bersangkutan memegang jabatan publik. Ironisnya, tebar pesona juga menggunakan anggaran publik, seperti dilakukan pejabat incumbent (sedang menjabat). Pejabat publik tak ragu menggunakan uang rakyat untuk mendongkrak popularitasnya.

Mereka memanfaatkan tendensi apatisme publik dan lemahnya posisi elemen-elemen masyarakat sipil, seperti LSM, kampus, dan media massa. Di daerah kondisinya lebih parah. Banyak elemen masyarakat sipil kelelahan bahkan tiarap karena kekurangan vitamin. Beberapa elemen masyarakat sipil lainnya malah bersalin rupa menjadi corong kekuatan politik dan pemilik modal.

Sekalipun demikian, demokratisasi (proses menuju demokrasi) yang kini berjalan tak boleh dihentikan. Pesimisme rakyat atas perkembangan kehidupan politik usai Orde Baru harus dimaknai sebagai dorongan bagi perbaikan pelaksanaan sistem demokrasi ke depan. Transisi ini harus didorong untuk segera menjadi demokrasi lebih mapan. Bagaimana pun demokrasi tetap merupakan kans terbaik untuk keluar dari krisis multidimensi dan alat efektif mencapai tujuan negara.

Ikhtisar:
- Sumbangan wakil rakyat belum optimal di negeri ini.
- Masih banyak perubahan di daerah belum menyentuh akar rumput.

Presiden dan Wapres Bertemu Empat Mata

Rabu, 26 Maret 2008 | 00:55 WIB

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla, Selasa (25/3), menyempatkan diri bertemu empat mata di ruang kerja Presiden di Kompleks Istana, Jakarta. Pertemuan sekitar satu jam itu berlangsung dengan hangat dan diikuti makan siang bersama.

Ini pertemuan pertama yang khusus dilakukan keduanya pascakepulangan Presiden dari kunjungan luar negerinya ke sejumlah negara, pekan lalu. Pertemuan itu tak tercantum dalam agenda resmi Presiden dan Wapres yang dipublikasikan.

”Acaranya intern, tidak untuk diliput. Presiden dan Wapres mau bertemu sambil makan siang,” kata seorang petugas Istana sembari mematikan lampu ruang keterangan pers.

Presiden dan Wapres tercatat bertemu saat keduanya menghadiri pernikahan anak Menteri Agama Maftuh Basyuni, Minggu pagi, dan Senin malam, di Istana Negara, saat keduanya menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.

Seperti diberitakan, saat Presiden beserta rombongan kembali dari Iran, Senegal, Afrika Selatan, dan Uni Emirat Arab, Kamis malam lalu, Kalla dan beberapa menteri tidak terlihat menjemputnya.

Meski Kalla membantah dan menyebutkan adanya perubahan aturan protokoler penjemputan, beredar informasi Presiden Yudhoyono meminta melalui Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi agar tidak dijemput Wapres. Presiden hanya minta dijemput pejabat DKI Jakarta.

Presiden Yudhoyono disebut- sebut kecewa dengan keputusan penolakan calon gubernur Bank Indonesia (BI), Agus Martowardojo dan Raden Pardede, dalam Rapat Paripurna DPR. Kalla, yang juga Ketua Umum Partai Golkar, dinilai kurang berjuang ”mengamankan” calon gubernur BI yang diusulkan Presiden.

Namun, hal itu dibantah Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng. ”Itu analisis orang, pandangan pengamat. Tetapi, sebenarnya hubungan keduanya tidak ada masalah. Dari dulu sampai sekarang baik-baik saja,” ujar Andi saat ditanya seusai Kalla pulang ke Istana Wapres.

Ditanya pers apakah pertemuan keduanya itu seperti rekonsiliasi setelah ada kerenggangan, Andi juga membantah. ”Bagaimana mau rekonsiliasi. Semuanya itu berjalan baik-baik saja karena memang tidak ada masalah. Rutin saja mereka berdua bertemu secara berkala dan ngobrol-ngobrol. Apalagi, Presiden, kan, baru pulang dari kunjungan luar negeri,” ujarnya.

Tentang isi pembicaraan Presiden dan Wapres, Andi hanya mengatakan seputar pemerintah. Namun, Andi mengakui tidak hadir dalam pertemuan itu. (HAR)

Rakyat Busung Lapar

Selasa, 25 Maret 2008 | 00:54 WIB

Widodo Dwi Putro

Ada kesan, kasus busung lapar dan kekurangan gizi hanya masalah rumah tangga. Padahal, kelaparan yang berakhir dengan kematian adalah pelanggaran hukum positif.

Pasal 304 KUHP menyebutkan, ”Barangsiapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seseorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”

Hak bebas dari rasa lapar

Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), hak terbebas dari kelaparan merupakan hak asasi paling dasar. Bahkan, hak-hak asasi lain tidak akan terpenuhi tanpa lebih dulu menjamin hak atas kecukupan pangan dan gizi.

Hak atas pangan dideklarasikan sebagai HAM melalui berbagai perjanjian internasional. Di antaranya, Deklarasi Universal untuk HAM tahun 1948 Pasal 25 Ayat (1) menyebutkan, ”Setiap orang berhak atas suatu standar kehidupan yang layak untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk makanan (pangan), pakaian (sandang), dan rumah (papan)....”

Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Kebudayaan (ICESCR). Pasal 11 ICESCR menegaskan, negara anggota mengakui hak tiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang, dan perumahan.

Hak atas kecukupan pangan juga dicantumkan dalam berbagai dokumen internasional, antara lain Deklarasi Universal tentang Eradikasi Kelaparan dan Malnutrisi 1974, Deklarasi tentang Hak Orang Cacat 1975, konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (CEDAW) 1979, Deklarasi tentang Hak Anak 1959, dan Konvensi Hak Anak 1989.

Setiap bentuk hak asasi manusia selalu diiringi kewajiban atau tanggung jawab negara. Pasal 71 UU No 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia tegas menyebut, ”perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.” Selanjutnya, Pasal 7 Ayat (1) memberikan hak kepada setiap orang untuk melakukan semua upaya hukum atas terjadinya pelanggaran HAM.

Menggugat kewajiban negara

Menyikapi kasus busung lapar yang terus terjadi, belum tampak adanya langkah-langkah berarti dari pemerintah, mencegah terulangnya busung lapar. Selama ini pemerintah masih reaktif, memberi bantuan pangan kepada mereka yang tertimpa kelaparan ketika jatuh korban dan menjadi perbincangan publik di media massa.

Padahal, kasus kelaparan di Indonesia tidak terjadi tiba-tiba, tetapi efek bola salju dari kasus kelaparan sebelumnya. Dari kliping, sebelumnya 317 anak balita mengalami gizi buruk di Bogor karena orangtua mereka hanya mampu memberi bayi-bayi itu makan sehari sekali (Kompas, 17/4/2002). Kasus serupa menimpa Kabupaten Kutai, masyarakat di pedalaman didera kelaparan, makan sehari sekali (Kompas, 16/4/2002).

Lebih menyedihkan, laporan Dinas Kesehatan NTB, dari 51 bayi berusia di bawah lima tahun (balita) yang mengalami busung lapar selama Januari-Mei 2005, tujuh di antaranya meninggal.

Ada kesan, kasus busung lapar dan kekurangan gizi seolah-olah bukan disebabkan oleh kelalaian negara melaksanakan kewajibannya, tetapi sebagai masalah rumah tangga belaka. Pembiaran negara merupakan pelanggaran terhadap peraturan tertinggi dalam tata hierarki peraturan perundang-undangan yang memuat tanggung jawab negara terhadap fakir miskin dan anak-anak telantar, yakni Pasal 34 UUD 1945. Negara jelas melanggar UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan.

Kasus busung lapar yang berujung pada kematian cukup memenuhi unsur pidana. Dalam ranah hukum pidana, aparat penegak hukum tidak perlu menunggu pengaduan korban, tetapi dapat proaktif memeriksa para pejabat negara yang terkait.

Para pejabat (mulai pejabat dinas terkait, bupati/wali kota, gubernur, menteri yang membidangi, hingga presiden), pihak yang seharusnya bertanggung jawab mencegah dan mengatasi terjadinya busung lapar dapat diminta pertanggungjawaban secara pidana. Para pejabat dapat diancam pidana (Pasal 304 jo 359) karena melakukan pembiaran (omissie delict) hingga menyebabkan orang lain sengsara dan meninggal.

Jika aparat penegak hukum pasif, warga masyarakat dapat menggugat negara, misalnya melalui Citizen Law Suit, atas dasar negara telah melakukan kelalaian atau penelantaran (state negligence). Gugatan warga masyarakat ini untuk mengingatkan adanya hak yang harus dipenuhi negara kepada rakyatnya. Rakyat mempunyai hak menggugat atau menuntut negara, apalagi selama ini pemerintah selalu mendikte rakyat agar patuh dengan kewajibannya, seperti membayar pajak dan instruksi lain yang tidak bisa ditolak. Langkah hukum ini penting ditempuh sebagai ”pendidikan hukum dan politik” bagi para pejabat agar paham akan kewajiban-kewajibannya.

Widodo Dwi Putro Dosen Fakultas Hukum Universitas Mataram; Dosen Tamu Fakultas Hukum Universitas Al Azhar dan Universitas Pancasila Jakarta

Putusan PK dan Pilkada Sulsel

Selasa, 25 Maret 2008 | 00:53 WIB

Achmad Ali

Saya merasa memiliki kedekatan dengan ketiga kandidat gubernur/wakil gubernur Sulawesi Selatan 2007. Karena itu, sebelum Mahkamah Agung mengumumkan putusan terhadap peninjauan kembali dari KPU Sulsel, saya berkomitmen untuk tidak memberi berkomentar apa pun tentang polemik Pemilihan Kepala Daerah Sulsel. Saat putusan peninjauan kembali MA turun pun, saya tetap berupaya memandang proses Pilkada Sulsel secara obyektif dan rasional.

Sejak awal saya berpendapat, apa pun putusan MA terhadap permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPU Sulsel harus diterima dengan lapang dada, baik oleh semua pihak yang terlibat dalam Pilkada Sulsel maupun dan terutama oleh seluruh rakyat Sulawesi Selatan. Putusan PK adalah upaya hukum luar biasa, yang merupakan ”aji pamungkas” dari setiap kasus hukum karena PK adalah proses hukum terakhir yang dapat ditempuh oleh siapa saja yang berperkara di pengadilan.

Kasus perdata

Putusan PK MA merupakan ”antiklimaks” atas putusan sebelumnya. Apa pun hasilnya, putusan itu tentu telah melalui pertimbangan amat mendalam oleh majelis hakim agung, termasuk terwujudnya tiga tujuan hukum, yaitu keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian hukum (legal certainty). Yang penting diketahui masyarakat adalah MA bukan iudex facti seperti pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, melainkan iudex iuris, yang berwenang memeriksa penerapan hukum atas perkara yang sedang diadili.

Perlu diingat, sengketa pilkada adalah kasus perdata, di dalamnya berlaku asas dan ketentuan hukum perdata. Ia bukan proses politik yang tak berakhir, melainkan proses hukum yang tunduk pada aturan main mekanisme acara perdata.

Putusan PK Mahkamah Agung yang diumumkan pada Rabu (19/3/2008) mengabulkan permohonan PK dari KPU Sulsel dan membatalkan putusan MA tertanggal 19 Desember 2007 yang memerintahkan pemungutan suara ulang di empat kabupaten (Gowa, Bantaeng, Bone, dan Tana Toraja), dan MA mengembalikan ke hasil penghitungan KPUD semula .

Saya tidak ingin mengatakan putusan PK Mahkamah Agung itu memenangkan kandidat gubernur dan wakil gubernur, H Syahrul Yassin Limpo dan Agus Arifin Nu’mang. Yang lebih penting, apa pun putusan PK, sebagai warga ”negara hukum”, kita harus menerimanya dengan legowo dan menganggapnya sebagai ”yang terbaik” bagi seluruh rakyat Sulsel.

Saya tidak setuju jika dikatakan putusan MA yang mengabulkan permohonan PK dari KPU Sulsel sebagai kekalahan Partai Golkar, apalagi kekalahan Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Kemenangan Syahrul-Agus harus dilihat sebagai kemenangan Partai Golkar, kemenangan Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, kemenangan H Amin Syam, Ketua Golkar Sulsel, serta kemenangan semua anggota dan simpatisan Golkar. Mengapa? Karena, pemilih pasangan Syahrul-Agus juga banyak yang berasal dari Partai Golkar dan simpatisan Partai Golkar. Harus diingat, selama ini Sulsel adalah ”kandang Golkar”. Meski secara formal pasangan itu tidak resmi didukung Partai Golkar, harus dimaklumi, tidak didukungnya Syahrul-Agus oleh Golkar karena mekanisme partai tidak memungkinkan mengusung dua kandidat. Agus adalah Ketua DPRD Sulsel dari Partai Golkar. Keluarga Syahrul adalah keluarga Golkar. Ayahnya adalah mantan Ketua Golkar Sulsel dan Syahrul sendiri adalah kader Golkar.

Demikian juga Mansyur Ramli—guru besar, kandidat wakil gubernur pasangan H Amin Syam. Dengan belum terpilihnya sebagai wakil gubernur Sulsel, ia tidak rugi karena posisinya kini sebagai pejabat eselon I Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta.

Kemenangan semua partai

Selain itu, kemenangan Syahrul-Agus juga kemenangan semua partai yang secara formal mendukung pasangan ini, seperti PDI-P, PAN, dan sejumlah partai lain. Pilkada Sulsel ini adalah pemilihan langsung oleh rakyat Sulsel. Maka, terpilihnya pasangan Syahrul-Agus adalah ”kemenangan seluruh rakyat Sulsel” dan kemenangan demokrasi.

Meski ada pepatah, Velle suum cuique est, nec voto vivitur uno, (masing-masing orang mempunyai keinginannya sendiri- sendiri dan tidak semua kemauan itu sama), khusus di bidang hukum, Carl Llewellyn, mantan hakim agung AS yang terkenal itu, menegaskan, ”... what the judges do about disputes is the law itself .” Jadi, apa yang diputuskan hakim adalah hukum itu sendiri, dan putusan PK adalah putusan terakhir.

Dengan demikian, amat diyakini, tidak ada bagian rakyat Sulsel yang akan terprovokasi melakukan sikap nondemokratis menghadapi putusan PK MA karena tidak ada lagi alasan signifikan. Sudah saatnya kepentingan politik-instan disingkirkan demi kepentingan, ketenteraman, dan persatuan rakyat Sulsel. Sudah saatnya melupakan ”dendam politik” dan menyatukan seluruh potensi masyarakat Sulsel untuk bersama-sama menapak masa depan yang lebih cerah.

Dengan mengedepankan komitmen kepentingan rakyat Sulsel, yang terpenting dilakukan kini adalah mengingatkan gubernur dan wakil gubernur terpilih untuk mewujudkan janji-janjinya selama kampanye, terutama pendidikan dan kesehatan gratis. Kewajiban warga Sulsel untuk mengawasinya.

Panjang dan liku-liku yang antiklimaksnya mendudukkan Syahrul-Agus sebagai gubernur/wakil gubernur harus kian menguatkan komitmen mereka untuk berbuat optimal bagi kesejahteraan rakyat. Mereka harus melayani rakyat Sulsel. Selama mereka berdua melaksanakan amanah rakyat Sulsel, mereka akan didukung penuh. Namun, jika mereka lari dari komitmen semula, pasti akan dinilai secara kritis. Guru besar AS, Roscoe Pound, menyatakan, law is directed towards achieving social harmony (hukum diarahkan untuk mencapai keharmonisan sosial).

Achmad Ali Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

Kekuatan "Lunak", "Keras", dan "Cerdas"

Selasa, 25 Maret 2008 | 00:55 WIB

Juwono Sudarsono

Lazimnya, kekuatan dikaitkan kemampuan untuk memaksa kehendak diri atas keinginan pihak lain.

Di bidang politik dan militer, faham ini dikenal sebagai the power to coerce atau hard power. Pada kutub lain ada the power to persuade, sering disebut soft power, kekuasaan atau kekuatan untuk meyakinkan, yang lazim ada di dunia gagasan, nilai-nilai, pendidikan, budaya, agama, musik, dan sastra.

Untuk menjembatani kedua kutub kekuasaan itu, ada ”ruang antara” yang disebut kekuasaan ”cerdas” atau smart power, ruas antara ”kekuasaan keras” dan ”kekuasaan lunak”. Cerdas menggunakan kekuasaan adalah kiat untuk menawarkan ”perangkat lunak” yang didukung potensi penggunaan ”kekuasaan keras” melalui ”kekuasaan cerdas”. Umumnya dengan imbalan uang, dagang atau keuntungan materi, bahkan pangkat dan jabatan.

Kekuasaan ”lunak”, ”keras”, dan ”cerdas” ada pada setiap negara. ”Lunak” adalah segala kekuatan budaya, sastra, ajaran, dan keyakinan yang ditawarkan sebagai nilai hidup yang dapat dinikmati bangsa lain. Keras adalah kekuatan fisik militer, kepolisian, kejaksaan dan pengadilan, serta otoritas yang disahkan sebagai alat penegak hukum. Adapun cerdas adalah kekuatan ekonomi, finansial, dagang, dan potensi sumber daya alam.

Penyelenggaraan negara

Kini, Indonesia memiliki tiga bidang pemerintahan yang mengelola penyelenggaraan negara, yaitu Menko Polhukam (perangkat ”keras”), Menko Perekonomian (perangkat ”cerdas”), dan Menko Kesra (perangkat ”lunak”). Dari ketiga bidang ini, sekitar 80 persen APBN untuk perekonomian dan kesra, sisanya, 20 persen, untuk polhukam.

Tahun 2005-2009, pembagian tiga perangkat ini dilaksanakan karena 16,8 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan, perlu disatukan oleh program bidang kesra (pendidikan, kesehatan, agama, kesempatan kerja) didukung program bidang perekonomian (stabilisasi makro ekonomi, perdagangan, investasi, kesempatan kerja).

Ihwal bidang polhukam, tiap jajaran di lingkungan Polhukam diberi alokasi kurang dari separuh kebutuhan minimal untuk menjaga keamanan dan pertahanan negara. Bidang polhukam menyadari, prioritas membangun perangkat cerdas dan perangkat lunak memerlukan kemauan diri jajaran Polhukam untuk bersabar dengan anggaran terbatas.

Meski anggaran polhukam amat rendah dibandingkan perekonomian dan kesra, stabilitas nasional Indonesia terjaga karena adanya kekuatan lunak Indonesia. Toleransi antar-umat beragama menjadi tumpuan memelihara kesatuan bangsa. Inilah kekuatan paham Bhinneka Tunggal Ika dan dasar negara Pancasila. Pemulihan dan pembangunan ekonomi yang berlanjut akan menambah penerimaan negara untuk program-program kesra.

Wajar jika ketiga perangkat itu diterapkan dengan porsi tepat pada tiap tahap perjalanan bangsa. Hal ini diamati Joseph Nye dari Universitas Harvard yang baru menerbitkan buku The Powers to Lead. Lembaga kajian CSIS Washington, November 2007, menerbitkan laporan ”Smart Power: Towards a Safer and More Secure America”, di mana disebutkan, kekuatan politik, ekonomi, dan militer AS sebagai adidaya sering kali membuahkan reaksi yang merugikan citra diri AS sebagai bangsa, negara, dan budaya.

Mengukur diri

Tiap negara dan bangsa mengukur diri akan kemampuannya menghadirkan hard power, soft power, dan smart power masing- masing. Sebagaimana tiap orang dan pemimpin mengukur diri kekuatan ”otot”, kekuatan ”nurani”, dan kekuatan ”otak” pada dirinya, maka Indonesia yang akan merayakan 100 Kebangkitan Nasional, 10 tahun Reformasi, dan 80 tahun Sumpah Pemuda perlu menakar penggunaan kekuasaan di tiga bidang itu secara utuh dan terpadu.

Tahun 2008, Indonesia menghadapi aneka tantangan berat. Namun, dengan keyakinan dan kepercayaan akan kemampuan sebagai bangsa menggelar kekuatan ”lunak”, ”keras” dalam perpaduan yang ”cerdas”, kita akan mampu atasi tiap tantangan. Termasuk pengentasan rakyat dari kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, penggalakan ekspor dan investasi, serta pembangunan infrastruktur yang merupakan fokus perhatian kita. Keras dan lunak berpadu dalam kecerdasan berkelanjutan.

Juwono Sudarsono Menteri Pertahanan RI

Tuesday, March 25, 2008

Menyikapi Mahalnya Beras

Menyikapi Mahalnya Beras

Pancaroba. Itulah yang kita alami sekarang. Iklim bisa secara mendadak berubah dan ekstrem, membuyarkan prediksi dan ekspektasi hasil pertanian.

Fenomena alam itu terjadi merata secara global. Silih berganti kita rasakan munculnya gejala alam yang anomali. Pada musim kering, kemarau sungguh menyengat, bahkan tiba-tiba hujan turun membawa banjir. Dalam musim hujan sudah pasti banjir datang, tetapi terkadang ada wilayah yang mengalami kekeringan.

Semua itu tentu mengacaukan budidaya pertanian, yang berujung pada gangguan, bahkan penurunan produksi. Belum lagi munculnya hama yang aneh-aneh.

Sebagai bangsa dan negara agraris, yang mayoritas penduduknya menggantungkan hidup pada sektor pertanian, kita mesti sadar bahwa pancaroba harus kita hadapi. Kuncinya adanya kebijakan yang antisipatif.

Kita selalu tersentak manakala terjadi gejolak harga pangan. Lalu sibuk bertengkar dan saling menyalahkan. Paling banter ambil langkah darurat jangka pendek.

Era pangan murah mungkin memang sudah berlalu. Dalam hal komoditas beras misalnya. Produksi dan permintaan dunia cenderung stabil, tetapi sejumlah negara produsen mulai menahan produksinya, tidak melepasnya ke pasar internasional meski potensi keuntungan ekonomi terbuka lebar. Tujuannya jelas, pengamanan pasokan untuk rakyatnya. Itulah nasionalisme, antisipasi yang cermat. Masuknya spekulan di pasar komoditas, termasuk beras, juga mengacaukan harga.

Kita paham betul masyarakat Indonesia masih sangat bergantung pada beras sebagai pangan utamanya. Karena itu, peningkatan produksi dan produktivitas di tengah kondisi semakin tergusurnya lahan pertanian oleh kepentingan nonpertanian dan pertumbuhan jumlah penduduk menjadi mutlak.

Akan tetapi, kita belum juga melihat kebijakan pertanian pangan yang all out mendukung dan membela kepentingan petani. Padahal, persoalan petani, khususnya produsen padi dan beras, sejak dulu hampir tak berubah. Harga produksi jatuh saat panen raya, harga produk sarana produksi pertanian, pupuk, obat-obatan pembasmi hama, selalu melonjak manakala dibutuhkan petani. Tidak jarang mereka harus ribut dan menjerit karena selain harga melonjak, barangnya hilang pula di pasaran. Inovasi teknologi pertanian yang terjangkau dan mudah diaplikasikan petani hampir tidak ada.

Karena itulah, momentum harga pangan dunia yang semakin melonjak gila-gilaan seharusnya menyentakkan kita agar berpikir ulang tentang arah kebijakan pertanian yang lebih berpihak kepada petani, prorakyat.

Kita khawatir jika pedagang gabah dan beras berspekulasi memainkan harga sesukanya, sementara Bulog tidak dapat mengimbangi kekuatan spekulan. Karena itu, kebijakan budidaya, peningkatan produksi dan produktivitas dengan biaya murah di hulu, serta penguatan fungsi dan peran Bulog di hilir, tidak bisa ditawar lagi. Sekarang juga, jika pemerintah tidak ingin tersudut, tak berdaya melihat kesulitan rakyat di kemudian hari.

***

Era Baru Demokrasi Pakistan

Kemenangan partai-partai oposisi di Pakistan dalam pemilu Maret lalu telah membawa negeri itu memasuki era baru. Era demokrasi yang sesungguhnya.

Pertama, Presiden Pervez Musharraf kehilangan basis kekuasaannya di parlemen yang kini didominasi kekuatan oposisi. Musharraf yang merebut kekuasaan lewat kudeta militer tahun 1999 kehilangan kekuasaan mutlaknya.

Musharraf harus menerima realitas politik itu: tidak memiliki lagi akar kuat di militer setelah ia melepaskan jabatannya sebagai panglima angkatan bersenjata dan lagi menguasai parlemen. Apalagi, militer tidak menunjukkan lagi tanda-tanda untuk masuk ke medan politik. Semua itu telah menempatkan dia pada posisi untuk mendukung pemerintah baru hasil pemilu.

Kedua, untuk pertama kali dalam sejarah negeri itu, dua partai yang sebelumnya bersaing dan bermusuhan—Partai Rakyat Pakistan (PPP) dan Liga Muslim Pakistan-kelompok Nawaz Sharif (PML-N)—duduk berdampingan, berbarengan, dan bahu-membahu menghadapi kekuatan pemerintah.

Pemimpin kedua partai, Azif Ali Zardari (PPP) dan Nawaz Sharif (PML-N), telah menyatakan bahwa mereka akan bersama-sama membentuk pemerintah baru. Tak berlebihan kalau kemudian majalah The Economist mengibaratkan sekarang ini ”singa berbaring bersama dengan anak domba” untuk melukiskan betapa ”damai”-nya negeri itu secara politis karena kedua partai yang sebelumnya bermusuhan bisa bersama.

Keputusan PPP yang mendapatkan dukungan PML-N untuk mencalonkan seorang loyalis PPP, yakni Yousuf Raza Gilani, semakin menempatkan Musharraf pada posisi yang semakin lemah. Gilani pernah dipenjara selama 4,5 tahun karena dituduh korupsi oleh rezim Musharraf ketika menjadi ketua parlemen.

Memang, menurut konstitusi, presiden adalah jabatan seremonial. Ia tidak bertanggung jawab atau mengendalikan jalannya roda pemerintahan sehari-hari. Keputusan ada di tangan perdana menteri. Dengan demikian, posisi Musharraf yang pernah sangat berkuasa karena selain sebagai presiden, ia sekaligus menjabat sebagai panglima angkatan bersenjata dan menguasai parlemen, kini benar-benar semakin lemah.

Jika nantinya Gilani benar-benar disetujui menjadi perdana menteri, inilah awal babak baru bagi Pakistan untuk menapaki jalan demokrasi yang sesungguhnya.

Akan tetapi, masih banyak persoalan yang akan harus dihadapi pemerintahan koalisi, termasuk kemampuan mereka untuk saling bersama, selain masalah keamanan, terorisme, dan godaan untuk menjatuhkan Musharraf yang akan menciptakan kekisruhan politik baru.

ANALISIS POLITIK

Kisruh Bank Sentral



Selasa, 25 Maret 2008 | 01:20 WIB

EEP SAEFULLOH FATAH

Secara tak terduga, saya bertemu dengan Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin Abdullah beberapa hari setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menjadikannya sebagai tersangka dalam kasus penyelewengan penggunaan dana BI.

Segera setelah berjabatan tangan, ia berkata dengan nada muram, ”Pada awalnya saya mengira independensi BI adalah sebuah kekuatan. Ternyata, di tengah situasi politik seperti ini, independensi itu bisa menjadi kelemahan.”

Sebuah pernyataan tepat di waktu yang pas.

Dihitung sejak mulai meledak menjadi kepala berita beragam media, saat ini kisruh BI sudah berkepanjangan seperti tak hendak berujung.

Dari kasus korupsi, kisruh ini berlanjut menjadi ketegangan antara presiden dan lembaga legislatif. Dua kandidat gubernur yang diajukan Presiden sudah ditolak DPR. Alih-alih membuat penjelasan yang layak tentang penolakannya, DPR menuntut Presiden untuk mengajukan tiga kandidat baru. Sekarang, bola masih berhenti menggelinding di titik ini.

Jika disederhanakan, kisruh ini—sebagaimana digarisbawahi dengan tepat oleh Burhanuddin—memang berinduk pada dua dimensi penting, independensi bank sentral dan konteks politik di seputarnya.

Menurut hemat saya, independensi BI bukanlah persoalan. Pokok soalnya adalah belum tuntasnya pelembagaan politik di sekitar independensi itu. Akibat pelembagaan politik yang belum usai inilah BI mesti terombang-ambing di tengah tarik-menarik eksekutif-legislatif.

Independensi bank sentral adalah sebuah rumus baku dalam umumnya negara demokratis. Dengan independensinya, bank sentral diharapkan dapat bekerja secara profesional dan berkelanjutan dalam mengelola urusan moneter. Bank sentral diharapkan tak terpengaruh oleh perubahan politik reguler yang sangat boleh jadi terjadi seusai pemilihan umum.

Di Indonesia, gagasan independensi itulah yang dituangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU RI No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Dalam praktiknya, sebagaimana terjadi di mana saja, independensi itu tentu saja tetap tak bisa membuat BI sepenuhnya mampu menghindarkan diri dari arus politik dari sekelilingnya.

Pada titik itulah persoalan bermula. Dalam konteks demokratisasi Indonesia yang masih belia, independensi itu terancam cedera oleh setidaknya empat tantangan politik. Pertama, setelah menjalani reformasi satu dasawarsa, Indonesia belum berhasil menegaskan garis batas antara kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Tak adanya pemilahan tegas di antara dua peranan ini berkonsekuensi pada kegagalan mendefinisikan fungsi lembaga legislatif secara proporsional.

Semestinya, berkaitan dengan fungsi-fungsi Presiden sebagai kepala negara, DPR tak punya kekuasaan berlebihan untuk membatalkan atau mementahkan kekuasaan Presiden. DPR baru memiliki kekuasaan dan kewenangan besar dalam kaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan.

Atas dasar prinsip itulah DPR semestinya tak punya kekuasaan terlampau besar dalam penentuan duta besar untuk negara sahabat dan terlebih-lebih dalam penerimaan duta besar negara asing di Jakarta. Sejajar dengan ini, Presiden menjalankan kekuasaannya sebagai kepala negara manakala menyeleksi dan menentukan pemimpin bank sentral. Maka, dalam konteks itu, DPR semestinya memiliki kekuasaan dan kewenangan terbatas.

Sebaliknya, ketika Presiden mulai menyeleksi kandidat menteri, Presiden bekerja dalam domain kekuasaan kepala pemerintahan. Maka, menjadi wajar jika DPR memainkan peranan besar di situ, misalnya dengan melakukan dengar pendapat khusus dengan kandidat-kandidat pos kementerian strategis.

Kedua, ketidakjelasan batas kekuasaan Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan itu sesungguhnya merefleksikan soal mendasar, yakni kekaburan praktik presidensialisme di Indonesia sesudah empat kali amandemen konstitusi. Di satu sisi, kekuasaan Presiden diperbesar melalui mekanisme pemilihan langsung. Di sisi lain, kekuasaan DPR diformat dengan gaya parlementarianisme.

Itulah distorsi yang di Amerika Latin praktik semacam itu disebut sebagai ”presidensialisme yang bekerja ala parlementarianisme” (Colomer dan Negretto, 2005).

Dalam konteks itulah Presiden dan DPR bekerja memilih dan menentukan Gubernur BI. Dari baliknya, menyeruak sebuah persoalan serius dalam sistem politik kita, yakni terpenjaranya presidensialisme oleh parlementarianisme. Jika persoalan ini tak dicarikan jalan keluarnya, ketegangan dan konflik tak perlu antara Presiden dan DPR akan terjadi dalam banyak isu.

Ketiga, suasana pergantian kepemimpinan BI diperkeruh oleh kebelumdewasaan perilaku partai dan parlemen kita. Semangat oposisi dan pengawasan kekuasaan dalam tubuh partai dan lembaga legislatif patut diapresiasi. Celakanya, semangat itu belum diimbangi kemampuan kalangan partai dan legislatif untuk mempraktikkan akuntabilitas publik dan perwakilan politik.

Keempat, politisasi pergantian Gubernur BI menjadi makin sulit dihindari karena suksesi kepemimpinan bank sentral itu dilakukan di ”waktu yang salah”, yaitu satu tahun menjelang setiap pemilihan presiden, di mana suhu politik sudah memanas.

Untuk keluar dari jebakan itu harus ada inisiatif dan keberanian politik untuk mengubah jadwal pergantian Gubernur BI dari setahun sebelum ke setahun setelah pemilihan presiden.

Akhirnya, kisruh bank sentral yang merebak saat ini sejatinya merupakan ujian kematangan kita berdemokrasi.

Bank Indonesia saat ini sudah menunjukkan kematangan dirinya dengan tetap bekerja profesional di tengah badai mendera mereka. Sekarang, saatnya pemerintah, DPR, dan partai- partai menunjukkan kedewasaan mereka.

EEP SAEFULLOH FATAH (fatah.1@ui.edu), Pengajar Ilmu Politik Universitas Indonesia

POLITIKA


"Murphy's Law"

Selasa, 25 Maret 2008 | 01:19 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Disayangkan terjadi interogasi oleh petugas Imigrasi Singapura terhadap Adnan Buyung Nasution dan Abdul Rahman Saleh. Anggap saja ini ”kerikil di dalam sepatu”.

Wajar muncul reaksi, termasuk dari sejumlah anggota DPR. Terdengar ”lagu lama” yang didendangkan L4 (lu lagi, lu lagi) agar pemerintah protes Singapura. Padahal, insiden ini sepele. Tak bermanfaat mengaitkannya dengan nasionalisme picik dan sempit.

Betul Si Abang—anggota Wantimpres—dan Pak Arman yang mantan Jaksa Agung golongan VIP. Namun, status itu gugur jika mereka ke luar negeri pakai paspor hijau.

Di era pasca-9/11 sering terjadi pengetatan keimigrasian. Telah jadi fakta, misalnya, warga RI di-single out jika berkunjung ke Amerika Serikat (AS).

Proses keimigrasian yang tak enak ini makan waktu berjam- jam. Tak ada jalan pintas, kecuali mengelus dada.

Apalagi Singapura dalam kondisi waspada karena tersangka teroris Mas Selamat Kastari kabur. Kalau Negeri Singa tak aman, Anda malas shopping atau berobat, kan?

Bosan menyaksikan elite politik—termasuk DPR—emosional terhadap Singapura atau Malaysia jika ada masalah. Lebih mudah menyalahkan negara lain, lebih susah bercermin.

Si Abang dan Pak Arman ke Singapura untuk berobat. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) belum lama ini menyarankan warga sebisa mungkin tak berobat ke luar negeri.

Beberapa pekan lalu saya sampaikan kepada Pak Jusuf Kalla data 2006: 300.000 pasien internasional berobat ke Singapura, dan 30 persen di antaranya dari sini.

Teman saya pedagang suku cadang mobil kuno di Plaza Atrium Senen berobat ke Malaysia. Ia kecewa dengan perlakuan rumah sakit di Jakarta.

Kelas menengah-bawah di sini mampu membayar biaya pengobatan ke luar negeri. Mereka yang mengantar pasien pun takkan lupa merogoh kocek untuk menjelajahi Orchard Road.

Nah, Si Abang dan Pak Arman pergi berobat pada waktu libur panjang akhir pekan. Padahal, dalam istilah Singapura ketika itu, ”No clinic on holiday”.

Jadi, apa tujuan kunjungan mereka? Itulah yang membuat Anda dan saya bertanya.

Janganlah menyalahkan Anda atau saya kalau mengaitkan ”Insiden Changi” dengan Sjamsul Nursalim. Demokrasi membuka alam pikiran bebas warga yang mustahil ditangkal kekuasaan.

Politik memang tak seperti iklan yang berslogan ”terang terus, terus terang”. Namun, bangsa ini sudah terlalu rugi besar akibat komunikasi yang kurang sambung rasa.

Ambil contoh soal posisi wakil menteri luar negeri (wakil menlu) yang jadi berita hangat. Di negara mana pun eksekutif berhak menambah atau mengurangi jabatan kabinet.

Menteri pembantu presiden dan kepala negara dipilih langsung oleh rakyat. Singkat kata, semuanya terserah SBY karena dia yang punya mandat.

Mungkin kehadiran wakil menlu dirasa perlu karena RI makin aktif memainkan peranan regional dan internasional. AS, misalnya, mengenal jabatan asisten sampai deputi menlu yang jumlahnya tak sedikit.

Jadi, tak usah mempersoalkan jumlah, kualitas, atau perekrutan wakil menlu. Ganjil menyaksikan pro-kontra wakil menlu berasal dari parpol, dari kalangan profesional, atau dari Deplu.

Sekali lagi, demokrasi membuka alam pikiran bebas warga yang mustahil ditangkal kekuasaan. Jangan salahkan rakyat yang membatin, ”Ada parpol yang nafsu mau jadi wakil menlu.”

Ganjil juga mendengar argumentasi wakil menlu dibutuhkan untuk mewakili menlu yang kerap bertugas ke luar negeri. Ada kesan pihak luar negeri kecewa tak bisa ketemu menlu, maka wakil menlulah jalan keluarnya.

Menurut saya, wakil menlu dibutuhkan untuk mengurus kesukaran warga RI di mancanegara, termasuk yang dialami Si Abang dan Pak Arman. Banyak warga—misalnya TKI—yang juga butuh bantuan.

Salah satu prioritas politik luar negeri yang layak diperhatikan ialah melayani warga di luar negeri. Coba hitung berapa jumlah TKI yang disiksa atau bunuh diri di Malaysia, Singapura, Hongkong, dan Timur Tengah.

Sekali lagi, bangsa ini rugi besar akibat kurang sambung rasa. Sering kali wacana yang terjadi kayak debat kusir tanpa ujung pangkal.

Anda dan saya seperti ramai-ramai mau menangkap ular sawah yang panjangnya sepuluh meter di sungai berlumpur. Saking panjangnya, Anda dan saya tak tahu yang mana ekor dan yang mana kepala ular.

Eh, Anda dan saya malah debat kusir soal jenis ular itu. Sama dengan politik di sini yang cuma mendebatkan ”siapa mau memangku jabatan apa”.

Politik di sini kayak infotainment Hollywood. ”Paris Hilton masuk bui, kepala Lindsay Laohan gundul, dan Angelina Jolie mungut anak beruang kutub,” kata penyiar acara ”Entertainment Today”.

Kalau infotainment politik di sini, ”Si Anu memimpin organisasi dari balik jeruji. Si Badu syukuran setelah menghirup udara bebas. Si Polan yang bekas napi jadi pengamat lagi.”

Tak ada debat soal penanggulangan banjir, pembangun jalan antilubang, atau kebijakan pangan nasional. Semua debat sifatnya tambal sulam.

Politik ”apa dan siapa” menyeret bangsa ke jebakan ”Murphy’s Law”. Anda janji dengan orang pukul 08.00, tetapi waktu mandi leding macet karena pompa air mati gara-gara PLN byarpet.

Anda lupa isi BBM karena keki harganya naik melulu. Di tengah jalan mobil mogok dan tak ada yang mau mendorong. Nasib apes terus.

Pragmatisme dan Nasionalisme

Asra Virgianita
Sedang Studi PhD Meijigakuin University, Jepang

Tulisan ini bermaksud memaparkan sisi lain dari fenomena alumni luar negeri yang dibahas oleh Erie Sudewo (Republika, 20 Februari 2008) yang mempersoalkan tidak maksimalnya pemanfaatan alumni luar negeri sebagai aset negara. Bahkan, lebih jauh beliau memaparkan kenyataan bahwa alumni luar negeri kita dimanfaatkan oleh negara pemberi beasiswa studi untuk kepentingan ekonomi dan politik.

Di samping persoalan tersebut, saya merasa perlu mengangkat fenomena alumni luar negeri yang tidak kembali ke Tanah Air, utamanya karena alasan ekonomi. Hal ini memang bukan fenomena baru, tapi semakin hari semakin terlupakan.

Saya tergelitik untuk menulis hal ini karena beberapa teman di sini yang telah menyelesaikan studinya bahkan sampai jenjang S3, akhirnya tidak kembali ke Tanah Air. Saya yakin fenomena ini tidak hanya terjadi di Jepang tempat saya menimba ilmu saat ini, tapi juga terjadi pada beberapa pelajar Indonesia di negara lain, seperti di Amerika, Australia, dan Inggris. Di manakah letak persoalan sesungguhnya?

Bersekolah ke luar negeri dengan beasiswa tentu sangat menjadi idaman setiap orang. Bagaimana tidak, beasiswa yang diberikan cukup untuk hidup layak (dengan keluarga), bahkan jika pandai berhemat bisa disisihkan untuk ditabung. Belum lagi berbagai fasilitas di negara maju yang membuat hidup lebih nyaman, seperti transportasi yang teratur, layanan publik yang akurat tanpa harus bayar sana sini (KKN), dan terlebih lagi fasilitas asuransi nasional untuk kesehatan yang bisa didapatkan oleh siapa pun, dengan pelayanan yang sama baiknya.

Bahkan, anak usia 0-6 tahun dibebaskan dari biaya rumah sakit, apa pun jenis pengobatan yang dijalankan. Setidaknya ini yang berlaku di Negeri Sakura. Berbeda sekali dengan pengalaman teman saya ketika pulang ke Indonesia dan anaknya harus ke dokter karena panas tinggi.

Dia harus merogoh ratusan ribu untuk sekadar mendapatkan pemeriksaan dokter dan 1-2 jenis obat. Sementara, dengan gaji setara pegawai negeri golongan IIIB dengan memiliki dua orang anak, tentu terasa berat mengeluarkan uang sebesar itu.

Saya sendiri memiliki pengalaman yang tidak kalah ironis ketika harus naik kereta pada malam hari, berdesak-desakan dengan lampu mati, dan AC/kipas angin yang tidak menyala. Gerbong kereta api dengan pintu yang tidak tertutup semakin membuat saya iri pada kenyamanan yang pernah saya rasakan di negara maju.

Pemerintah kita bukannya tidak bisa melakukan perbaikan fasilitas seperti ini, tapi lebih tepat jika dikatakan tidak peduli. Ini terjadi karena kaum petinggi tidak menggunakan jasa transportasi umum. Mereka menikmati fasilitas mobil mewah sehingga tidak merasakan bagaimana buruknya transportasi umum di Indonesia.

Terkadang saya berpikir rasanya tidak salah jika teman-teman akhirnya memutuskan tidak kembali ke Tanah Air untuk mengamalkan ilmunya dan lebih memilih mencari nafkah di luar negeri dengan pendapatan yang lebih layak. Apakah mereka tidak cinta Tanah Air? Materialistis?

Bisa jadi ya, bisa juga tidak. Ada argumen yang sinis dari salah seorang teman yang akhirnya memutuskan meninggalkan pekerjaannya di Indonesia ''Daripada harus korupsi untuk bisa hidup layak di Indonesia, lebih baik mencari rezeki halal di sini.''

Selain alasan ekonomi, penempatan dan posisi yang tidak sesuai ketika kembali bekerja di Tanah Air menjadi salah satu dari sekian alasan. Beberapa teman yang sudah kembali ke Indonesia juga mengeluhkan hal yang senada. Pendapatan yang minim menyebabkan dia harus mengamen sana sini untuk sekadar bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Lalu, apa yang harus dilakukan? Memang keputusan untuk menentukan masa depan adalah hak pribadi yang harus dihormati. Akan tetapi, tidakkah fenomena seperti ini patut mendapat perhatian para pembuat kebijakan di negara kita?

Bagaimana mungkin negara ini akan maju tanpa adanya generasi-generasi penerus yang berkualitas yang salah satunya diciptakan melalui pengiriman mahasiswa untuk studi ke luar negeri? Kita juga tidak ingin generasi-generasi yang sudah dididik akhirnya harus menjadi generasi pragmatis.

Tapi, kita harus menekankan bahwa fenomena ini tidak akan terhindari jika tidak ada upaya dari institusi dan para pembuat kebijakan untuk memikirkan, misalnya bagaimana meningkatkan pendapatan dan pemanfaatan alumni luar negeri sesuai ilmunya secara maksimal. Mungkin ini usulan kuno dan klise, tapi rasanya sampai saat ini belum terealisasi.

Buktinya masih saja ada rekan yang sedang bersekolah di luar negeri tidak ingin kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan studi. Saya khawatir pragmatisme dan realita hidup akan menghapuskan pepatah 'walau hujan emas di negeri orang, lebih nyaman hujan batu di negeri sendiri'. Ini pepatah yang selama ini saya pegang untuk menjaga kecintaan saya pada Tanah Air.

Saturday, March 22, 2008

TAJUK RENCANA

Sabtu, 22 Maret 2008 | 00:22 WIB
Menjelang 10 Tahun Reformasi

Kalau reformasi dipatok dari lengsernya Presiden Soeharto, Mei 1998, dua bulan lagi peristiwa bersejarah itu genap 10 tahun.

Di bawah empat presiden sesudahnya yang silih berganti berkuasa, gejalanya Indonesia semakin terpuruk. Tidak lagi hanya krisis ekonomi, politik, dan moral, tetapi juga krisis kebudayaan.

Mengapa disebut krisis kebudayaan? Sindhunata dalam rubriknya ”Tanda-tanda Zaman” di majalah Basis, Januari-Februari 2008, secara pas menaruh istilah situasi pascakrisis tidak hanya dalam situasi keterjajahan ekonomi, tetapi juga dalam nestapa budaya. Krisis tempe, salah satu produk budaya lokal bangsa ini, ditaruhnya sebagai kapstok. Mahalnya harga kedelai yang sebagian besar justru barang impor membuat kita kehilangan jati diri.

Kasus tertangkapnya Urip Tri Gunawan mulai dari prolog berikut nalog dan epilognya tampil sebagai contoh yang jelas. Kasus berlarut-larutnyaproses pemilihan Gubernur BI menunjukkan sulitnya menyelenggarakan sistem pemerintahan de jure presidensial, tetapi de facto parlementer. Kuatnya hegemoni partai-partai di lembaga legislatif membuat banyak persoalan kedodoran.

Manajemen balas jasa merupakan representasi pembelokan mempraktikkan paham kekuasaan. Kekuasaan dikembangkan tidak sebagai sarana menyejahterakan rakyat, tetapi sarana menambah kekayaan, popularitas, kebesaran, dan kelanggengan kekuasaan diri dan kelompoknya, dan sebagai alat dan media pencitraan.

Yang dihadapi pemerintahan SBY-JK tidaklah gampang. Reformasi dengan salah satu buahnya keberanian mengekspresikan diri di sisi lain bisa membuat gamang. Gamang serba ragu, selain karena masalah kompetensi dan kepercayaan diri, juga karena faktor situasi pascareformasi yang terkesan kebablasan. Memprihatinkan! Suasana dan rasa prihatin diperparah oleh bencana dan musibah alam bahkan musibah yang terpicu kelalaian manusia seperti lumpur Lapindo datang bertubi-tubi.

Peristiwa keagamaan seperti Paskah yang hari-hari ini dirayakan umat Kristen dengan puncaknya ”kegembiraan Paskah” diawali dengan laku prihatin. Masa pantang dan puasa sebagai persiapan menyambut perayaan Pekan Suci Paskah merupakan kesempatan menunjukkan rasa keprihatinan bersama. Kebangkitan adalah buah dari penderitaan. Perayaan kebahagiaan/kebangkitan sekaligus adalah peringatan akan penderitaan. Peristiwa keagamaan kita jadikan momentum menaruhkan harapan. Semua agama tidak bisa lari dari persoalan dunia (fuga mundi).

Harapan akan apa? Harapan berubahnya kebiasaan praktik kerja tidak tuntas, kebiasaan mendahulukan pencitraan diri agar kinclong, dan menempatkan kekuasaan sebagai sarana mendahulukan kepentingan banyak orang. Tanpa mengecilkan makna politis 2009 dan suasana menjelang satu dekade reformasi, peristiwa Paskah menemukan momentum yang tepat.

Selamat Paskah 2008, bagi yang merayakannya!

POLITIKA

Gajah di Ruang Tamu
Sabtu, 22 Maret 2008 | 01:44 WIB

BUDIARTO SHAMBAZY

Gangguan datang bertubi-tubi terhadap Barack Obama. Kamis (20/3), terungkap tiga karyawan perusahaan rekanan Deplu mengintip data paspor Obama 9 Januari, 12 Februari, dan 14 Maret 2008.

Tindakan itu melanggar Undang-Undang Kerahasiaan Pribadi dan tiga karyawan itu dikenai sanksi administratif. Tak mustahil data Obama dimanfaatkan untuk tujuan politis.

Obama lahir di Hawaii, tinggal empat tahun di Jakarta, dan kembali ke Amerika Serikat (AS). Ia pernah berkunjung ke negara-negara Timur Tengah, bekas Uni Soviet, dan Afrika—termasuk Kenya.

Saat ke Kenya, Obama difoto mengenakan sorban. Foto itu disebarluaskan kubu Hillary Clinton untuk mengesankan Obama ”tidak 100 persen Amerika”.

Tahun 1992, pegawai Deplu dari Partai Republik diketahui mengintip paspor calon presiden Bill Clinton. Data itu dipakai menyudutkan Clinton yang konon nyaris pindah warga negara karena emoh ditugaskan ke Perang Vietnam.

Diketahui pula Clinton pernah ikut demo anti-Perang Vietnam di London, Inggris, saat mahasiswa. Muncul tudingan Clinton tidak patriotis.

Obama direpotkan juga oleh khotbah pastornya di Chicago, Jeremiah Wright. Ia menyalahkan politik luar negeri AS sebagai penyebab Tragedi 9/11.

Khotbah Wright diulang- ulang di televisi dan internet. Wright yang pertama kalinya memperkenalkan istilah audacity of hope.

Obama menanggapi kritik terhadap Wright lewat pidato ”A More Perfect Union”. Ini pidato sejarah, kondisi, dan prospek hubungan rasial AS yang sederajat dengan pidato ”I have a Dream” Martin Luther King.

Ia mencatat rekor baru: yang men-download pidato itu di internet lebih banyak daripada yang men-download pornografi. Dan, Obama tetap menganggap Wright pastornya meski tak setuju khotbahnya.

Betapapun dukungan kulit putih terhadap Obama mulai turun walau dari kulit hitam sebaliknya. Sebagian calon pemilih independen mulai meragukan integritas Obama.

Obama didukung oleh 1.617 utusan, sedangkan Hillary 1.498 utusan. Dibutuhkan 2.025 utusan bagi setiap calon untuk jadi capres dari Demokrat saat konvensi Agustus 2008.

Menurut berbagai jajak pendapat, Obama akan dikalahkan Hillary dalam pemilihan awal di Pennsylvania, 22 April. Namun, kemenangan Hillary belum cukup untuk memelorotkan Obama ke urutan kedua.

Jajak pendapat Fox News, Jumat, menyebutkan, Obama kalah suara sekitar 3 persen dari John McCain dalam pilpres 10 November. Sebaliknya, Hillary mengalahkan McCain dengan perbedaan suara 1 persen.

Margin of error jajak pendapat itu sekitar 3-4 persen. Alhasil, persaingan di antara ketiga capres amat sangat ketat.

Namun, mesti diakui, McCain sebagai capres dari Republik dalam posisi paling beruntung karena sudah mulai kerja untuk pilpres, sedangkan Hillary dan Obama masih cakar-cakaran.

Fenomena inilah yang mengkhawatirkan Demokrat yang mungkin kehilangan kesempatan lagi merebut Gedung Putih. Padahal, mood nasional maupun internasional menghendaki kepemimpinan Demokrat.

Semua letih menyaksikan Presiden George W Bush delapan tahun terakhir. Setelah genap lima tahun invasi AS, Irak lebih baik ketika dipimpin Presiden Saddam Hussein.

Apa yang terjadi di AS sebenarnya relatif sama dengan kondisi politik nasional negeri ini. Sembilan dari sepuluh orang terlalu letih sejak ingar-bingar Reformasi 1998.

Seperti Demokrat, kekuatan Reformasi gagal memanfaatkan momentum. Menurut almarhum Agus Wirahadikusumah, pengendali kekuasaan masih ”Orbaba” (Orde Baru Baru).

Sikap politis mereka kenyal karena relatif mudah mengikuti ke mana angin bertiup. Dalam istilah orang Betawi, mereka ”enggak adé matinyé”.

Pendirian mereka tak teguh kayak agar-agar: membuatnya mudah, isinya enggak ada, dan memakannya tak perlu dikunyah. Akal mereka panjang karena tak cuma kenal ”Plan B”, tetapi punya rencana sebanyak 25, mulai dari huruf B sampai Z.

Maklum, mereka pemenang yang tak mau mengalah. Mereka enggan minta maaf, ogah mundur, dan kalau perlu memimpin dari penjara.

Ibu saya bilang, ”Lebih baik ngikutin berita-berita Obama daripada berita-berita di sini.” Sayangnya, kita memang tak punya ”Obama-Obama”, cuma punya capres-capres yang mirip ”ogoh-ogoh” dari Bali.

Obama terus diganggu berbagai kalangan yang oleh Hillary disebut sebagai right wing conspiracy (persekongkolan konservatif). Di sini sebaliknya, rakyat sering diganggu persekongkolan elite politik.

Ambil contoh ”disinsentif” dan ”insentif” ala PLN. Rakyat yang bayar tagihan bulanan dan lampu penerangan jalan masih dibebani denda tak masuk akal.

Pajak naik terus, kualitas pelayanan umum turun terus. Seruan penghematan jalan terus, pemborosan juga jalan terus.

Capres Obama selalu bilang, ”Ya, kita bisa.” Untuk capres- capres di sini tanyakanlah, ”Kita bisa apa ya?”

Capres Obama sungguh serba tahu. Capres-capres di sini kayak penderita alkoholik yang enggak mau mengaku ada gajah yang merusak ruang tamu.

Wednesday, March 19, 2008

Partisipasi Perempuan Masih Minim



Jakarta, Kompas - Partisipasi perempuan dalam pengembangan penelitian di Tanah Air masih memprihatinkan. Hal ini ditandai oleh minimnya jumlah perempuan peneliti di lembaga-lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Untuk itu, pemerintah dan swasta perlu menumbuhkan minat dan kesempatan bagi kaum perempuan dalam mengembangkan riset.

Terkait dengan hal itu, L’Oreal, perusahaan internasional kosmetik, serta UNESCO, Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB, mengadakan program For Women in Science 2008. Kegiatan ini untuk mendukung perempuan peneliti di seluruh dunia pada awal karier ilmiah mereka dengan mendanai riset mereka selama dua tahun. Fellowship internasional senilai 40.000 dollar AS itu diberikan kepada 15 pemenang yang mewakili 15 benua.

Salah satu pemenangnya adalah Made Tri Ari Penia Kresnowati (30), peraih gelar doktor di bidang teknologi bioproses dari Universitas Teknologi Delft (TU Delft) Belanda.

Saat ini ia mengajar teknik kimia di Institut Teknologi Bandung. Proposal yang membuat ia memenangi penghargaan ini berjudul Teknologi Bioproses: Konsepsi Prototip Bioreaktor untuk Pengembangan Sel Punca.

Manajer Eksekutif Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Herawati Sudoyo menyatakan, jumlah perempuan peneliti di Indonesia yang aktif dalam bidang riset masih terbatas. Diperkirakan, jumlahnya hanya sekitar 20 persen dari total jumlah peneliti yang ada. Untuk meningkatkan kesetaraan perempuan dalam dunia penelitian, perempuan harus diberikan kesempatan luas dalam berkarier ilmiah.

Keberadaan para perempuan peneliti yang berprestasi di dunia internasional seperti Penia dapat menjadi teladan bagi kalangan perempuan lain di Indonesia untuk berkarier sebagai peneliti. ”Komitmen tinggi sebagai peneliti sangat dibutuhkan karena proses penelitian bisa butuh waktu puluhan tahun dan hanya dihargai masyarakat ilmiah,” kata Herawati. (EVY)

Tuesday, March 18, 2008

ANALISIS POLITIK

Menguras Laut


SUKARDI RINAKIT

Sebagai seorang pengamat politik, hal yang paling saya khawatirkan adalah apabila sudah ada demonstrasi yang tuntutannya adalah ”turunkan harga sembako!” Beberapa hari lalu peristiwa itu sudah terjadi.

Fenomena itu adalah sinyal bagi para pengendali pemerintahan bahwa titik api kekecewaan mulai berpijar. Jika tidak segera ditangani, titik api itu berpotensi untuk membesar. Seperti yang dicatat dalam sejarah, kerusuhan sosial menjadi terlalu dekat untuk dihindari.

Namun, ledakan sosial bisa saja diredam jika pemerintah pandai mengelola kekecewaan publik dengan sentuhan-sentuhan lembut—untuk tidak menyebut manipulatif. Dengan demikian, kesulitan hidup yang mereka pikul tak berubah menjadi kemarahan.

Sekadar kiat

Sementara itu, ketika titik-titik api mulai berpijar, politisi justru sedang berkontestasi mematok persyaratan calon presiden. Masalah ini bukannya tak penting, tetapi menengok kondisi rakyat jauh lebih penting.

Akan tetapi, kenyataannya, politisi lebih tertarik pada kiat politik daripada esensi. Implikasinya, orientasi mereka terfokus pada cara-cara mempertahankan dan merengkuh kekuasaan daripada memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat.

Persyaratan calon presiden harus diusung partai politik atau gabungan partai politik yang menguasai minimal 30 persen kursi DPR, misalnya, adalah cermin dari kuatnya orientasi kiat politik itu.

Dilihat sekilas, cara itu memang akan mempercepat penguatan sistem presidensial. Akan tetapi, dari perspektif lain, kiat itu sekurangnya mengandung dua dimensi. Lapis pertama adalah sekadar cara Golkar untuk menghindar dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Persyaratan 30 persen itu adalah cara elegan yang bisa diambil Golkar apabila ia berkehendak menolak tawaran Presiden Yudhoyono untuk berpasangan kembali dengan Jusuf Kalla.

Dalam konteks itu, kiat bekerja sama dengan sesama partai besar, apalagi kalau bisa membuat jejaring segi empat permanen (Golkar, PDI Perjuangan, PKB, dan PPP) memang akan melontarkan Presiden Yudhoyono dan Partai Demokrat ke luar lingkaran pertempuran. Sebaliknya, kalau Golkar menerima kerja sama dengan Partai Demokrat, daya tawar Golkar menjadi absolut.

Lapis kedua dari tingginya persyaratan calon presiden adalah merosotnya eksistensi partai-partai menengah dan kecil. Partai-partai besar hanya akan melihat mereka sebatas pelengkap suara. Kekuatan dana dan sumber daya politik adalah ancaman serius bagi eksistensi partai-partai menengah dan kecil. Ia menggerus tanpa ampun.

Pendeknya, partai-partai besar saat ini sedang memainkan strategi nawu segoro (menguras lautan). Dengan penetapan persyaratan tinggi bagi calon presiden tersebut, mereka memaksa partai-partai menengah dan kecil bergabung atau mati sama sekali.

Nilai keutamaan

Meski demikian, seperti berlakunya keseimbangan hukum alam, celah untuk mengalahkan strategi nawu segoro sebenarnya tetap terbuka. Partai-partai menengah dan kecil tetap bisa menggeliat dan keluar dari gulungan ombak strategi tersebut. Salah satu caranya, mereka melakukan koalisi dan menemukan figur pemimpin alternatif untuk dijagokan dalam kontestasi pemilihan presiden 2009.

Jika hal itu terjadi, manuver politik partai-partai besar menjadi terasa sia-sia. Itu sekaligus memberikan pelajaran bagi politisi untuk selalu mendekat kepada esensi politik daripada sekadar menjalankan kiat-kiatnya. Setidaknya mereka menjaga keseimbangan orientasi antara esensi dan kiat politik.

Dalam konteks kekinian, keseimbangan tersebut bisa dijaga apabila pergantian pemimpin mengikuti model transisional. Maksudnya, setiap partai harus berpikir bahwa tahun 2009 kombinasi kepemimpinan ideal adalah presiden dari kaum senior, wapres dari golongan yunior, dan kabinet didominasi anak-anak muda.

Hanya dengan komposisi demikian, adagium Napoleon, ”Leaders are dealers in hope” bisa mendekati kenyataan. Harus ada mimpi baru yang dipanggul di pundak kaum muda.

Selain itu, seperti pesan Taufik Kiemas berkali-kali kepada penulis bahwa sejatinya pemimpin muda saja tidak cukup. Harus ada nilai keutamaan lain yang dimiliki, yaitu dia harus pluralis. Tanpa itu, bisa dipastikan Indonesia tinggal sebuah imajinasi.

Selebihnya, politisi sebaiknya mulai mempersiapkan platform politik yang terukur. Misalnya, jika terpilih jadi presiden, ia akan mengalokasikan semua hasil Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk pendidikan dan kesehatan (gratis). Itulah sebenarnya nilai keutamaan seorang politisi. Bukan ”menguras laut”!

Gombal, tetapi Benar

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:45 WIB

Dugaan suap 660.000 dollar AS dari ”Markus” (Makelar Kasus) Artalyta Suryani untuk jaksa Urip Tri Gunawan, jika benar, jelas merupakan praktik lobi tak beradab.

Tak sulit mencari akar kultur suap, ia bermuara pada praktik bisnis ”Ali-Baba” yang disuburkan Orde Baru (Orba). Ali pejabat, Baba pengusaha yang menghalalkan semua cara.

Sejarah Ali-Baba berawal dari kerja sama seorang komandan TNI dengan pengusaha Lim Sioe Liong lewat bisnis tahun 1950-an. Baba memasok ba- rang, Ali melindungi.

KSAB Jenderal AH Nasution tahun 1960-an melancarkan Operasi Budi yang membekuk orang yang kelak jadi orang nomor satu. Ironisnya, Bung Karno yang ”menyelamatkan” karier orang itu.

Sejak Orba berkuasa, Ali- Baba makin doyan ”saling ga- ruk punggung”. Suatu kali Kepala Polri Jenderal (Pol) Hoegeng datang ke rumah orang nomor satu melaporkan penyelundupan mobil mewah oleh se- orang Baba lain. Eh, ia terkejut karena Si Baba lagi nongkrong di rumah Si Ali. Karier Pak Hoegeng pun tamat.

Sejak itu ada gurauan ”di negeri ini hanya ada dua polisi jujur: Pak Hoegeng dan patung polisi lalu lintas”. Para Baba makin merajalela.

Ada Baba pengusaha real estat di Pluit yang diadili karena bersekongkol dengan bos Bank Bumi Daya.

Ada banyak ”Baba Gemoek”, tetapi lebih banyak yang sukses dari bawah. Reputasi yang bagus dicederai nama-nama baru yang umumnya terlibat BLBI.

Mereka apel-apel busuk yang jumlahnya teramat kecil, yang tega merusak citra etnis keturunan. Banyak warga keturunan berjasa besar kepada bangsa dan negara.

Dan, sejarah membuktikan etnis keturunan jadi korban desain politik Orba. Penyebabnya Orba menuding China komunis dalang peristiwa Gerakan 30 September.

Ketika itu semua yang berbau China dianggap negatif, kolot, dan terbelakang. Ternyata banyak yang tertipu karena China adalah raksasa baru yang sejak dulu maju dan akan jadi tuan rumah olimpiade.

Entah apa ada hubungannya atau tidak, etnis keturunan dicurigai. Mereka dipaksa ganti nama dan tiap sebentar dijadikan sasaran amuk massa.

Jumlah mereka untuk masuk lembaga strategis, misalnya militer atau universitas negeri, dibatasi. Tak heran banyak yang terjun ke bisnis dan sebagian terperangkap ke dalam kultur Ali-Baba.

Sebaliknya, di masa Orde Lama mereka jaya. Salah seorang kepala staf angkatan laut masa Bung Karno bernama John Lie.

Tak sedikit dokter tentara di RSPAD Gatot Subroto bersikap profesional dan punya integritas. Tetapi, sulit bagi mereka dapat bintang walau cuma satu.

Dalam Pemilu 1955 sedikitnya ada empat parpol etnis keturunan China—juga ada yang dari keturunan Arab. Tak sedikit yang jadi menteri Bung Karno, seperti Oei Tjoe Tat.

Sebulan lalu teman saya waktu kecil, wong Chino yang pebisnis besar, cerita tertarik melamar ke parpol Islam—yang kebetulan berminat merekrut dia. Semoga ini bukan gejala sesaat, melainkan terus berkembang.

Beda dengan teman lain yang mencoba peruntungan ke Melbourne, Australia, karena khawatir kerusuhan anti-China pecah lagi. ”Biar jadi sopir taksi, hidup gua en keluarga aman,” kata teman yang ganti nama itu.

Pepatah Barat yang mengatakan, ”Ada orang yang ber- prinsip hidup ini komedi”. Pepatah itu bersambung, ”Dan ada pula yang merasa hidup ini tragedi”.

Ada pepatah bilang, ”Memberikan kekuasaan kepada penguasa (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) kayak memberikan sebotol bir dan kunci mobil kepada anak yang belum punya SIM”. Yang terjadi tabrakan maut.

Saya takjub melihat foto aparat penegak hukum berarloji Rolex emas atau bercincin berlian. Anda pasti membatin, ”Kok mereka mampu beli barang mewah, katanya gajinya ke- cil.”

Kini Anda tahu jawabannya: ada jaksa yang katanya berdagang permata.

Seorang pembaca lewat surat elektronik bertanya, ”Haruskah kita menyerah dalam pertempuran melawan korupsi?” Ada lagi yang menulis, ”Kita sudah lelah karena selalu kalah melawan korupsi.”

Saya jawab kepada kedua pembaca bahwa korupsi itu bukan budaya bangsa. Kenapa orangtua kita patuh pada tu- lisan ”Dilarang Menginjak Rumput”?

Dan korupsi bukan urusan uang. Korupsi terjadi saat hampir semua orang melanggar aturan lalu lintas saat berkendara.

Korupsi terjadi saat pemimpin mencatut statistik ekonomi. Korupsi adalah bersiasat menyusun RUU untuk kepentingan golongan.

Ada juga yang tanya, ”Gimana sih supaya kita enggak korupsi?” Jawabannya, ”Cobalah mulai bersikap jujur pada diri sen- diri dan lakukanlah sejak hari ini.”

Memang kedengarannya gombal, tetapi benar, kan?

Politik Profanasi

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:18 WIB

Donny Gahral Adian

Riuh rendah seputar partai berbendera agama yang mulai merangkul ideologi kemajemukan patut dicermati. Pelbagai sikap bermunculan, ada yang curiga, kecewa, dan gembira.

Apa pun reaksi yang muncul saling silang ideologis itu sudah terjadi. Partai berideologi Islam kini menggandeng nasionalisme, seperti partai nasionalis membangun sayap Islam. Bagi saya, kedua saling silang itu adalah kekeliruan fatal. Partai politik gagal memahami hakikat politik sebagai struktur antagonistik. Masalah ideologi tidak pernah selesai sejak bangsa ini berdiri hingga kini. Selesainya ideologi adalah berakhirnya politik.

Nasib politik

Carl Schmitt menggariskan, satu kelompok menjadi entitas politik jika mengikat diri secara antagonistik. Kelompok agama, misalnya, menjadi kelompok politik jika memasuki struktur kawan-lawan dengan kelompok lain. Pertentangan antara kelompok nasionalis dan agama saat pendirian republik adalah manifestasi ”yang politik” secara paripurna. Sodoran partai Islam untuk mengembalikan status yuridis tujuh kata piagam Jakarta juga berdiri pada logika yang sama.

Agama sendiri adalah pemisahan. Agama atau religion berasal dari kata Latin relegere, yang berarti kehati-hatian dalam berhubungan dengan yang Ilahi. Yang ilahi adalah yang tak tersentuh, yang sakral sebagai oposan terhadap yang profan. Yang profan adalah hal-ihwal yang dipertukarkan, dipertanyakan, dipermainkan, singkatnya: relatif. Ritus pengorbanan adalah sakralisasi yang profan. Sesuatu yang semula bagian dunia instrumentasi manusia dilepas ke realitas sakral tak terjamah.

Corak agama sedemikian membuatnya bernapaskan politik sedari awal. Begitu satu kelompok mengikat diri secara agamis, ia menarik garis antara yang tak terjamah dan yang terjamah. Yang tak terjamah adalah yang Ilahi dalam ayat-ayat suci. Sebaliknya, yang terjamah adalah segala sesuatu yang non-ayat. Aneka pikiran non-ayat seperti liberalisme, sosialisme, multikulturalisme, dan nasionalisme adalah bagian yang terjamah. Artinya, tingkat falibilitasnya amat tinggi dibandingkan dengan ketaktersangkalan ayat-ayat suci.

Nah, politik agama berupaya memasukkan ayat-ayat yang tak terjamah ke dalam realitas politik yang terjamah. Dengan kata lain, politik agama menetralisasi kebisajadian, ketakniscayaan realitas politik dengan kunci-kunci mati sakralitas. Yang sakral menetralisasi yang profan dan mengakuisisinya diam-diam. Jika sosialisme tidak bisa mengatasi persoalan kemiskinan, sosialisme agama bisa menyelesaikannya. Jika nasionalisme mandul, suntikan agama ke jantung ideologi itu pasti bisa menyuburkannya.

Bagi saya, struktur antagonistik adalah nasib politik agama yang tidak bisa merangkul segalanya. Ia berdiri diametral dengan politik non-ayat. Partai berbasis agama dan yang berbasis ideologi sekuler ibarat minyak dan air. Jika ada sinkretisasi di antara keduanya, itu hanya semu. Politik sekuler membangun sayap agama dengan niat menetralisasi puritanisme. Politik agama mengadopsi ideologi sekuler dengan niat mengendurkan profanitasnya. Baik politik ayat maupun non-ayat, keduanya adalah politik berniatan.

Profanasi

Ini semua tidak berarti pintu politik agama mesti dikunci rapat-rapat. Dalam demokrasi, politik agama yang paling puritan pun harus diberi tempat. Bahkan, puritanisme itu harus dideklarasikan secara tegas sebagai posisi politik. Artinya, jika partai agama mulai merangkul pikiran non-puritan, ia kehilangan posisi politiknya. Hal yang sama berlaku bagi partai-partai berideologi sekuler. Jika partai-partai tak berposisi, ”yang politik” pun pupus dan demokrasi kehilangan geregetnya sebagai bentuk administrasi kekuatan-kekuatan antagonis.

Hanya saja, politik profanasi yang digelar partai agama harus dibaca secara berbeda. Profanasi bukan membawa yang sakral ke realitas politik bersyarat. Profanasi bukan menetralisasi yang profan, tetapi sebaliknya. Segala yang suci, tak terjamah, dan absolut kembali ke dunia profan yang mana segala sesuatu dapat dipermainkan dan dipertanyakan.

Di sini letak perbedaan antara profanasi dan sekularisasi sebagai konsep politik. Sekularisasi adalah pemindahan kekuasaan langit ke bumi tanpa netralisasi. Kuasa ”yang Ilahi” dipindahkan ke pundak sang raja. Yang absolut di langit menjelma menjadi yang absolut di bumi. Sebaliknya, profanasi adalah proses membuat yang absolut di langit menjadi profan. Artinya, yang absolut dinetralisasi dan dikembalikan ke dunia profan yang sarat silang sengketa. Yang tak dipertanyakan kini menjadi relatif dan biasa-biasa saja.

Demokrasi muncul sebagai reaksi atas kekosongan kekuasaan raja pascarevolusi-revolusi besar peradaban. Cangkang kekuasaan yang semula berisi sekularisasi kekuasaan langit sudah kosong melompong. Artinya, siapa pun yang kini menghuninya tidak lagi bisa mempertahankan absolutisme. Alias, si penghuni cangkang kosong itu kini telah berstatus profan secara paripurna.

Politik agama bisa saja menghuni cangkang kekuasaan dan meloloskan klaim-klaim politiknya. Hanya saja, demokrasi sebagai bentuk profanasi membuat klaim-klaimnya menjadi relatif. Politik agama bisa berdiri diametral dengan politik sekuler. Namun, status ontologi politik klaim-klaimnya berdiri pada lempeng yang sama: ketakniscayaan.

Karena itu, sebaiknya dilupakan upaya merangkul yang sekuler. Politik adalah silang sengketa di antara pelbagai posisi politik yang secara tegas terpisah satu sama lain. Agama adalah politik sedari mula. Artinya, politik agama adalah sebuah koordinat antagonis dalam kuadran politik. Hal yang sama berlaku bagi politik sekuler. Tiap koordinat, posisi, dan modus politik berhak meloloskan klaim-klaimnya. Namun, keduanya harus ingat, demokrasi sebagai profanasi membuat kebenaran senantiasa berlari dan mengelak.

Donny Gahral Adian Dosen Filsafat UI

Prototipe Negara Pascakolonial

Selasa, 18 Maret 2008 | 00:18 WIB

Emmanuel Subangun

Peraturan pemerintah yang mengatur penyewaan hutan lindung dan menimbulkan perlawanan di sejumlah daerah merupakan sebuah simtom yang menarik untuk memahami kebijakan umum pemerintah sekarang.

Selain itu, jika ditambah dengan pemekaran daerah yang tetap gencar serta undang-undang politik yang sedang dirampungkan, wajah pemerintah sekarang menjadi jelas. Apa itu? Namanya tak asing lagi, yakni negara pascakolonial.

Pascakolonialisme

Sejumlah pemikir kontemporer—khususnya yang berasal dari India, tetapi bercokol di Inggris atau Amerika Serikat—yang melihat kesulitan proses modernisasi, memberi sebuah diagnosis pada kemacetan modernisasi itu dengan sebutan konsep pascakolonial. Maksudnya, pemerintah sekarang secara formal sudah ”nasional”. Namun, cara berpikir dan bertindak politiknya adalah hanya mengulang rezim kolonial saja sehingga disebut negara pascakolonial, bukan sebuah nation state (negara kebangsaan).

Dalam pelajaran sejarah Indonesia, kita tahu, rezim kolonial sebenarnya benar dimulai secara simbolik dengan pengundangan Agrarische Wet tahun 1870. Undang-undang ini, dalam semangat liberalisme Belanda, melarang keras orang asing memiliki tanah di Hindia Belanda, tetapi memberi keleluasaan kepada para penanam modal asing untuk menyewa tanah. Tanah yang disewa itu tidak boleh tanah rakyat, tetapi tanah umum.

Untuk menyatakan tanah itu umum atau tidak, harus ada keputusan yang disebut domein verklaring. Domein verklaring ini— yang suci murni secara hukum— secara ekonomi dan politik tak lain adalah sarana eksploitasi kolonial, lewat perkebunan.

Jadi, pelajaran yang dapat ditarik adalah suatu keputusan yang secara hukum tidak cacat dapat saja secara ekonomi dan politik menjadi akar malapetaka. Dalam zaman kolonial, malapetaka itu ganda, di satu pihak rakyat tambah sengsara dan di lain pihak karena rakyat tambah miskin. Akibatnya, daya beli mereka juga turun. Maka, tindak ekonomi berikut setelah perkebunan bukanlah industri manufaktur, tetapi impor kebutuhan konsumsi dari luar.

Konglomerasi dan liberalisasi

Kebijakan pembangunan Orde Baru adalah gabungan kolonial antara staatsbedrift (BUMN) dengan perusahaan swasta atau konglomerasi. Akibat kebijakan ganda yang sesuai dengan Pasal 33 UUD ’45 itu, ada banyak proteksi untuk infant industry dan ada banyak monopoli untuk BUMN.

Keadaan semacam itu menjadikan ekonomi tidak efisien sehingga bank dunia selalu menuntut deregulasi dan sebuah structural adjusment. Deregulasi yang lepas kendali adalah kisah BLBI itu dan penyesuaian struktural adalah yang dijalankan pemerintah sekarang ini. Pemerintah semakin angkat tangan dan arah ekonomi semakin dilepaskan pada ”mekanisme” pasar.

Pilihan arah kebijakan seperti ini biasa disebut kebijakan liberal. Bukan liberal dalam arti politik, tetapi liberal dalam arti pembangunan tidak lagi dikendalikan oleh pemerintah—lewat Bappenas, misalnya—tetapi sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta, yang harus tunduk pada hukum penawaran/pembelian. Jika dalam ekonomi pembangunan Orde Baru masalah pertumbuhan dan keadilan masih mendapat nama, trickle down effect, di zaman liberal seperti sekarang tidak ada nama untuk keadilan karena yang dikejar adalah keuntungan pengusaha semata.

Bahkan, di zaman Orde Baru itu orang masih berpikir untuk orang yang akan lahir nanti, bukan hanya orang yang hidup sekarang saja. Dalam ekonomi, hal semacam itu disebut dengan sustainable developemnt.

Di zaman liberal seperti sekarang, karena pertimbangan hanya keuntungan saja, ukuran pembangunan juga masalah ROI, yakni kapan modal bisa kembali rate of invesment.

Hutan lindung yang disewakan itu hanya dapat dimengerti bila kita mengerti logika ekonomi liberal, yakni kebijakan ekonomi yang pada tahun 1870 diperkenalkan pemerintah saat itu, lewat UU Agraria. Karena itu, rezim pemerintah sekarang dapat disebut sebagai pascakolonial.

Jalan buntu

Dalam rezim kolonial yang menyengsarakan rakyat itu, koreksi dilakukan di awal abad ke-20 setelah lewat banyak penelitian kemiskinan yang disebut survei ekonomi rumah tangga.

Dalam temuan ilmiahnya, ditemukan dua hal. Pertama, sistem itu mengidap dutch disease, yakni monokultur gula yang nanti hancur di tengah krisis dunia tahun 1930-an. Kedua, terbentuk struktur ekonomi dualistik, kota adalah kapitalis dan desa sepenuhnya tani.

Penyakit Belanda dan dualisme ekonomi itulah yang dianggap sebagai pintu masuk dari nasionalisme kita. Maksudnya, kekecewaan masyarakat pribumi ditampung oleh pergerakan nasional, dan lahirlah NKRI.

Mengapa rezim sekarang disebut pascakolonial? Jawabnya, untuk menampung kekecewaan rakyat, UU politik membuka peluang orang banyak masuk ke dalam kancah politik lewat kursi DPR atau pemerintah lokal (pemekaran daerah). Daya ledak kekecewaan rakyat ditampung dalam safety net politik pemekaran daerah dan kursi DPR.

Melukiskan liberalisme ekonomi sekarang ini sebagai pascakolonial, artinya sama dengan melihat jelas bahwa sistem semacam ini pasti akan kandas di jalan buntu.

Emmanuel Subangun Pemerhati Sosial dan Budaya; Menetap di Yogyakarta

A r s i p