Monday, May 21, 2007

Kabinet dan Purifikasi Sistem Presidensial

Benny K Harman

UUD 1945 hasil amandemen menegaskan, dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, kita menganut sistem pemerintahan presidensial.

Meski demikian, praktik penyelenggaraan negara kita selama ini masih menggunakan sistem presidensial.

Jika konsisten dengan UUD 1945 hasil amandemen, seharusnya presiden tidak perlu kompromi dengan partai-partai dalam merombak kabinet. Mengapa? Karena sistem presidensial yang kita anut bukan sistem presidensial konvensional, tetapi sistem presidensial yang telah mengalami purifikasi. Dengan purifikasi, presiden dipilih langsung oleh rakyat, masa jabatan presiden tetap lima tahun, dan DPR tidak dapat menjatuhkan presiden. Sebaliknya, presiden tidak bisa membubarkan DPR.

Menjatuhkan presiden

Sebelum amandemen UUD 1945, negara kita menganut sistem presidensial yang konvensional karena presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh MPR yang anggotanya terdiri dari DPR, Utusan Golongan, dan Utusan Daerah. Dalam UUD 1945 ditegaskan, parlemen tidak dapat menjatuhkan presiden secara sewenang-wenang kecuali dalam hal presiden melanggar haluan negara yang ditetapkan dalam UUD dan Tap MPR. Namun, masih terbuka peluang bagi parlemen untuk menjatuhkan presiden di tengah jalan.

Pertama, ketentuan UUD 1945, DPR dapat mengundang MPR menggelar sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden tidak diikuti aneka ketentuan yang secara limitatif mengatur alasan-alasan memberhentikan presiden. Maka, alasan dan kepentingan subyektif DPR amat dominan dalam mengusulkan pemberhentian presiden.

Kedua, mayoritas anggota MPR, yakni badan yang memiliki otoritas tertinggi memberhentikan presiden, adalah anggota DPR, sedangkan anggota MPR dari unsur non-DPR, seperti Utusan Golongan dan Utusan Daerah hanya minoritas. Karena itu, pendapat DPR bahwa presiden telah melanggar Garis- garis Besar Haluan Negara (GBHN) atau melanggar Tap MPR, jika diusulkan ke MPR, akan otomatis disetujui MPR. Ketiga, pendapat DPR, presiden telah melanggar haluan negara tidak diperiksa lebih dulu oleh lembaga peradilan yang independen dan imparsial.

Dengan purifikasi atas sistem presidensial dalam amandemen UUD 1945, peluang DPR untuk memberhentikan presiden diperkecil dan alasannya tidak subyektif. DPR tidak bisa sewenang-wenang mengadili presiden telah melanggar haluan negara atau UUD dan mengundang MPR mengadakan sidang istimewa untuk memberhentikan presiden. DPR harus bisa menunjukkan alasan-alasan yang rasional dan konstitusional untuk bisa meng- impeach presiden.

Ancaman terbatas

Menurut UUD 1945 hasil amandemen (Pasal 7A), DPR hanya bisa meminta MPR menggelar sidang istimewa untuk memberhentikan presiden jika empat syarat dipenuhi. Pertama, presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela.

Kedua, terbukti tidak memenuhi syarat sebagai presiden.

Ketiga, permintaan DPR kepada MPR untuk menggelar sidang istimewa guna memberhentikan presiden dengan alasan presiden telah melanggar hukum atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden tidak bersifat absolut karena permintaan itu harus lebih dulu disampaikan kepada MK untuk diperiksa, diadili, dan diputus.

Keempat, permintaan DPR kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR hanya dapat dilakukan dengan dukungan minimal dua pertiga dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri minimal dua pertiga jumlah anggota DPR.

Purifikasi atas sistem presidensial pascaperubahan sama sekali tidak mereduksi fungsi parlemen dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap jalannya pemerintahan oleh presiden. Pengawasan DPR tetap diberi peluang agar presiden tidak mudah menyalahgunakan kekuasaan.

Dalam menjalankan fungsi pengawasan ini, konflik tidak terhindarkan jika DPR tidak setuju dengan kebijakan presiden atas suatu masalah. Namun, DPR tidak dapat melarang presiden untuk mengambil keputusan atau melarang presiden untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan sejauh masuk ranah eksekutif. Dalam sistem presidensial yang kita anut setelah amandemen UUD 1945, ruang bagi parlemen untuk mengancam presiden amat terbatas.

Legitimasi rakyat

Skenario baru (purifikasi) sistem presidensial seperti ditegaskan dalam UUD 1945 hasil amandemen itu dimaksudkan, pertama, agar presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif tidak terganggu ingar-bingar politik yang terjadi di parlemen saat merombak kabinet. Presiden mendapat legitimasi dari rakyat untuk memilih orang-orang yang tidak hanya kompeten, tetapi juga terpercaya menerjemahkan visi dan misi yang disampaikan pada awal pemerintahan.

Kedua, otoritas ini tidak berarti presiden dilarang membicarakan personalia saat membentuk atau merombak kabinet dengan pimpinan partai politik. Yang penting, presiden harus tunduk pada kepentingan pragmatis partai. Presiden dari partai minoritas tidak perlu meminta dukungan partai secara berlebihan agar anggota DPR dari partainya mendukung kebijakan presiden di parlemen.

Keberadaan MK justru untuk melindungi kedudukan presiden dari kesewenang-wenangan kekuatan mayoritas di DPR dan mencegah praktik dagang sapi antara presiden yang berasal dari partai minoritas dan partai-partai yang menguasai mayoritas kursi di parlemen dalam menyusun kabinet. Praktik dagang sapi di banyak negara hanya akan menyandera presiden dalam menjalankan pemerintahan.

Jika praktik yang kini terjadi masih mencerminkan sistem presidensial konvensional, itu bisa dipahami karena pemerintahan SBY-JK adalah pemerintahan transisi dari sistem presidensial konvensional ke sistem presidensial murni seperti dikehendaki the founding fathers generasi kedua pembentuk UUD 1945.

Benny K Harman, Anggota DPR


No comments:

A r s i p