Monday, May 21, 2007

Semangat Konstitusionalisme Indonesia?

R Herlambang Perdana

Adakah semangat konstitusionalisme Indonesia? Ini adalah pertanyaan awal ketika banyak pihak mempertanyakan dan mengambinghitamkan eksistensi UUD 1945 dan berkeinginan untuk mengubahnya.

Tak terhindarkan, respons elite politik pun beragam, sebagaimana dituliskan harian ini (Rabu, 7/3/2007) ada tiga peta kekuatan yang bertarung soal eksistensi konstitusi.

Pertama, Komite Nasional Penyelamat Pancasila dan UUD 1945, yang menuduh kekuatan intervensi asing (individualisme, materialisme, dan liberalisme) di balik 4 kali amandemen UUD 1945. Kembali ke UUD (yang dibuat tahun) 1945 adalah solusinya.

Kedua, Fraksi Kebangkitan Bangsa, Fraksi PKS, dan Fraksi PBR yang menyokong DPD mendesakkan perubahan kelima UUD 1945. Dalam rangka memperbaiki fungsi ketatanegaraan, posisi DPD perlu diefektifkan dalam memperjuangkan kepentingan daerah.

Adapun kelompok ketiga, sebagai kekuatan politik mayoritas di DPR (Partai Golkar, PDI Perjuangan, PPP, dan PAN) menyatakan menolak perubahan apa pun.

Uniknya, ketiga kekuatan utama yang mewarnai perdebatan tentang eksistensi perubahan konstitusi lebih dominan tertuju pada teks pasal-pasal dan instrumentasi institusional daripada merevitalisasi semangat konstitusionalisme bangsa Indonesia. Secara ringkas, tulisan berikut ingin menjawab pertanyaan, proporsionalkah teks konstitusi kita sekarang tepat dijadikan sasaran sebagai "terdakwa" atas problematika ketatanegaraan maupun ketatapemerintahan?

Pasalistik

Dominasi aliran pemikiran ketatanegaraan yang instrumentatif lahir karena begitu kuatnya arus utama pemikiran positivisme dalam dunia hukum.

Pertama, kegagalan positivisme sesungguhnya adalah ketidakmampuan menangkap ide, esensi, dan prinsip dalam proses interaksi ekonomi politik ketatanegaraan. Konstitusi adalah kontrak, kontrak ekonomi politik antara rakyat dan penguasa.

Oleh karena itu, gerak hati konstruktif (constructive impulse) dari latar belakang kontrak sebenarnya paham konstitusionalisme yang menegaskan pembatasan kekuasaan dan jaminan hak rakyat melalui konstitusi. Dalam pengertian yang jauh lebih luas jangkauannya, menurut Soetandyo (2002), ide konstitusi disebutnya sebagai konstitusionalisme dan digambarkan bahwa paradigma hukum perundang- undangan sebagai penjamin kebebasan dan hak—yaitu dengan cara membatasi secara tegas dan jelas mana kekuasaan yang terbilang kewenangan (dan mana pula yang apabila tidak demikian harus dibilang sebagai kesewenang-wenangan)—inilah yang di dalam konsep moral dan metayuridisnya disebut "konstitusionalisme".

Kedua, menguatnya secara masif diskursus neo-institusionalis yang menyepakati lembaga-lembaga (negara) memainkan suatu peran dominan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi (Hechter, et al, 1990; Powell dan DiMaggio, 1991). Karakter yang demikian lazim terjadi di negara-negara yang menggampangkan arah pembaruan hukumnya ditransplantasikan oleh kekuatan rezim neo-liberal, yang merangsek dengan tidak lagi mengenal batas-batas negara, akar sejarah, dan sosial- ekonominya. Oleh sebab itu, dalam perspektif ini, indikator utama untuk mengatakan keberhasilan suatu pembaruan hukum, misalnya, diukur dari seberapa banyak inovasi kelembagaan (negara) baru dibentuk, didesain dan diimplementasikan dalam rangka menuruti selera pasar bebas. Begitu banyak lahirnya komisi negara di Indonesia (termasuk peradilan-peradilan khusus), disadari maupun tidak, merupakan pesanan dalam desain neoliberal. Lihat saja betapa amburadulnya praktik Pengadilan Hubungan Industrial produk UU No 2/2004, buruh menjadi tidak berdaya!

Dalam perspektif yang demikian, maka karut-marut bangsa ini sesungguhnya tidak bisa sekadar diurai benang kusutnya hanya dengan pendekatan pasalistik, membongkar pasang pasal-pasal dalam teks UUD 1945. Terlampau simplistik pula menempatkan UUD 1945 dalam posisi "terdakwa", karena esensi dari sebuah konstitusi adalah jiwa atau semangatnya yang selalu mengedepankan pembatasan kekuasaan sehingga terhindar dari kesewenang-wenangan serta bagaimana penyelenggara negara mampu dan berdaya untuk memajukan perlindungan dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat.

Konstitusionalisme Indonesia

Akar konstitusionalisme Indonesia telah jelas dan tegas dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, di mana konsepsi pemerintahannya haruslah "melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia", "memajukan kesejahteraan umum", "mencerdaskan kehidupan bangsa", dan "melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial." Sedangkan kedudukan Pancasila dalam Pembukaan tersebut menjadi norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm) yang kian memperkuat falsafah kehidupan bernegara.

Problematika

Tentunya, memperbincangkan problematika ketatanegaraan tidaklah sekadar berhenti pada proporsi tekstualitas semata, melainkan pula melakukan lompatan lebih jauh membangkitkan semangat untuk terus mendorong perubahan yang berkeadilan dengan sandaran akar konstitusionalisme. Di sisi inilah sesungguhnya kritik terhadap pandangan perubahan konstitusi, baik yang ingin kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen maupun mereka yang berkeinginan perubahan kelima, semangatnya sangat bias instrumentalis dan perdebatan neo-institusionalis, dengan mengedepankan kepentingan golongan dan pragmatis.

Memang, tidak ada konstitusi yang selalu sempurna di dunia ini. Itu sebabnya, sah-sah saja siapa pun berkeinginan untuk perubahan UUD 1945, sepanjang konstruksi berpikirnya didasari pada semangat memperkuat konstitusionalisme Indonesia. Jaminan hukum atas kebebasan dan hak-hak dasar warga negara, pertanggungjawaban negara secara progresif dalam menjalankan mandat konstitusional, serta berhentinya praktik pelanggaran hak asasi manusia maupun kesewenang-wenangan lainnya adalah pertanda bekerjanya kekuatan konstitusionalisme. Semangat mengemban prinsip, ide, serta gagasan demikianlah yang harus melekat dan jauh lebih penting pada sistem pembentukan hukum dan penegakannya di tengah karut-marut bangsa. Mungkinkah?

R Herlambang Perdana Dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga

No comments:

A r s i p