Monday, May 21, 2007

Raja Abdullah bin Abdul Aziz

Oleh : Azyumardi Azra

Penguasa Arab Saudi, Raja Abdullah bin Abdul Aziz menurut rencana akan berkunjung ke Indonesia tahun ini. Hal itu diungkapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai menerima Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Muhammad Amen al-Hayat Jumat pekan lalu (20/4/200).

Kabar ini sangat menarik. Sebagian alasannya sudah diungkapkan Presiden Yudhoyono, bahwa Raja Abdullah belakangan ini sangat aktif dalam upayanya menyesaikan berbagai konflik di Timur Tengah, khususnya di antara bangsa Palestina dengan Israel, dan juga di Iraq. Dari sudut ini, Raja Abdullah satu semangat dengan Presiden Yudhoyono yang juga terlihat berusaha mewujudkan perdamaian di Timur Tengah.

Dalam pengamatan saya, Raja Abdullah menampilkan gejala politik Arab Saudi yang sangat menarik. Gejala politik itu adalah sikap lebih assertif dan pro-aktif untuk mewujudkan perdamaian dengan mengambil berbagai inisiatif dan terobosan untuk menyelesaikan berbagai konflik yang sudah menahun di Timur Tengah.

Sikap asertif Raja Abdullah kian meningkat belakangan ini, bukan hanya terhadap negara-negara Arab, tetapi juga terhadap negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Dalam KTT Liga Arab di Riyadh akhir Maret lalu, Raja Abdullah misalnya dengan sangat tegas tanpa basa basi diplomatik menyesalkan masih berlanjutnya 'pendudukan asing yang ilegal di Irak'. Pernyataan ini dengan segera menimbulkan reaksi keras dari pejabat-pejabat tinggi AS di Washington DC.

Perkembangan ini membingungkan AS yang sudah lama menjadi kawan Arab Saudi. Majalah Newsweek edisi 9 April 2007 misalnya menurunkan laporan khusus dua halaman yang menyimpulkan, bahwa Raja Abdullah kini kelihatannya cenderung mengesampingkan Amerika, dan pada saat yang sama mengambil posisi terdepan di Timur Tengah. Ketika sebagian kalangan di AS berpikir tentang opsi menyerang Iran untuk menghentikan program pengayaan nuklirnya, Raja Abdullah dengan tegas menyatakan kepada Wapres AS Dick Cheney, bahwa dia menentang aksi semacam itu. Tetapi pada saat yang sama, Raja Abdullah memperingatkan Presiden Ahmadinejad, bahwa ancaman militer AS bukannya tidak riil. Menurut Newsweek, Raja Abdullah kepada Presiden Ahmadinejad menyatakan: "Apakah kapal-kapal perang AS datang ke wilayah lepas pantai Iran untuk pergi berlibur?"

Banyak kalangan pangeran dan pejabat tinggi Arab Saudi mengungkapkan, Raja Abdullah belakangan ini kian emosional melihat perkembangan yang tetap tidak terselesaikan atau bahkan semakin memburuk di Palestina dan Irak. Ia juga terlihat kian frustrasi menghadapi kenyataan masih terpecahbelahnya negara-negara Arab. Karena itu dalam KTT Liga Arab di Riyadh, Raja Abdullah kembali mengritik negara-negara Arab yang terus menerus berpecahbelah, sehingga mengorbankan Palestina dan Irak. Pada saat yang sama ia menekankan persatuan di antara negara-negara Arab jika mereka ingin berhasil dan dihormati masyarakat internasional. Raja Abdullah lalu mengutip Plato dalam Republic: "Siapa yang enggan memerintah dengan baik, maka ia akan diperintah penguasa yang jauh lebih buruk daripada dirinya sendiri".

Raja Abdullah nampaknya bukan sekadar frustrasi menghadapi berbagai keadaan itu; tapi juga obsesi. Konflik yang terjadi di antara Hamas dan Fatah di Palestina membuatnya terobsesi untuk menyelesaikannya. Dan dia berhasil mewujudkan perdamaian itu, ketika dia mengundang kedua pihak ini untuk berunding di Makkah pada 8 Februari 2007 yang berhasil mencapai perdamaian yang menghasilkan pemerintah persatuan Palestina.

Jika Raja Abdullah kini kelihatan begitu aktif membawa kembali Arab Saudi ke dalam peran utama untuk penyelesaian berbagai konflik di Timur Tengah, maka itu sesungguhnya tidaklah terlalu baru. Raja Abdullah telah mulai melakukannya sejak ia masih menjadi Putra Mahkota. Pada 2002, ia menyampaikan proposal perdamaian yang akhirnya disetujui KTT Liga Arab di Beirut. Rencana perdamaian itu pada dasarnya bertitik tolak dari konsep 'pertukaran tanah untuk perdamaian'; yaitu bahwa Israel keluar dari wilayah-wilayah yang didudukinya sejak Perang 1967 dengan imbalan perdamaian bagi Israel.

Tetapi ketika usulan inisiatif perdamaian ini diterima KTT, Raja Abdullah memperingatkan Israel: "Tatkala bangsa Arab memutuskan untuk menerima perdamaian sebagai opsi strategis, maka mereka melakukan itu bukanlah karena mereka lemah; Israel sangat salah jika ia beranggapan dapat memaksakan perdamaian yang tidak adil terhadap bangsa Arab".

Sikap, inisiatif dan langkah-langkah Raja Abdullah, saya kira, memberikan harapan bagi terwujudnya perdamaian di Timur Tengah. Dan Indonesia yang untuk pertama kali diundang untuk menghadiri KTT Liga Arab di bawah pimpinan Raja Abdullah, sepatutnyalah terus menggalang dukungan ke arah terwujudnya perdamaian tersebut.

Adalah tugas konstitusional Indonesia untuk ikut memainkan peran lebih aktif dalam mewujudkan dunia yang lebih damai dan berkeadilan. Selamat datang His Excellency, Raja Abdullah bin Abdul Aziz di negara Muslim terbesar di dunia yang bernama Indonesia.

No comments:

A r s i p