Monday, May 21, 2007

Teater "Reshuffle"

Radhar Panca Dahana

Anomali cuaca belakangan ini membuat banyak orang mengalami "panas-dingin" tak beraturan. Sebagian orang mulai tersiksa sengatan matahari, di beberapa tempat malah tertimpa banjir.

Anomali itu lantaran perubahan iklim. Namun, dalam beberapa minggu terakhir ini, bagi sebagian kalangan negeri ini, juga terjadi "panas-dingin" akibat suhu politik. Bagi beberapa elite, demam politik itu terjadi karena terciptanya semacam pergantian iklim dalam struktur pemerintahan, menyusul rencana reshuffle kabinet oleh presiden.

Selama hampir empat minggu terakhir, tak hanya para menteri, anggota parlemen, pengamat politik, aktivis parpol, tokoh kampus, bahkan masyarakat umum dibuat gundah, berspekulasi, bahkan berkeringat dingin menunggu kabar dari Cikeas. Situasi menegangkan yang tampaknya begitu penting dan desisif, hingga mampu bersaing bahkan mengalahkan isu-isu hebat lainnya.

Sebuah situasi, seperti biasanya publik kita yang mudah digenggam isi headline media massa, ternyata telah membuat kita alpa pada beberapa pertimbangan sederhana yang menyembunyikan diri di tengah hiruk-pikuk pembicaraan. Setidaknya pertimbangan pertama, reshuffle kabinet "SBY" kini tidak terjadi untuk pertama kali, dan juga tak ada jaminan untuk tidak terjadi lagi.

Tanpa garansi dan kompetensi

Reshuffle yang terjadi berulang kali sebenarnya dapat menjadi bukti semacam "kegagalan" seorang presiden dalam memilih dan menyusun kelompok kerjanya.

Reshuffle pertama sekitar satu setengah tahun lalu semestinya menyadarkan elite politik di luar birokrasi bahwa tindakan pergantian kabinet ternyata tidak membuahkan hasil yang diharapkan, tidak pula memberi garansi untuk perbaikan di masa depan.

Namun, ia tetap menjadi political game, yang menjadi penting karena di situ terjadi jual-beli dan negosiasi di antara mereka yang belum mendapat ransum atau jatah kekuasaan. Bukan lagi negosiasi dalam intensi mulia untuk memperbaiki kinerja atau mengimprovisasi nasib rakyat jelata. Hal itu tampak saat isu itu tidak ditanggapi secara positif oleh pasar yang terus melesu atau harga-harga (beras dan minyak goreng, misalnya) tetap melambung.

Hal kedua, reshuffle yang lebih dari sekali ini selalu diinisiasi oleh isu yang berasal dari satu-dua kelompok kepentingan yang kemudian bermetamorfosa menjadi tuntutan, meluas bersama media massa menjadi desakan kolektif. Seorang pemimpin yang kemudian selalu memenuhi desakan itu (sebagaimana banyak kebijakan lain yang reaktif) seperti menunjukkan kegamangan diri. Niat memperbaiki dan melakukan koreksi diri ternyata selalu datang dari luar dirinya.

Ketakmampuan melakukan tindakan reflektif itu secara internal, secara psikologis, menunjukkan lemahnya kapasitas dan kompetensi seorang profesional. Satu gejala yang terjadi cukup banyak di lembaga formal lainnya, di PSSI dan KONI dalam olahraga, pelbagai BUMN di sektor usaha, atau dalam beberapa parpol dan ormas lain. Pemimpin yang jelas tidak mumpuni, bahkan narapidana pun, karena begitu paternalistiknya, masih disanjung dan dijunjung sebagai pilihan utama, bahkan tunggal.

Kenyataan itu ikut menyebabkan hal terakhir, di mana hasil reshuffle, menurut perhitungan mutakhir, selain tak berhasil melengserkan menteri-menteri yang dipertanyakan kompetensi dan prestasinya (seperti dalam kementerian lingkungan, kebudayaan, keuangan-perekonomian, dan terutama perhubungan), juga hanya menyentuh lima nama, yang seluruhnya lebih bernuansa "penuh kontroversi" ketimbang "tak punya kompetensi".

Bila pun lima nama itu inkompeten, jumlahnya tidak signifikan ketimbang harapan dan tuntutan yang disuarakan. Pergantian lima nama, atau hanya sekitar 15 persen dari jumlah kementerian, tidak akan memberi berbagai perubahan mendasar bagi kebijakan serta situasi ekonomi (sektor riil terutama) dan sosial-budaya yang masih terimpit.

Teater politik

Maka, pemanasan suhu politik dan demam yang diakibatkannya terlihat tidak lebih dari satu sandiwara sebenarnya. Sebuah teater dari elite politik kita, yang menawakan dunia "pura-pura" dan hiburan semata pada khalayak. Sebagai sebuah teater, kita pun dapat dengan gamblang menyaksikan nama-nama pengganti yang muncul tidak cukup memberi kita garansi perbaikan, baik dalam rekam-jejak, kapasitas, maupun kapabilitas (setidaknya dibanding mereka yang diganti).

Yang tampak kemudian hanya politik negosiasi antara pemilik hak prerogatif dan berbagai kekuatan pendukung yang mengelilinginya. Menjadi lips service atau entertainment bagi publik umumnya.

Dan lengkaplah teater itu, adegan per adegan, sejak entrance, pembangunan situasi, konflik-konflik kecil, scene-scene final dan misterius di Cikeas, hingga klimaks di hari pengumuman. Lalu curtain call alias salam-salaman di acara penobatan dan diakhiri tepuk tangan, plus standing ovation bila diperlukan.

Taklah keliru jika saya sejak dulu mengatakan, negeri dan bangsa ini memang padat dengan bakat dan kodratnya sebagai insan teatrikal (homo theatricus). Dan itu termanifestasi di berbagai ruang publik. Sang protagonis pun tampil sukses seperti biasanya, sebagai hero, lengkap dengan performative action-nya. Mulai dari mimbar pidato hingga panggung tarik suara. Sukses demokrasi, kata sebagian kita.

Sebuah sukses dan pilihan gaya (politis), yang kini kian banyak pengikutnya.

Radhar Panca Dahana Sastrawan


No comments:

A r s i p