Monday, May 21, 2007

Tafsir "Reshuffle" Jilid II

Muhammad Qodari

Hingga Senin (7/5/2007) pagi, peta reshuffle telah mengerucut pada pergeseran tujuh menteri dan setingkat menteri: Menteri Sekretaris Negara, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Perhubungan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Jaksa Agung.

Nama-nama calon menteri untuk mengisi kursi yang ditinggalkan itu pun mulai jelas. Berturut-turut: Hatta Rajasa, Andi Mattalatta, Jusman Syafii Djamal, Mohammad Nuh, Sofyan Djalil, Lukman Edy, dan Hendarman Supandji. Hatta Rajasa dan Sofyan Djalil adalah muka lama yang dirotasi. Sisanya wajah baru, yang baru kali ini menjadi menteri.

Dua strategi

Melihat pos-pos yang dirombak, tema reshuffle kali ini adalah Reshuffle Polhukam dan Kesra. Sebab, hanya satu kementerian yang terkait langsung dengan ekonomi, yakni Menneg BUMN. Ini kebalikan dengan jilid I tahun 2005 di mana menteri yang diganti umumnya berlatar bidang ekonomi. Sekadar mengingatkan, pos-pos yang dirombak waktu itu mencakup: Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri Keuangan, Menteri Perindustrian, Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Menko Kesra.

Melihat perkembangan sejauh ini, kita bisa menafsir Presiden punya dua strategi besar dalam melakukan perombakan. Strategi pertama ditujukan ke dalam, yakni menyisihkan beban-beban yang potensial memperlambat optimalisasi kinerja kabinet. Strategi kedua ditujukan keluar, yakni memenuhi sentimen publik tentang perombakan dan restrukturisasi peta dukungan partai politik di pemerintahan.

Tentang yang pertama, bandul yang bisa memperlambat percepatan kinerja kabinet antara lain, pertama, menteri yang sakit; kedua, menteri yang terkena kontroversi hukum; ketiga, menteri yang kinerjanya belum optimal sehingga perlu diganti atau dirotasi ke tempat baru.

Soal status kesehatan, banyak yang menduga Menteri Dalam Negeri Moh Ma’ruf, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, dan Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto akan diganti. Ma’ruf kini masih terbaring sakit dan dirawat di Singapura. Juwono dan Djoko dikabarkan kena serangan jantung berkali-kali. Namun, merujuk pernyataan Presiden, Jumat (4/5), laporan tim kedokteran istana berkesimpulan Juwono dan Djoko masih fit, sementara Ma’ruf masih bisa dipulihkan.

Soal kontroversi hukum, dua menteri yang paling banyak disorot, yakni Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra dan Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin, tergusur dari posisinya. Sorotan publik dan media terhadap dua nama ini amat intens. Pergantian dua nama ini bahkan telah dijadikan "litmus test" oleh media dan pengamat hukum untuk menilai keseriusan Presiden SBY menegakkan hukum tanpa pilih bulu. Eksistensi keduanya di kabinet sering dikaitkan tudingan politik "tebang pilih" SBY, terkait pemberantasan korupsi di negeri ini.

Soal penilaian kinerja, yang menarik justru sorotan terhadap para menteri ekonomi yang tidak diganti. Sejumlah ekonom meminta agar menteri-menteri ekonomi diganti karena kondisi ekonomi riil Indonesia masih buruk. Mungkin Presiden memakai logika sebaliknya. Misalnya, tim ekonomi dinilai sudah bekerja cukup baik sehingga bisa memperbaiki ekonomi makro. Dengan landasan ekonomi makro itu, pekerjaan rumah berikutnya bagi tim ekonomi adalah perbaikan sektor riil. Waktu akan membuktikan apakah logika tahapan kerja semacam ini akan menunjukkan hasilnya menjelang 2009.

Strategi ke arah luar

Kini kita coba baca strategi reshuffle SBY ke arah luar. Pertanyaan apakah perombakan kali ini akan mampu meningkatkan popularitas (approval rating) SBY, yang menurut survei LSI, Maret 2004, turun drastis, harus menunggu hasil survei nasional berikut.

Dugaan sementara, dengan akumulasi harapan publik yang begitu tinggi terhadap reshuffle, pelaksanaan reshuffle oleh Presiden akan memberi harapan baru yang berakibat membaiknya popularitas SBY.

Hal ini bisa saja salah jika terjadi tiga hal. Pertama, publik tidak cukup tahu telah ada perombakan kabinet.

Kedua, publik tidak puas dengan nama-nama menteri pengganti.

Ketiga, nilai dari perbaikan sektor ekonomi riil jauh lebih penting di mata publik sehingga perombakan tidak cukup mampu mendongkrak kepuasan publik.

Hal lain yang menarik soal reshuffle adalah komposisi menteri dari partai politik dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Dari tujuh nama yang menempati pos baru, tiga dari partai politik, sisanya dari nonpartai. Partai Golkar mendapat satu tambahan lewat Andi Mattalatta. Partai Kebangkitan Bangsa "dikembalikan" jatahnya dengan masuknya Lukman Edy. Sementara Partai Amanat Nasional dipertahankan proporsi keterwakilannya lewat Hatta Rajasa. Yang berkurang drastis adalah Partai Bulan Bintang karena Yusril dan Abdul Rahman Saleh diganti. Partai Persatuan Pembangunan juga berkurang, namun ini agak relatif karena eks Menneg PPDT Saifullah Yusuf sebelumnya di PKB dan eks Menneg BUMN Sugiharto sering diberitakan tidak lagi dekat dengan PPP.

Yang menarik dan penting dicermati dari dua kali perombakan kabinet Presiden SBY dan presiden-presiden sebelumnya, seolah selalu terjadi dilema antara unsur kompetensi-kinerja menteri dan keterwakilan partai politik.

Memang agak naif untuk mempertentangkan keduanya. Menteri dari partai harus punya kompetensi, sebaliknya menteri nonpartai harus mampu menjalin komunikasi yang baik dengan partai politik sehingga mendapat dukungan politik. Sistem pemerintahan kita memang presidensial, tetapi selama Indonesia menganut sistem multipartai seperti sekarang, perwakilan dari aneka partai politik masih merupakan hal yang niscaya.

Muhammad Qodari Direktur Eksekutif Indo Barometer (IB), Jakarta

No comments:

A r s i p